Sebut Saja Namanya Bunga

Menjadi pengamat politik, harus rajin membaca koran. Memilih sebagai pengamat bola kaki harus giat bergadang sampai larut malam. Orang-orang akan bertanya tentang segala sesuatu yang telah kau amati secara baik. Dan, kau akan selalu mempunyai jawaban yang terbaik.

Linyai mencari jalan yang aman. Tiap harinya ia rajin membaca koran yang disediakan secara gratis oleh pemilik warung kopi. Politik telah menyita matanya untuk setia membaca koran.

"Hmm...ada yang dilantik, ada juga yang dilantak!" Batinnya berbisik. Dan memang demikian yang terjadi.

Secara sederhana, Linyai mendapatkan bonus untuk membaca berita-berita kriminal, melihat gambar artis-artis cantik, kemudian menghayatinya. "Selama bumi masih berputar, selalu saja ada korban yang berbeda-beda," gumamnya. Pada beberapa berita kriminal, ia sering menjumpai kalimat yang mengutarakan "Sebut saja namanya bunga, atau sebut saja namanya mawar."

Atas sebutan itu, terpikir olehnya bahwa bunga senantiasa identik dengan suatu hal yang cantik, harum, indah, dan elok dipandang mata. Barangkali hal inilah yang membawa pelaku untuk menghancurkan wujud keindahannya. Alhasil, ketika perkara itu terjadi, para pewarta menyamarkan nama aslinya dengan sebutan bunga (agar tetap indah dan harum).

Nusuki yang datang tiba-tiba, ia selalu mencari jalan pintas. "Apa judul koran hari ini?" Tanya Nusuki

"Seorang kakek memblender cucunya!" Jawab Linyai.

Secara bebas, Linyai boleh menyebutkan judul apa saja sesuka hatinya, sebab sampai sekarang ini Nusuki belum mampu membaca dengan baik dan benar. Jika pun ia memegang koran, hanya sebatas milihat gambar pada halaman pertama. Selebihnya, ia harus bersedia menjadi pendengar yang bijak.