Pareidolia Sintetis (Konstruksi Sesat Pikir Penguasa)

in #pareidolia7 years ago (edited)


Source

Apakah engkau pernah melihat siluet pepohonan yang mencitrakan bentuk manusia, hewan, atau objek-objek tertentu yang terekam dalam database indera penglihatan? Awan yang merupa wajah seseorang?


Source
Kesan bentuk benda atau makhluk lain bukanlah sebuah anomali imajinasi pandangan mata, walaupun hal itu hanya (mungkin) sekedar noda di dinding yang membentuk sesuatu. Fenomena ini dikenal dengan sebutan pareidolia.

Pareidolia pertama yang kualami pada umur delapan tahun, meski bisa saja pareidolia telah mulai ter-indera mata sejak penglihatan mulai mengenal citra di sekitarnya. Saat itu aku melihat noda karat di seng dinding dapur merupa siluet Ona Sutra, pedangdut yang mengukuhkan pesona Barcelona dalam lagunya (selain The Queen dan Fariz RM).

Mulanya aku tak mengira gejala tersebut adalah sebuah gejala umum yang dialami tiap insan. Aku menyimpannya sendiri dengan menambah koleksi pareidolia dari setiap bentuk di alam yang kutemui di sekitar. Kebiasaan yang melahirkan kekhawatiran ini, parahnya, kerap melahirkan rasa takut. Rasa takut yang menjurus pada ketakutan ini pun memuncak dalam benak. Benarkah aku gila? Saat itu, pareidolia menjadi rahasia terintim pertamaku dengan semesta.

Suatu hari, saat aku bersama teman sekolah berjalan beriringan menuju bangunan SD Inpres tempat kami menimba ilmu di kawasan perbukitan kampung Sukamulia, Rantau, Aceh Tamiang. Kawanku berkata, “Yong... coba kau tengok, awan itu bentuknya kaya’ orang, ‘kan...?” ujar kawanku mengkonfirmasi bentuk awan yang sedang bertarung dengan cahaya mentari. Tulang leherku merespon perintah otak untuk menengadah beberapa derajat. Ia benar. Awan itu menyerupai orang. Aku senang. Ternyata apa yang kualami selama ini bukanlah gejala abnormal.

Tanpa sadar akupun semakin gemar mengumpulkan pareidolia yang mampu kulihat setiap hari. Lebih giat dari sebelumnya. Permukaan tanah lempung, noda di dinding, noda iler di sarung bantal, larik cahaya di lantai papan rumah dari seng yang bolong di sana-sini, kotoran hewan, apa saja yang berpola... terhadap segala yang berpola.

Imajiku menemukan wahana tanpa batas dengan pareidolia. Kenyataan yang tertangkap mata berjumpalitan ke dimensi lain dari keberadaanku. Jakarta, Barcelona, layar kaca, artis, karakter film kartun, simbol, pahlawan nasional, kadal gigantik jaman jura hingga paras mempesona dara jelita. Titik-titik yang membentuk garis dan kurva menciptakan pola sebagai citra yang menjejakkan bayang di indra netra. Kenikmatan menemukan sesuatu yang menjadi bonus perhatian terpusatku pada detail yang terabai orang lain.


Source

Persahabatanku dengan mekanika baru dalam diri yang terasing karena kesesatanku cinta pada baca, ketika kawan seumur lebih suka mengumpulkan belalang untuk pakan burungnya, membendung dan menguras saluran air di sawah untuk mendapatkan ikan, berjumpalitan di atas tumpukan jerami usai panen, mencari sarang burung yang telah berisi piyik dan mengadopsi paksa untuk memeliharanya di rumah, mencari buluh untuk merakitnya menjadi layangan dan segudang aktivitas kanak-kanak lain yang telah bosan kujalani.

Selayaknya sensasi, gandrungku pada pareidolia menemukan titik jenuh ketika sensasi yang kudapat makin terasa kering. Titik yang mengantarkanku pada sadar atas semunya. Aku kembali menjadi anak kampung yang terlibat aktivitas mainstream. Aku tiba di titik jenuh berburu dan mengoleksi pareidolia. Jenuh yang tak berlangsung lama karena aku menemukan bahwa pareidolia ternyata tak hanya menjangkit mata.

Bermula dari salah mendengar perintah Mamak yang kala memerintahku untuk mengembalikan rantang milik tetangga. Telingaku menangkap kalimat lain yang samasekali berbeda. Kecanduanku pada pareidolia menemukan sumber sensasi lain, telinga. Proses melestarikan kecanduanku pada pareidolia berlanjut dengan mengeksploitasi kecenderungan pareidolik di keganjilan panca indra. Kulit, lidah dan penciuman menjadi perangkat detektor pareidolia baru. Sumber sensasi baru ternyata mampu mengungkit kecenderungan yang teradiksi pareidolia beberapa waktu sebelumnya, kambuhlah lagi penyakit lamaku.

Sensasi pareidolia tidak akan nikmat ketika aku bermaksud mendapatinya dengan sengaja. Kenikmatan sensasi pareidolia terletak pada kesalahan murni, tanpa giringan nalar; spontanitas. Mungkin lebih tepat jika kugambarkan sebagai kesalahan yang polos, lugu dan apa adanya.

Di masa setelah itu, aku menemukan sumber bacaan yang dimuat di majalah saku INTISARI milik kawan Bapak, ramalan dengan menggunakan seduhan teh. Artikel tersebut memaparkan metode meramal yang identik dengan pareidolia; Peramal menyeduh bubuk teh kasar yang mengambangkannya di permukaan gelas. Ia menerawang masa depan si Pasien dengan melihat bentuk apa yang mewujud samar dari bubuk teh yang mengambang di permukaan gelas. Aku menemukan tambahan legitimasi untuk memelihara adiksi pareidolia yang 'kuidap'!

Hingga smester 3 kuliah, aku masih belum menemukan istilah yang tepat untuk menggambarkan hobiku. Aku belum menemukan pareidolia sebagai sebuah istilah. Hingga aku mengenal internet. Awalnya aku menemukan istilah yang salah, scotoma. Beberapa kawan sempat mengenal istilah scotoma yang sesungguhnya kumaksud untuk menjelaskan pareidolia. Scotoma lebih tepat menggambarkan kesalahan persepsi karena kerusakan fisik indrawi. Istilah scotoma digunakan untuk menjelaskan kerusakan alat optik yang berjamur, retak atau dalam kasus mata; scotoma menjabarkan kerusakan mata hingga gagal mengidentifikasi citra.

Berulangkali aku harus merevisi scotoma menjadi pareidolia setelah aku menemukannya dalam sebuah artikel. Saat itu aku membaca sebuah artikel mengenai penemuan kontur permukaan planet Mars yang menyerupai wajah Mahatma Gandhi.


Source
Ironisnya, adiksi pareidolia atasku memudar seiring penyempurnaan identifikasi setelah kutemukan istilah tepatnya.

Identifikasiku terhadap pareidolia ternyata tak henti disitu. Aku menemukan peningkatan bentuk pareidolia di jenjang yang lebih maju, politik. Bedanya, pareidolia di wahana politik adalah fenomena artifisial. Namun, disitupulalah aku menemukan sisi terseksi pareidolia. Penguasa menjejali publik dengan informasi berdasarkan kecenderungan diri masing-masing. Mulai dari kecenderungan cinta lingkungan, anti-korupsi, hobby, bahkan fanatisme beragama. Gejala demikian muncul –terutama– kala kuasa akan berganti dan saat penguasa mengalami masalah yang menyedot perhatian publik.

Ternyata, kecenderungan pareidolik setiap orang direkonstruksi sebagai kecenderungan kolektif untuk menggagalkan pusat perhatian publik. Mungkin sisi unik dari konstruksi politik macam ini terletak pada pelakunya. Publik tidak diarahkan untuk mengalihkan perhatian dari subjek atau objek masalah, lebih dari itu, penguasa ekonomi dan/atau politik justru mengarahkan mata dan pikiran jama’ah pada sasaran subjek atau objek yang dikesankan bersalah atau bermasalah.

Contoh, ketika sekumpulan demonstran menumpahkan kemarahan terhadap ketidakadilan dengan berlaku vandal, penguasa yang mendominasi kepemilikan media justru memusatkan perhatian pada vandalisme para demonstran, bukannya menyorot ketidakadilan penguasa yang menjadi benalu bagi kehidupan berbangsa. Belum lagi kesalahan diksi menyamakan vandalisme dengan anarkisme. Pirsawan dan Pirsawati di penjuru tanah air akan menempelkan stiker perusak di jidat para demonstran. Di saat yang sama, para Benalu Bangsa melenggangkan langkah bersandang pakaian necis dan senyum plastik penuh kemenangan.

Pemirsa di penjuru tanah air akan mengalami kegagalan fokus dalam menilai dan hingga membangun analisa solusi yang meleset dalam mengidentifikasi persoalan bangsa. Bahkan mereka gagal –secara kolektif– mengidentifikasi antagonis dan protagonis dalam lakon kehidupan bernegara. Serupa dengan pareidoliaku di masa kanak-kanak, bukan?!

Pareidolia sintetik milik para penguasa sebangun dengan logical fallacy (sesat pikir). Bedanya, jika logical fallacy adalah kesalahan personal, pareidolia sintetis adalah rakitan para penguasa membangun kesesatan pikir berjama’ah. Tindak sintetisasi pareidolia bukanlah semata milik para penguasa dalam lingkup politik dan ekonomi. Agama yang menjadi episentrum fanatisme insan turut mengalami eksploitasi seiring kegampangan mengakses informasi hingga bilik kakus.

Akhirnya, fanatisme yang sejak awal telah menempati sudut negatif dalam pola pikir dan sikap tindak manusia menemukan gelanggang atraksi; Berlumur bumbu agama dan dikemas dalam kerapuhan bungkus prasangka yang indah, menjadi paduan sempurna untuk meremas kepercayaan sosial menjadi serpihan debu kehancuran.

Jadi, apakah pareidoliamu?

Sort:  

Masih kiri, sejak dulu. Hehehehe

Hahahahahahaha...
Jangan bongkar kartu, Boss... Nanti susah aku ambil kredit ke bank.
BWAHAHAHAHAHAHA...

ngeri kali filsuf :D

Filsuf Magang, Bro.

Terjawab sudah hal membingungkan yg dlu pernah aku tanya ke abg.. makasih bg.

Qiu...

Hehehehehehe...
Jangan lupa bingung dengan sepenuh paham...
Qyuuu...

sampai sekarang dinding di kafe ku masih ku anggap sebagai peta SUlawesi yang terbentuk dari rembesan hujan yang menggiring cat dinding untuk membentuk pareidolia ku, sekarang pareidolia itu berangsur memudar. namun aku masih bisa tunjukkan kepada mu jika kau berniat mampir kembali, kali ini aku bisa pastikan kau bisa menulis dengan tenang disini bang.

Dapat pengetahuan baru tentang pareidolia.... Btw tag nya kalau bisa jangan itu. Tag pertama indonesia tag kedua science tag ketiga boleh pareidolia.... Sayang tulisan bagus ini gak dibaca oleh kurator karena salah tag

Baik, Bang...
Makin sehat aku kalau sering dapat komentar bergizi dari Abang...

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63239.86
ETH 2621.03
USDT 1.00
SBD 2.77