REVIEW SINGKAT 9 FILM NOMINASI OSCAR 2018
Perhelatan Oscar atau Academy Awards ke-90 akan segera diselenggarakan. Untuk sekadar membuat catatan kecil, saya akan mereview 9 film yang masuk nominasi dalam kategori film terbaik. Tentu saja penilaian saya tidak terlepas dari godaan subjektifitas. Jadi, mari kita bersawala.
Di ajang Oscar tahun lalu, kisah cinta heteroseksual (La La Land) berhasil dikalahkan oleh kisah cinta homoseksual (Moonlight). Tahun ini muncul satu lagi film tentang gay yang, dari segi kualitas, memang bagus. Terlepas dari temanya yang kontroversial, visual dan sinematorgafi film ini sangat indah. Belum lagi akting Elio (Timothee Chalamet) yang apik: dia amat lihai mengekspresikan kecemburuan, kebahagiaan, kesedihan, serta sifat carpernya di hadapan Oliver (Armie Harmer) yang kadang menjengkelkan. Cerita bermula ketika Oliver, seorang mahasiswa pascasarjana dari Amerika, diajak oleh ayah Elio (Michael Stuhlbarg) untuk menginap di rumah mereka, di pedukuhan Italia, untuk membantu si ayah dalam mengurusi dokumen penelitiannya sebagai seorang arkeolog. Karena tinggal di kamar yang berseberangan, Elio mulai mengagumi Oliver secara diam-diam hingga mengungkapkannya dalam sebuah momen dramatis yang menyentuh. Meskipun beralur linier, tapi film ini berakhir dengan sad ending yang sukses mengaduk-aduk emosi. Adegan favorit: saat Elio cemburu pada Oliver dan melampiaskannya pada Marzia (Esther Garrel).
Jika ditanya siapakah tokoh utama dari perang dunia kedua, jawaban utamanya mungkin Hitler, baru setelah itu Churcill, Roosevelt, atau Stalin. Film ini berkisah tentang salah satu dari tokoh runner-up itu: Churcill (Gary Oldman). Cerita bermula ketika Churcill diangkat sebagai Perdana Menteri karena Chamberlain, pemimpin yang baik di masa damai, didesak untuk mundur lantaran tidak mampu memimpin dengan baik di masa perang. Meskipun bercerita tentang Perang Dunia II, tapi sisi yang ditilik khusus pada psikologis Churcill yang terjebak pada situasi dilematis, harus memilih antara berdamai dengan Jerman atau berperang, termasuk tema sentral menyangkut keputusannya perihal kekalahan tentara sekutu di Dunkirk. Aku akui, akting Oldman sangat luar biasa di sini dan kemungkinan besar dia akan menyabet piala Oscar pertamanya. Adegan favorit: saat Churcill menemui warga tatkala menyusup ke dalam kereta api bawah tanah. Nirhistoris memang, tapi tetap mengagumkan.
Jika Darkest Hour berkisah tentang tragedi Dunkirk dari sudut pandang pemimpin negara yang mengendalikan perang, maka Dunkirk berkisah tentang hal yang sama dari sudut pandang yang lebih mikroskopis: para prajurit yang terjun langsung ke gelanggang perang. Memang sesuatu yang biasa jika dikerjakan dengan cara yang luar biasa tentu hasilnya juga akan sangat luar biasa, tapi Christopher Nolan membuat tema Perang Dunia II yang sudah amat klise menjadi sangat elegan. Dengan gaya penceritaan yang agak eksperimental, meski tak baru, kisah film ini terbagi ke dalam tiga alur utama yang unlinier dan seling terkait (The Mole, The Air, The Sea) yang mewakili pertempuran di darat, laut, dan udara. Film ini berhasil menampilkan nuansa perang yang terasa nyata meski tanpa ada pertumpahan darah yang sadis. Meskipun bukan film terbaik Nolan (aku menganggap Inception dan The Dark Knight yang terbaik), film ini adalah karya yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan film-film bertema serupa yang muncul di tahun 2017 lalu. Adegan favorit: kematian konyol George Mills (Gary Keoghan) di tengah azmatnya perang. Terasa agak filosofis dan fatal.
Memang benar, cara paling ampuh untuk menundukkan keujuban suatu kaum adalah dengan satire. Film bernuansa komedi-hitam ini mengajak kita untuk melihat dari sisi berbeda ihwal rasisme yang membuat warga kulit hitam merasa didiskriminasi secara sosial maupun personal. Premis keseluruhan kisahnya memang mirip-mirip film thriller yang kelimut. Seorang pemuda kulit hitam yang diajak oleh pacarnya untuk menginap di rumah orang tua si pacar, tapi yang terjadi setelahnya adalah hal-hal aneh, garib dan mampu membangkitkan rasa kesal penonton. Akting Daniel Kaluuya sebagai Chris Washington memang bagus di film ini, meskipun seharusnya nominasi aktor terbaik bukan dia, melainkan James Franco dalam fim The Disaster Artist yang tersisih lantaran tersandung kasus pelecehan seksual itu. Adapun adegan favoritku dari film ini adalah: momen menegangkan saat Chris menyadari bahwa mimpinya bukanlah mimpi.
Saoirse Ronan, ya, Saoirse Ronan, memang aktris muda yang tidak kalah hebat dibanding para seniornya. Tema coming of age dalam film ini memang sudah sangat pasaran dan sempat mengingatkanku pada film An Education yang dibintangi Carrey Mulligan itu. Hal yang membuat film ini seru untuk diikuti adalah akting Ronan dan kenakalannya yang membuat siapa saja jatuh cinta. Untuk ketiga kalinya dia telah dinominasikan sebagai aktris terbaik di ajang Oscar (pertama Atonement, kedua Brooklyn), dan berharap dia bisa memenangkannya. Inti kisah ini adalah tentang Christine ‘Lady Bird’ McPherson yang senantiasa tampil necis, serta menolak untuk melanjutkan studi di universitas lokal dan berusaha untuk lolos di salah satu kampus di New York. Beberapa adegan yang seharusnya biasa-biasa saja, tapi terasa menggelitik karena Greta Gerwig (sang sutradara) mampu menyajikannya dengan cara yang berbeda. Misalnya, saat berdebat di dalam mobil dengan ibunya atau kisah asmaranya yang kandas lantaran pacarnya seorang gay. Tapi adegan favoritku: saat Lady Bird ketahuan berbohong tentang rumahnya. Sangat memalukan sekaligus memilukan.
Duet maut antara Paul Thomas Anderson (PTA) dan Daniel Day-Lewis (DDL) kembali, setelah yang pertama dan paling utama di film There We Be Blood. PTA memang terkenal dengan film-filmnya yang berat dan filosofis (lihat: Magnolia, The Master, Inherent Vice), sedangkan DDL nyaris selalu memukau di setiap aktingnya (lihat: My Left Foot, In the Name of Father, Gangs of Newyork, Lincoln). Dalam film ini, yang konon akan menjadi film terakhir DDL sebelum pensiun, bercerita tentang Reynolds Woodcock (DDL), seorang penjahit yang mendesain busana para elite, dan demi pekerjaannya yang luhung dia memutuskan hidup selibat hingga pertemuannya dengan Alma Elsons (Vicky Krieps), seorang wanita mengubah segalanya. Karena kualitas yang masih buram, jadi tidak banyak hal yang bisa untuk diungkap selain keindahan yang menjelma dalam adegan favoritku: nyaris di setiap adegan makannya, ya, nyaris di setiap adegan makannya!
Steven Spielberg memang tidak pernah mati. Hampir semua film yang dibuatnya menjelma menjadi karya legendaris yang patut dikenang. Tapi film ini film berat, dalam artian tidak cocok untuk ditonton oleh orang yang mengaku sebagai pecinta film sekalipun jika tidak memahami tentang skandal Pentagon Papers yang menguak rahasia busuk pemerintah Amerika Serikat menyangkut tentang kebijakan di Perang Vietnam sekitar tahun 1960-an. Film ini bercerita tentang usaha para redaktur The Washington Post agar mengikuti jejak The New York Times untuk mempublikasikan isi dokumen rahasia itu meski harus berurusan dengan pengadilan. Latarnya terjadi sekitar tahun 1971 yang mana pada saat itu Presiden Nixon memberedel koran yang berani membuka aib tersebut. Ending film ini sangat berkaitan dengan film All the President’s Man yang juga bercerita tentang wartawan yang sukses melawan pemerintah yang berakibat pada mundurnya Presiden Nixon. Adegan favorit: saat Ben Bradlee (Tom Hanks) menunjukkan koran-koran yang mengikuti jejak The Washington Post untuk memuat skandal Pentagon Papers pada Katherine Graham (Meryl Streep). Meski sederhana, tapi kaya makna.
Sahih: setelah Pan’s Labyrinth yang fantastis itu, Guillermo del Toro berhasil menciptakan karya masterpiece yang romantis dan emosional. Andai film ini bukan disutradarai oleh Toro, kemungkinan besar kisahnya akan sangat klise dan kualitasnya tidak jauh-jauh amat dari film banal semacam waralaba Alien atau semua versi dari Beauty and the Beast. Bukan hanya kisah cinta beda spesiesnya yang menarik (konon merupakan propaganda bestialitas), tapi menyangkut juga tentang karakteristik unik para tokohnya seperti Elisa Esposito (Sally Hawkins) yang bisu dengan pola kehidupan monoton, Zelda D. Fuller (Octavia Spencer) yang bahkan tidak tahu arti dari namanya sendiri, Giles (Richard Jenkins) seniman tua yang gay (ah sial, lagi-lagi LGBT), serta Col. Richard Strickland (Michael Shannon) yang-hanya dengan melihat tatapan matanya-bisa membuat siapa saja bergidik. Memang ada kesan si Humanoid Amphibian ini mirip karakter Abe Sapien dalam film Hellboy. Tapi itu lumrah, mengingat sutradaranya yang sama. Adegan favoritku: saat Elisa berimajinasi bahwa dia dan si Humanoid Amphibian sedang berdansa di ruang auditoriom. Sangat teatrikal!
Aku menyangka film ini disutradarai oleh Coen Bersaudara, tapi nyatanya tidak. Selain memakai Frances McDorman (istri salah satu Coen) sebagai protagonis utama, tema dan alur semacam ini memang tipikal Coen Bersaudara. Tapi setelah mengetahui sutradaranya yang ternyata adalah Martin McDonagh, aku malah semakin tertarik lantaran beliau ini pernah membuat film-film berkelas yang tak mungkin bisa dilupakan semacam In Bruges dan Seven Psychopath. Kisah Three BillboardS Outside Ebbing, Missouri ini sederhana, hanya tentang Mildred (Frances McDormand), seorang ibu yang memprotes kepolisian dengan menyewa 3 papan reklame di perbatasan kota yang sepi lantaran kasus pemerkosaan dan pembunuhan atas anak gadisnya yang belum tuntas. Kisah terus berlanjut dengan sarat akan nuansa komedi-hitam dan rentetan twist yang tak tertebak. Sisi lain yang keren dari film ini adalah kehadiran salah satu polisi yang karakternya amat menjengkelkan: Dixon (Sam Rockwell). Aku menebak film ini akan banyak menyabet piala Oscar, yang dimulai dari aktris terbaik, aktor pendukung, dan kemungkinan besar film terbaik. Banyak hal lucu, miris, dan sedih selama cerita berlangsung, tapi adegan favoritku: saat Dixon yang rasis menghina Abercrombie (Clarke Peters) kepala polisi negro yang baru diganti, hingga membuat si arogan Dixon dipecat.
waaaah, tag e kurang tepat ya wen. selamat datang di Steemit wen boh, keep steem on.
Congratulations @nandawinarsagita! You received a personal award!
Click here to view your Board