GERAKAN "ACEH MUAK"

in #opini7 years ago

image

Sebagian pembaca, barangkali bertanya-tanya soal judul tulisan di atas. Gerakan apalagi ini? Mengapa “muak” harus digerakkan? Apakah kata “muak” bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat di Aceh? Jawabannya tentu bisa beragam. Tapi memang tulisan ini erat kaitannya dengan deklarasi Gerakan Aceh Muak (Geram) yang diinisiasi oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), beberapa hari lalu. Dalam deklarasi itu, saya hadir atas undangan Safaruddin, pengacara yang selama ini menggawangi YARA.

image

Sebenarnya kata “muak” yang disematkan kepada gerakan ini, berasal dari ucapan Kepala Pemerintahan Aceh Irwandi Yusuf. Saat menjawab pertanyaan para wartawan, soal kunjungannya ke luar negeri untuk membeli pesawat seperti yang ia pakai jika kunjungan ke daerah kabupaten/kota. Saat itu, Irwandi mengucapkan bahwa dirinya muak ke luar negeri. Di beberapa media online, pewarta menulis kata “bosan”. Mereka menulis, Irwandi bosan ke luar negeri. Antara kata muak dan bosan memang memiliki arti yang hampir serupa. Bedanya, seperti halus dan kasar. Muak terkesan kasar, sedangkan bosan dimaknai lebih halus. Terlepas halus dan kasar, ternyata kata muak lebih diminati oleh YARA. Sebagai public figure, ucapan dan gerakan Irwandi Yusuf sering mencuri perhatian orang dan menjadi viral di media sosial (medsos).

Contohnya, saat Irwandi memperagakan gerakan menyilangkan kaki kanannya dan kedua tangannya di pinggang (orang Aceh menyebutnya, singklek gaki). Gerakan itu sempat menjadi “trend”, bahkan menjadi perbincangan di warung kopi dan diulas dalam media sosial. Itulah sebabnya, saat Irwandi mengucapkan kata “muak”, maka kata itu pun dipandang perlu dipopulerkan dan diperluas makna serta cakupannya.

Sesungguhnya ucapan muak ke luar negeri patut kita acungkan jempol. Sudah saatnya kepala pemerintahan di Aceh untuk “puasa” menjelajahi negeri orang. Apalagi jika membawa rombongan yang besar. Sebab dana yang digunakan adalah uang rakyat yang berasal dari kas daerah. Alasan klise dan klasik yang sering disampaikan ke publik, adalah mempromosikan daerah dan menggaet investor asing. Khusus bagi Irwandi, kepergiannya kali ini ingin melihat langsung pesawat bermesin tunggal yang akan dibeli oleh Pemerintah Aceh.

Saya tidak mengulas panjang lebar tentang muak ke luar negeri. Pesan yang ingin disampaikan oleh Geram, sebaiknya kepala pemerintahan di Aceh muak juga dengan segala bentuk ketidakberesan yang ada. Misal, muak terhadap molornya pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA). Idealnya akhir Nopember atau awal Desember APBA sudah disahkan.

Terlambatnya pengesahan APBA tentu akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan di Aceh. Mulai dari pengumuman proyek hingga menentukan siapa pemenangnya. Di sinilah kadang muncul pat gulipat anggaran dan proyek yang dibiayai oleh APBN dan APBA. Apalagi 2018 dan 2019 adalah tahun-tahun politik menjelang pemilihan legislatif dan presiden. Tentu para incumbent membutuhkan modal tambahan untuk mempertahankkan kursinya. Rakyat awam hanya bisa pasrah. Para akademisi pun menggelar diskusi kenapa APBA terlambat lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Adapun eksekutif dan legislatif sepertinya belum ada tanda-tanda mundur selangkah.

Tentunya molornya pengesahan APBA harus disikapi secara muak oleh para penyelenggaraan pemerintah. Seandainya muak ini tertanam di dada para pengambil keputusan, kita yakin bahwa APBA akan disahkan tepat waktu. Kita juga muak dengan masih adanya warga yang belum tersentuh pembangunan. Akibatnya ada banyak masyarakat yang dibelenggu kemiskinan. Kondisi miskin tentu akan mempengaruhi aksesnya untuk mendapatkan kesehatan yang prima, pendidikan unggul, dan kesempatan bekerja. Bahkan bisa jadi akan menghambatnya untuk berpartisipasi dan mengkritisi pembangunan di depan mata. Belenggu kemiskinan juga membuat para pegiat swadaya masyarakat bertanya dan menggugat soal anggaran yang melimpah karena adanya otonomi khusus (dana otsus) di Aceh.

Kita juga muak dengan banjir yang kerap “menziarahi” sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Air bah itu seolah-olah punya agenda tetap “berkunjung” ke Aceh pada saat curah hujan tinggi. Memang banjir kerap melanda negara dan kota lainnya. Tapi mengapa kita tidak mempersiapkan agar air hujan yang turun itu ditampung dalam “beulangong besar” (waduk).

Kita muak, mengapa beulangong besar yang saat ini katanya sedang dibangun, tidak kunjung selesai. Padahal, banjir tahunan itu telah menyebabkan ribuan warga mengungsi sementara dan kerugian mencapai angka ratusan miliar rupiah. Negara dan pemerintah gagal melindungi warganya terhindar dari banjir.

Kita pun masih bisa menyusun daftar inventarisasi masalah yang membuat kita muak dan ingin hal itu segera diselesaikan. Masalah adalah kondisi di mana ada perbedaan atau kesenjangan yang mencolok antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan warga masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu.

Jika kita tidak muak, maka kesenjangan-kesenjangan sosial yang tajam itu melahirkan kekhawatiran dan putus asa mengenai masa depan. Kedua hal ini jika tidak diatasi menimbulkan semacam fatalisme. Ini berarti bahwa masyarakat cenderung kehilangan harapan akan masa depan. Radikalisme akan muncul dengan kuat kalau mereka dijangkiti fatalisme. Kelompok bersenjata Din Minimi yang pernah muncul di Aceh Timur, beberapa waktu lalu, bisa jadi adalah satu contohnya.

Gerakan sosial
Kepada para kepala pemerintahan di Aceh, Geram adalah gerakan sosial. Ia ibarat para Muazin di masjid dan meunasah yang mengingatkan orang bahwa waktu shalat telah datang. Ia juga ibarat early warning system yang membangunkan para pemilik otoritas dan pemangku amanah untuk bekerja keras, merealisasikan sumpah dan janjinya menyejahterakan rakyat.

Saya punya keyakinan bahwa Geram tidak akan menjadi oposisi, karena dia bukan sayap dari partai politik manapun. Karena itu, jika Geram nanti hadir di semua daerah di Aceh, maka itu pertanda bahwa kita harus lebih banyak lagi memegang dan menyalakan “lampu harapan” mengisi 2018 ini. Menyinari tempat-tempat gelap di mana sarang-sarang kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan hidup berkembang.

Tentu saja pro dan kontra menyikapi deklarasi Geram tidak bisa dihindari. Demokrasi menyediakan ruang untuk berbeda sudut pandang. Mereka yang menghubungkan Geram adalah kelompok anti Irwandi Yusuf, selain keliru dan tidak bertanggung jawab juga gagal memahami realitas sosial dan partisipasi publik. Sebab mewujudkan Aceh Teuga, selain ketersediaan anggaran, membutuhkan juga gerakan sosial dan pemikiran yang dilandasi nilai-nilai Qurani. Yakni, saling menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan saling menolong dalam dosa dan permusuhan.
Wallaahu a’lam.

By M. Nasir Djamil (Anggota DPR RI)
Sumber : Serambi Indonesia

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.14
JST 0.030
BTC 60189.57
ETH 3204.49
USDT 1.00
SBD 2.44