“Mante” Masuk Kota, Hutan Sudah Gundul
Foto Sendiri
BANDA ACEH – “Jangan cari kami, meskipun hutan sudah kalian gundulkan”. Bagitulah Jamal Sharif seorang aktor yang memerankan menjadi Mante membacakan bait-bait syairnya pada acara pameran foto penyelematan hutan.
Pemeran foto bertemakan “Ancaman dan Kerusakan Lingkungan Aceh” menampilkan 40 frame foto hasil liputan sejumlah jurnalis di Aceh, yang resah terhadap kondisi hutan yang semakin susut. Bila dibiarkan tanpa penanganan cepat, bencana ekologi tentunya akan mengancam Aceh.
Jamal Sharif melalui aksi seninya membacakan puisi sembari berteraterikal menyampaikan pesan-pesan sosial agar hutan tak digunduli. Semua pihak agar tidak mengganggu habitat satwa liar, terutama satwa yang dilindungi seperti gajah, harimau, badak dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.
Jamal Sharif berperan sebagai Mante, suku pertama di Aceh yang dulunya tinggal dalam hutan belantara, berpindah satu tempat ke tempat lainnya. Suku Mante ini kemudian menurut catatan sejarah orang pertama yang mendiami Aceh yang berpusat di Jantho, Aceh Besar.
Setahun lalu, sempat dihebohkan dengan temuan suku Mante oleh pecinta motor trail yang melintas. Video yang diduga suku Mante itu kemudian menjadi viral di media sosial, sehingga terjadilah perbincangan kembali tentang suku Mante, meskpun demikian tak seorang pun yang mampu membuktikan keberadaan suku Mante tersebut.
Tetapi, sekarang tidak sedang membicarakan suku Mante. Akan tetapi, Jamal Sharif yang dikenal seorang seniman dan aktor melakukan aksi teaterikal berpakaian seperti Mante. Melalui aksi teaterikal ini, ia membacakan bait-bait puisi, menyindir pelaku perambahan hutan dan pemburu satwa dilindungi.
Jamal mengutuk keras pelaku perambahan hutan yang menjadi rumahnya satwa liar. Konflik satwa yang terjadi bukan karena salah hewan-hewan itu, tetapi manusialah yang telah mengusik habitat satwa, sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.
Penampilan Jamal pada acara pameran foto ini hendak disampaikan kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya, bahwa laju deforestasi di Aceh semakin mengkhawatirkan. Bila tidak segera ditanggulangi, berbagaicamam bencana akan mengancam Aceh.
Bencana banjir bandang, longsor, konflik satwa hingga ancaman kekeringan bisa saja terjadi di Aceh. Pasalnya, hutan-hutan di Aceh semakin susut dan sumber air menjadi kurang dan ini menjadi ancaman serius bagi Aceh dalam jangka panjang nantinya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA), luas hutan Aceh mencapai 3.557.928 hektar. Mirisnya, pada tahun 2017 sisa hutan hanya 3.019.423 hektar, tentunya ini semakin mengkhawatirkan lagi setiap tahunnya laju deforestasi terjadi meningkat.
Sedangkan hutan lindung di Aceh saat ini mencapai 1,790,200 hektar. Setiap tahunnya hutan lindung yang seharusnya dijaga untuk kehidupan manusia, malah terus mengalami deforestasi. Pada tahun 2016, sisa hutan lindung di Aceh 1,626,108 hektar, kemudian semakin mengkhawatirkan tahun 2017 terus turun tersisa 1,621,290 hektar. Jadi selama kurun waktu 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sebesar 4,818 hektar.
Belum lagi bicara satwa liar yang juga semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BSDA) Aceh, populasi gajah data yang diambil tahun 2016 akhir berjumlah lebih kurang 539 individu. Jumlah tersebut bisa saja bertambah, mengingat ada ditemukan sejumlah anak gajah yang lahir.
Akibat rumah gajah, yaitu hutan dan gunung yang landai sudah diusik oleh masyarakat, sejak 6 tahun terakhir sudah 68 gajah tewas. Tahun 2012 ada 12 gajah mati, 2013 ada 11 gajah, 2014 meningkat menjadi 13 ekor, 2015 juga meningkat 14 ekor, 2016 hanya 4 gajah, satu ekor gajah jinak dan tahun 2017 kembali naik menjadi 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin.
Ketua pantia Pemeran Foto, Retno Sugito menyebutkan, kerusakan hutan di Aceh akibat perambahan hutan yang tak terkendali. Akibatnya habitat satwa liar terganggu hingga terjadi konflik dengan manusia.
“Ini butuh perhatian semua pihak, hutan harus kita jaga untuk anak cucu kita nantinya,” tukasnya.
Hutan menjadi warisan untuk anak cucu ke depan. Bila tak dijaga saat ini, hutan dan satwa yang dilindungi hanya dilihat melalui frame foto dan menjadi cerita bahwa di Aceh dulunya memiliki hutan yang lebat dan banyak spesies satwa yang indah dan unik.