#MovieReview Aparajito
Bagi keluarga berkasta Brahmana, menjadi pendeta adalah salah satu cara mudah dan murah untuk bisa melanjutkan hidup ditengah himpitan ekonomi. Begitu pula yang terjadi dalam hidup keluarga Apu. Ayahnya, Harihar Roy, menjadi pendeta yang membacakan Kitab Suci di pinggiran sungai Gangga kepada beberapa jemaat yang duduk mengelilinginya.
Sedangkan Apu telah menjadi anak tunggal Harihar dan Sarbajaya setelah saudara perempuannya Durga meninggal dunia ketika mereka tinggal di Nischindipur. Keluarga Harihar lalu pindah ke Kashi, di sebuah rumah sewa bersama beberapa penghuni lainnya.
Kepindahan mereka ke Kashi memberi dampak positif. Hidup mereka menjadi lebih baik, Apu bisa bersekolah dan merasa betah di lingkungan barunya. Pun begitu dengan Sarbajaya, meski tak punya teman, tapi ia kerasan dan bahagia tinggal di Kashi.
Suatu petang, Harihar kembali dalam keadaan lemah. Beberapa hari kemudian, ia pun meninggal karena sakit. Sarbajaya tak punya pilihan lain agar ia dan anaknya tak mati kelaparan selain bekerja menjadi seorang pembantu jurumasak pada keluarga kaya dari Burdwan. Akhirnya Sarbajaya dan Apu ikut pindah ke Burdwan. Umur Apu saat itu 10 tahun.
Pada awal-awal kehidupan baru mereka di Burdwan, Apu belajar menjadi pendeta, namun ketertarikannya pada sekolah jauh lebih besar. Dengan berat hati, Sarbajaya mengizinkannya bersekolah dan meninggalkan keinginan Sarbajaya supaya Apu menjadi pendeta seperti Harihar.
Kecerdasan Apu membuatnya mendapatkan beasiswa sekolah ke Kalkuta, itu berarti dia harus berpisah dengan Sarbajaya yang awalnya tak mengizinkan karena faktor biaya. Apu yang telah beranjak remaja tak ingin kesempatan ini dilewatkannya. Ia bisa bekerja untuk memenuhi biaya hidupnya, jelas Apu pada Sarbajaya pada suatu malam ketika meminta izin untuk mengambil beasiswa senilai 10 rupee tersebut.
Apu berangkat ke Kalkuta dengan restu Sarbajaya yang akhirnya luluh pada optismisme anak semata wayangnya. Tapi apakah Apu betah bersekolah di kota besar yang menjemukan dan penuh kesinisan? Sanggupkah ia bertahan atau meninggalkannya?
Aparijito adalah sequel dari film Pater Pancali yang diadaptasi dari penulis novel kenamaan India, Bibhutibushan Banerji. Pada film ini bercerita lebih banyak tentang Apu di masa-masa Apu bersekolah di Kalkuta, pergolakan batinnya antara terus bersekolah atau kembali tinggal dengan ibunya yang kemudian sakit-sakitan di Burdwan.
Kisah Apu mengingatkan saya pada diri sendiri. Meski jalan hidup jauh berbeda, Apu dari keluarga Brahmana yang mendapat beasiswa, saya hanya rakyat jelata yang merantau untuk bekerja, tapi Apu dan saya memiliki visi yang sama: hijrah meninggalkan keluarga agar peroleh penghidupan yang lebih baik.
Sebagaimana film hasil adaptasi dari sebuah novel, tentu tak semua kisah dapat divisualkan. Ada banyak perubahan yang terjadi. Sayangnya di Aparajito, banyak tokoh dalam novel tak muncul dalam film ini. Meski kisah Aparajito fokus pada Apu saja, namun penggalian karakter dan konfliknya masih terasa kurang mendalam.
Mau baca bukunya dulu ah..makasih ya, review-nya. Bagi orang (sok) sibuk dan ga sempat nonton kayak kakak, review kayak ini berarti banyak lah, Cit.
Menonton aja ga sempat, apalagi membaca bukunya, kak? Sempat emang? Hahahahaha
Wkwkwkwwkkwkwk. Nohok abnget sih komen kamu Ociiiiiit, hahahahahahaaa
Lebih nohok komen kak Eqi. Hahaha...
Emang ada dijual di Indonesia ya bukunya? Eh, jangan2 Citra udah baca bukunya? Soalnya ditulis Citra 'banyak tokoh dalam novel tak muncul dalam film ini'.
Langsung searching di Goodreads, eh, ternyata ada versi Indonesia-nya, hahaha
Kami udah baca yang yang Pater Pancali. Ini lagi baca yang Aparajito ini. Bagus kaaaaak...
Sempat kalau baca. Kan, kita udah cerita gimana cara bacanya, dan cara itu nggak mungkin dipraktekkan untuk menonton.
Hahahaha..iya kak. Membaca mah enak ya bisa di-pause kapan pun kita mau. Ga kayak film, bisa aja di pause, tapi ga asik lagi kalo terus-terusan di-pause. :D
This! 😀👍
Sedih keknya ya?
Yah lumayan lah kak. Tapi ga sampai bikin kami menangis. Bikin nyesek sih iya. :D
Wah ini film tahun berapa ya?
Hehe
Kita belum lahir, bang. Bahkan orang tua kita juga kayaknya belum lahir. Hahahaha...
Hahahaha....Wah sudah lama banget ya filmnya.
Mantap. Luar biasa nih review filmnya.
Oke. Thanks.
Saya suka Bibhutibushan Banerji, khususnya Pater Pancali. Keren!
Saya sudah baca 2 tahun lalu. Sekarang lagi baca bukunya yang seperti judul di atas.
Kisah menari kak @citrarahman, walaupun belum menonton langsung kak...
Iya, Kak.
nonton aaahhhh