Menjadi Kopi

Salam potensi,

Usai memberikan training parenting di dataran tinggi Gayo, salah satu daerah penghasil kopi terbaik dunia di Aceh, Indonesia, saya mengunjungi kebun kopi milik warga. Lokasinya tak jauh dari arena training.

Ini adalah pengalaman pertama saya, sekaligus menjadi jawaban rasa penasaran bertahun-tahun terhadap satu benda bernama kopi, yang begitu fenomenal dalam kehidupan hampir semua orang di belahan bumi ini.

Ditengah keasikan menelusuri dan menikmati sensasi wisata kebun kopi, sembari sesekali memperhatikan detail warna dan bentuk buah aslinya yang rata-rata sebesar biji kelereng bahkan lebih kecil, teman tim training saya yang sedari tadi terus menguntuti saya, sambil membantu menyibak daun dan ranting kopi agar kami bisa masuk lebih jauh ke areal perkebunan, curhat soal kehidupannya.

Menurut teman saya ini, hidupnya tidak beruntung, apa yang ia lakukan selalu mendapat kritikan pedas meski itu benar. Intinya ia mengeluh soal banyak hal yang menyakitkan dalam kehidupannya. Ia merasa seperti orang kecil yang tak teranggap atau diremehkan oleh lingkungan. Meski mengakui dirinya sudah berusaha untuk bangkit agar kehadirannya dihargai, minimal dianggap saja sudah cukup, katanya.

Meriang rasanya terus-terusan mendengar keluhan si teman, kami menghentikan langkah. "Kawan, asal kamu tahu.. hidupmu tak beruntung karena pengalaman hidupmu kurang menyakitkan". Mendapat serangan balik, si temanpun kebingungan.

Setelah menenangkannya beberapa saat, ya semacam relaksasi alamlah, saya mengajaknya untuk memperhatikan dalam-dalam biji kopi yang bergelantungan didepan matanya. Memperhatikan bukan hanya dengan kasat mata, tetapi dengan rasa dan kecerdasan tubuh yg dimiliki.

Perlahan lahan saya mulai membangun komunikasi bawah sadar dengan dirinya ketika ia sedang fokus pada biji-biji kopi dihadapannya. Sambil menggiring agar ia terus berusaha mencari makna dibalik bentuk buah kopi yang kecil-kecil, bahkan terlihat remeh ketika masih di belantara.

Dan komunikasi bawah sadar lewat labirin kisah kopipun mengalir hingga kalimat-kalimat klimaks. Memilih menjadi kopi berarti memilih sadar menjadikan diri kita subjek pengubah lingkungan dan dunia.

Seperti kopi yang mengubah warna air, lalu dalam kesakitan yang memuncak (air mendidih) sang kopi justru tampil penuh kehormatan dan tersajikan di meja-meja setiap strata kemanusiaan sebagai penebar aroma dan cita rasa penuh selera.

Dengan kesadaran sisi kelebihan ini, buah kecil bernama kopi menjadi subjek yang memperkaya jutaan orang pengusahanya, memakmurkan jutaan keluarga yang menanam dan merawatnya, membahagiakan hampir semua ummat manusia yang meneguknya, atau melancarkan bisnis jutaan pelaku usaha yang menyuguhkannya, hingga menjadi simbol perekat silaturrahim diantara kita.

Di sekolah kehidupan, kopi menyadarkan kembali teman saya tadi pada janji Tuhan 'dibalik kesulitan (kesakitan) akan ada kemudahan'.

Tiga bulan kemudian, saya dikabari bahwa ia sudah menjadi seorang profesional dan salah satu leader di perusahaan oil & gas. Kisah di kebun kopi adalah titik balik kehidupan barunya. Iapun berjanji akan selalu menjadi kopi bagi kehidupan banyak orang melalui pekerjaannya kini.

Selamat kawan ! Terima kasih guru besar kami, kopi.

Salam potensi,
@lailanfsaidina