Perjuangan dan Rasa Sakit
Kelabu, mungkin itu warna yang tepat untuk perasaan ini. Sungguh ironis sekali menyadari akan bodohnya perasaan ini. Terbayar dengan rasa sakit dan kekecewaan yang tiada pernah terobati. Meski dengan penuh kesadaran hal ini pasti akan terjadi.
Air mata ini tak mampu menetes dan membersihkan luka lara. Seiring berjalannya waktu, rasa kecewa itu tak kunjung memudar, hanya tertutupi beberapa lembar kebahagian. Masih tergambar jelas kenangan indah waktu itu, menghabiskan waktu beberapa menit berdua, tanpa kata dan tanpa bicara. Saling bertukar pandang dan tertawa kecil diantara kesunyian berdua.
“Mungkin butuh kursus, merangkai kata”, sajak ini mungkin lebih tepat untuk menggambarkan keadaan yang sering dialami. Meski hanya begitu, ada rasa nyaman yang membuatnya betah untuk tetap bertahan.
kebodohan itu semakin menjadi dengan sebuah impian bahwa dia akan membalas semua pengorbanan itu dengan mengikuti jejaknya. Mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, bahkan jerih payahnya hanya untuk seuatu yang jelas harus ia korbankan suatu saat nanti. Harapan itu sirna ketika ia mengetahui bahwa orang yang ia sayangi setulus hati tak bisa lagi mencintainya, tak lagi menyayanginya.
Kejujuran itu pahit, hubungan itu milik mereka, bukan miliknya sendiri. Ia harus menerima kenyataan bahwa hubungan itu kandas setelah sekian lama. Bodoh, kata itu cukup untuk menggambarkan sosoknya dalam bercinta. Ia teringat malam itu, malam dimana ia menyelimuti kekasihnya dengan jaket merah tebal ditengah malam di tepi pantai seusai acara pensi, bersandar dibawah pohon kelapa dengan sebatang coklat yang ia beli sebelumnya. Dikatakan pengorbanan, itu lebih tepat disebut kebodohan. Ya, kebodohan yang sesungguhnya. Rela kedinginan, menemani sosok yang jelas akan meninggalkannya cepat atau lambat.
Ia adalah penjudi. Ia tahu betul nilai probabilitas dari hubungan itu hanya 30% bahkan kurang. Ia tak bisa mengabaikan seseorang yang menyayanginya, kasih sayang harus dibalas dengan kasih sayang, namun ia tak akan membalas cinta selain dari kekasihnya. Mungkin, itulah alasan yang tepat mengapa hubungan itu kandas. Prioritas hanya sebatas ekspektasi belaka, ia tak mampu menjaga hubungan itu. Disisi kesibukannya sebagai ‘Pemburu’, ia masih menyempatkan waktu untuk bertemu dengannya, jalan-jalan menghabiskan waktu bersama. Sekali lagi, bodoh, idiot.
Entah mengapa, ia yang dikenal sebagai sosok yang penuh dengan semangat dan pandai, tiba-tiba menjadi bodoh, bahka idiot dihadapan perasaan cinta. Meski sadar bahwa probabilitas hubungan itu hanya 30%, namun ia tetap mengambil keputusan itu. Logika yang ia pegang teguh itu runtuh, tak berguna sama sekali. Ekspektasi bahwa semua pengorbanan itu akan membawa keutuhan hanya sebatas bayangan, hanya menyumbang 5% bahkan kurang.
“Cinta datangnya lambat, dan pergi begitu cepat”. Ya, benar sekali. Ia menyadari betul akan hal itu. Bodoh.
Ia yang menanggung semua kesedihan, rasa sakit, tangis dan derita sendiri. Menutup semua luka dengan senyum simpul yang semua orang tau itu palsu. Ia masih mampu bangkit, meski tak sepenuhnya bangkit dan harus menanggalkan beberapa mimpi. Ia yakin dunia tak akan mampu menaklukanya.
Congratulations @lvsca! You received a personal award!
Click here to view your Board