Red Velvet

Selamat sore, Pagi.

Akhirnya aku membuat kesepakatan dengan diriku sendiri, tak harus menunggu pagi untuk menyapamu. Bukankah kau milik waktu? Dan waktu tak pernah mengenal batas bukan? Ia akan selalu bergerak mengikuti ketentuan yang telah ditakdirkan Tuhan padanya.

Kali ini aku ingin berbagi cerita denganmu, tentang konspirasi paling dahsyat yang pernah ada. Ya, konspirasi antara hujan dan rindu yang memorak-morandakan perasaan.

Kau tahu, Pagi...

Dari tempatku duduk saat ini aku menyaksikan hujan yang berkonspirasi dengan rindu yang menusuk-nusuk. Membuat ingatanku terbang kepadamu. Menghadirkan semua kejadian-kejadian manis yang pernah kita alami. Memunculkan semua detail, semua cerita.

Hujan dan rindu ini membuatku ingin menikmati secangkir red velvet, tapi di kafe ini ternyata hidangan istimewa itu tidak ada. Sebagai gantinya aku memesan mocha peppermint. Kau mungkin bertanya, mengapa bukan kopi? Bukankah aku penggila minuman hitam dengan cita rasa pahit itu? Ya, kau tak salah jika menebak begitu, Pagi. Tapi kini aku juga menyukai red velvet, aku mulai tergila-gila pada minuman itu.

Minuman itu, aku menyukai minuman itu bukan karena rasanya, melainkan karena cerita di balik itu. Kau masih ingat pertemuan setelah rindu, kan? Waktu itu aku memesan segelas red velvet dingin. Sejak itu aku mulai jatuh cinta pada minuman itu. Entahlah, rasanya minuman itu juga menjadi simbol atas gelora dari perasaan yang begitu bara. Merah adalah gelora. Merah itu cinta.[]