IJTIHAD KONTEKSTUAL
Kebutuhan manusia terhadap hasil kegiatan ijtihad tidak pernah sunyi, karena setiap zaman selalu bermunculan persoalan – persolan baru yang menuntut manusia mencari solusi. Dari karena itu, ketika ada dalil-dali Syara’ yang bersifat global, dan tidak qath’iyy maka dibutuhkan kecakapan manusia untuk mengungkap subtansi dari dalil-dali Syara’ itu. Menggali substansi dari dalil-dalil syara’ itulah yang dikenal dengan aktifitas ijtihad. Oleh karena itu menurut wahbah Zuhaili, zaman yang penuh kecanggihan dewasa ini kegiatan ijtihad tetap berlangsung, bahkan lebih mudah berlaku .
Pembahasan mengenai ushul fiqh tidak pernah habis dalam tradisi peradaban islam, karena ushul fiqh merupakan metode yang selalu digunakan untuk mempertemukan firman Tuhan dengan kebutuhan realitas manusia. Pertumbuhan realitas kehidupan telah memacu kerja ushul fiqh supaya selalu dapat mengimbangi perputaran zaman. Karena kondisi seperti itu telah membuat para ulama ushul dan ulama fiqh untuk bekerja lebih keras.
Seiring dengan itu, usaha memproyeksikan metodologi dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam kehidupan ini juga selalu dituntut. Karena perubahan situasi dan kondisi yang tidak pernah berhenti, sehingga selalu menuntut formula baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut Muhammad Abu Bakar asy-Syahrarastani bahwa, hal yang mendorong perlunya melakukan ijtihad karena keterbatasan nash sedangkan kasus hukum yang muncul hampir tidak terbatas.
Dewasa ini, dikenal beberapa model ijtihad. Kalau menurut Yusuf al-Qardhawi, ada dua model ijtihad yang mungkin dilakukan di zaman modern ini, kedua model ijtihad itu adalah ijtihad Intiqa-iy atau Ijtihad selektif yaitu memilih salah satu pendapat yang dinukil dari fikih klasik yang begitu luas untuk fatwa atau sebagai penguat terhadap pendapat-pendapat yang lain, dan yang kedua ijtihad Insya-I atau ijtihad Kreatif yaitu mengambil hukum baru dalam permasalahan yang tidak digagas oleh ulama terdahulu, baik masalah itu lama ataupun baru. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili Metode Ijtihad dewasa ini dapat dikatakan kepada salah satu dari lima metode berikut yaitu model Salafi, Intiqa’i atau Ghawghawi (selektif semena-mena), ‘Udwani (permusuhan dan perlawanan), Taqribi (mendekatkan Fikih kepada hukum Positif), dan yang terakhir metode mu’tadil mutawazin atau wasathiy (modern, seimbang, atau pertengahan), metode yang terakhir ini dapat diterima secara syara’ dan akal, dan ini adalah mazhab para sahabat, tabi’in dan para imam mazhab di setiap waktu dan masa.
Terkait dengan ijtihad kontekstual, dalam sejarah Ijtihad Umar bin Khattab. Beliau pernah meninggalkan ashnaf “muallafatu qulubuhum” dari daftar Mustahiq zakat dan tidak menjalankan hukum potong tangan pencuri di masa paceklik (kelaparan). Hal ini dapat menunjukkan pentingnya seorang mujtahid memahami data dan fakta realitas yang berkembang. Disamping itu, Saidina Umar juga pernah berkata kepada Abu Musa al-Asy’ari”
لا يمنعك قضاء قضيته بالامس ثم راجعت فيه نفسك وهديت فيه لرشدك ان تراجع الحق فإن الحق ومراجعته خير من الباطل والتمادي فيه
Artinya : Janganlah menjadi hambatan bagi kamu oleh keputusan hukum yang kemaren, kemudian engkau pelajari kembali sehingga engkau terpetunjuk. senantiasalah engkau pelajari lagi kebenaran, karena sesungguhnya mengkaji kembali sebuah kebenaran terlebih baik dari pada berpertahan dalam kebathilan kekeliaruan.
Merujuk kepada riwayat mengenai Umar bin Khatab di atas dapat menunjukkan bahwa kondisi dan situasi yang berkembang dalam sebuah masyarakat menjadi bahagian dari aspek –aspek yang harus mendapat pertimbangan dalam kegiatan aktifitas ijtihad.
Selanjutnya menurut al-Qardhawi, Sekurang-kurangnya ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil dari sebuah ijtihad. sedikitnya ada tiga hal, yakni perubahan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan adanya desakan dari perkembangan. Ketiga hal itu tidak akan pernah berhenti yang menyebabkan setiap mujtahid pada eranya masing-masing selalu terpacu.
Ijtihad Kontekstual adalah upaya keras dalam mencari hukum syari’ah dengan memberikan perhatian yang lebih luas kepada realitas kehidupan manusia yang bersifat kekinian, namun juga tidak mencampakkan nash dengan semena-mena. Definisi lainnya, ijtihad kontekstual adalah penguasaan yang mantap mengenai dalil-dalil yang tekstual dan mengenai dalil-dalil kontekstual secara bersamaan.
Ijtihad Kontekstual merupakan sebuah model Ijtihad yang mempertemukan para Faqihunnas bersama Faqihu Mahhli an-Nashsh dalam aktifitas ijtihad, masing-masing mereka bekerja sesuai dengan profesionalitasnya masing-masing, karena mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sedangkan dalam satu masalah banyak hal yang harus diungkap dari berbagai sisinya. Hal demikian tidak mungkin dilakukan oleh satu orang ahli saja. Apalagi kalau dilakukan oleh yang bukan ahlinya, dapat dipastikan akan membawa kepada kehancuran, sebagaimana Nabi Bersabda.
إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya : Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka, taunggulah kehancuran.
Kebalikan dari ijtihad kontekstual adalah ijtihad tekstual (ijtihad pada teks nash), yaitu ijtihad yang berpegang teguh pada nash dan terkadang juga mengabaikan mahallu an-Nashshi. Padahal nash itu sendiri tidak dapat dipisahkan dari mahall -nya.
Ijtihad fi an-Nash adalah langkah awal dalam kegiatan ijtihad, namun kegiatan ijtihad tidak harus berhenti pada nash, melainkan harus diteruskan kepada mahalnya -Nash. Dan ijtihad fi an-Nash merupakan fondasi ijtihad yang sangat asasi dalam kegiatan ijtihad. Ijtihad fi al-Nash adalah ijtihad yang sebagaimana disandarkan kepada ulama ushul fiqh, yaitu meneliti rangkaian bahasa arab untuk mendudukkan manthuqnya sesuai dengan mafhumnya dan mafhum sesuai dengan manthuq. baik dalam ranah teoritis maupun praktis. Hasil dari penelitian ini adalah para ulama ushul fiqh merancang batasan-batasan dan kriteria-kriteria supaya bisa menjadi panduan dalam memahami nash dengan tepat dalam menggali hukum-hukum Syara’ dari nash.
Ijtihad tekstual juga dikenal dengan ijtihad tautsiqiyy atau ijtihad tafsiriyyi dalam ushul fiqh yang kemudian dikenal dengan Fiqh an-Nash. Sebaliknya, ijtihad Kontekstual, yaitu ijtihad yang tidak semata-mata melihat nash, karena ijtihad sangat erat hubungan nya dengan kehidupan manusia dan kondisi mereka dan juga kesulitan-kesulitan yang sedang berlangsung dalam kehidupan mereka. Maka dapat dipastikan bahwa tidak mungkin ada fiqh an-Nash tanpa adanya Fiqhu Mahalli an-Nash. Dan mahallu an-Nashshi adalah realitas yang bermacam-macam dan terus berkembang.
Khitab shar’iy pada dewasa ini sangat membutuhkan kepada model ijtihad seperti ini, karena dapat mengimbangi lajunya pertumbuhan dan perkembangan dan juga dapat menjawab persoalan kebutuhan manusia. Manfaat ijtihad ditentukan oleh bagaimana menurunkan nilai Syari’ah dari Nash kepada obyeknya, yaitu realitas empirik kehidupan manusia. Ini adalah sesungguhnya yang dituntut dari para mujtahid agar mencurahkan segenap kemampuannya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan kekinian masyarakat, yang sesungguhnya itu merupakan lapangan ijtihad, dan dituntut untuk berusaha dengan cekatan memahami kondisi sosial masyarakat dari berbagai aspek. Memahami Juga dituntut untuk membuka diri untuk mempelajari cabang-cabang ilmu baru yang sedang berkembang dengan setiap spesifikasinya.
Ijtihad Kontekstual menjadi suatu kebutuhan primer terutama pada era globalisasi dengan dinamika problematika keumatan dan perkembangan teknologi yang cukup pesat. Hampir semua ulama kontemporer menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Bagi Wahbah Zuhali, tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini, mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen dalam menggali hukum untuk menjawab permasalahan pengambilan hukum.
Memecahkan masalah syari’ah yang seperti itu telah mendesak ulama ushul fiqh untuk menggali khitab shar’iy dengan berbagai macam dan bentuk ijtihad. Karena ijtihad merupakan jalan sebagai perantara yang memungkinkan pemecahan kesulitan kehidupan manusia. Yang demikian itu, dengan cara membuka hukumnya dan menghubungkannya dengan asalnya baik dengan metode qias illah atau dengan metode maslahat Kuliyyat.
Oleh karena itu, mengenal realitas kondisi kehidupan masyarakat dari segenap sisinya merupakan persyaratan metodologis dalam Ijtihad (menurunkan hukum shar’iy dari nash ke dalam kehidupan praktis). Hal yang semacam ini sepadan dengan profesi para ulama fiqh dan ahli fatwa yang kerjanya selalu bersentuhan dengan realitas kebutuhan masyarakat dan membongkar kesulitan zaman. Dengan demikian kenyataan ini menuntut para mufti untuk memahami baik secara dirayah maupun riwayah mengenai celah-celah problematika dalam kehidupan masyarakat.
Secara lebih jelas fungsi dari ijtihad kontekstual dapat diasumsikan sebagai berikut:
2.1. Identifikasi thabi’at jiwa manusia.
Identifikasi kondisi riil manusia, dilihat dari aspek lemah dan kuatnya manusia dalam menanggung tugas syari’at dan juga identifikasi dampak yang kemungkinan lahir ketika menjalankan tugas agama.
Imam as-Syathibi telah mengungkapkan dalam kitab muwafaqat bahwa bahwa jiwa manusia tidak memiliki kemampuan yang sama dalam menanggung khitab syar’iy” .
إذ النفوس ليست في قبول الأعمال الخاصة على وزان واحد
Artinya : Karena Jiwa manusia tidak memiliki ukuran yang sama dalam menanggung urusan-urusan tertentu.
Antara seseorang dengan yang lainnya memiliki kemampuan yang berbeda, juga antara satu tempat dengan yang lain juga dapat dibedakan oleh waktu. Karena terkadang apa yang suatu ketika menjadi berat bagi seseorang tidak berat di waktu yang lain.
Dengan demikian, sudah semestinya bagi seorang mujtahid mengenal hakikat dinamika thabiat manusia, karena setiap jiwa manusia menanggung beban agama berdasarkan kemampuannya masing-masing.
Sebagai dalil yang dapat menunjukkan bahwa hukum syari’at tawaquf implementasi kepada kemampuan manusia adalah ketika ada pertanyaan yang yang diajukan kepada nabi saw. Sedangkan Nabi memberikan jawaban yang beda-beda dari sebuah pertanyaan. Seperti :
أنه عليه الصلاة و السلام سئل أي الأعمال أفضل قال إيمان بالله قال ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قال ثم ماذا قال حج مبرور
a. Sesungguhnya ‘alaihi Shalatu wassalam ditanyakan, amal apakah yang paling bagus, Nabi menjawab iman kepada Allah, kemudian apalagi, nabi menjawab Jihad, kemudian apalagi Nabi menjawab haji yang mabrur.
وسئل عليه الصلاة و السلام أي الأعمال أفضل قال الصلاة لوقتها قال ثم أي قال بر الوالدين قال ثم أي قال الجهاد في سبيل الله
b. Dan Nabi ditanyakan, amal apakah yang paling bagus, Nabi menjawab shalat pada awal waktu, kemudian apalagi, Nabi menjawab Berbakti kepada kedua orang, kemudian apalagi jihad.
وفي النسائي عن أبي إمامة قال أتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت مرني بأمر آخذه عنك قال عليك بالصوم فإنه لا مثل له
c. Dalam riwayat Nasa’i dari Abi Imamah berkata, aku mendatangi Rasulullah Saw. Lalu aku berkata “ perintahkan aku dengan satu pekerjaan yang aku ambil dari engkau, Nabi menjawab Puasa karena puasa tidak ada bandingan kelebihannya.
2.2. Identifikasi Sosial Kultural Masyarakat
Fungsi ijtihad Kontekstual yang lain adalah identifikasi realitas sosial kultural masyarakat, sebagai tempat dimana hukum hendak diterapkan. Mengetahui aspek ini mesti memahami adat dan urf yang berkembang dalam masyarakat itu.
Pengetahuan mengenai relatitas sosial kultural masyarakat dapat membantu para mujtahid dalam mengenal berbagai dampak yang ada dan kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul. Sehingga sebahagian ulama memasukkan “ pengetahuan tentang kondisi sosial kultural masyarakat” ke dalam salah satu syarat Ijtihad.
Memahami masalah masyarakat melazimi seorang mujtahid menetap bersama masyarakat sehingga mujtahid mengenal seluk-beluk kehidupan masyarakat, atau meminta pendapat dari orang lain yang mengetahui problematika yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian menuntut mujtahid menguasai ilmu dinamika masyarakat atau bekerjasama dengan pakar ilmu sosial masyarakat.
- Korelasi Ijtihad Tekstual dan Ijtihad Kontekstual dalam Pembinaan Hukum Islam
Ijtihad tekstual adalah tahapan awal bagi ijtihad kontekstual. Ijtihad kotekstual tidak bisa dipisahkan dari ijtihad tekstual. Karena ketetapan hukum berdasarkan sumbernya yang otentik harus sudah memiliki keputusan yang jelas terlebih dahulu. Tidak mungkin ijtihad dapat dilakukan kalau tidak memakai panduan Nash, karena ijtihad akan terjebak kepada keinginan hawa nafsu. Maka ijtihad tesktual adalah sebuah fondasi besar yang kokoh dalam aktifitas ijtihad.
Sedangkan Ijtihad kontekstual adalah metode yang aplikatif bagi ijtihad tekstual. Hasil ijtihad tekstual akan dapat diterapkan dalam realitas kehidupan masyarakat setelah melakukan ijtihad kontekstual karena sangat besar kemungkinan terjadi seseorang yang yang menetapkan fatwa sebelum mengetahui seluk-beluk sosial masyarakat. Abdurrahman Zayadi menegaskan dalam kitab al-Ijtihad bi tahqiqil manathi wa sulthanihi fi al fiqhi al-islamiy “
من لم يكن عالما بالواقع لا تجوز له الفتوي و ان اجتهاده غير صحيح ولا يمكن ان يصح لجهله بالواقع
Artinya : Barang siapa tidak mengetahui tentang lingkungannya tidak boleh berfatwa, karena sesungguhnya fatwanya akan melenceng dan tidak mungkin tepat fatwanya, sedangkan dia awam dengan kondisi yang sedang berkembang.
Ada dua aspek penting yang ditinjau dalam penetapan sebuah hukum yang pertama aspek penggalian hukum dari sumber yang otentik, selanjutnya yang kedua adalah aspek penerapannya dalam masyarakat. Aspek penggalian hukum dari sumber yang otentik, aktifitas ijtihad terfokus pada teks Nash. Kemudiian ketika kegiatan ijtihad tertuju kepada ranah implementasi maka aktifitas ijtihad terfokus kepada realitas dan kondisi sosial masyarakat yang sedang berkembang. Dengan demikian ada korelasi yang sangat erat antara ijtihad kontekstual dengan ijtihad tekstual dalam penetapan hukum.
Salah satu dari keduanya senantiasa berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Kegiatan ijtihad dalam urusan agama tidak bisa diandalkan salah satu. Karena aktifitas ijtihad bergulat dengan dalil dali samawi sekaligus dengan rambu-rambu perekembangan dunia. Maka ijtihad memiliki dua dimensi yaitu dimensi samawi dan dimensi aktual bumi. Ijtihad tidak bisa dilakukan hanya dengan keilmuan sekular karena ijtihad akan liar dan jauh dari nilai etis namun begitu, ijtihad juga membutuhkan kelimuan sekular karena ijtihad sangat terikat dengan universalitas dan lokalitas. Dengan demikian maka, meskipun pintu ijtihad senantiasa terbuka akan tetapi syarat-syarat ijtihad juga harus dipenuhi.
اللإجتهاد لم يزل مفتوحا والشروط لم تزل مطلوبا
Artinya: ijtihad senantiasa terbuka, kriteria juga mesti dituntut.
Dari uraian di atas dapat penulis ambil kesimpulan yang pertama : bahwa perubahan sosial sejalan dengan perkembangan teknologi dan sistem ekonomi serta kemajuan aspek-aspek kehidupan lainnya, menuntut suatu panduan rohaniah yang memiliki relevansi erat dan melekat dengan masalah-masalah nyata yang akan terus menerus muncul seiring dengan keniscayaan perkembangan sistem nilai dan budaya. Maka apabila hukum islam gagal melayani kebutuhan pokok ini dengan pendekatan kontekstual yang dinamis dapat dipastikan ummat manusia akan semakin jauh dari nilai-nilai transedental yang pada gilirannya akan memunculkan watak dan sikap sekular. Inilah yang dimaksud dengan pembinaan Hukum Islam.
Yang kedua, Ijtihad kontekstual adalah sebuah bangunan metodologi ushul fiqh yang integral, dengan pendekatan yang seimbang dan modern antara ayat-ayat samawi dengan ayat-ayat bumi dalam upaya pembinaan hukum islam.
Congratulations! This post has been upvoted from the communal account, @minnowsupport, by yusfriadi from the Minnow Support Project. It's a witness project run by aggroed, ausbitbank, teamsteem, theprophet0, someguy123, neoxian, followbtcnews, and netuoso. The goal is to help Steemit grow by supporting Minnows. Please find us at the Peace, Abundance, and Liberty Network (PALnet) Discord Channel. It's a completely public and open space to all members of the Steemit community who voluntarily choose to be there.
If you would like to delegate to the Minnow Support Project you can do so by clicking on the following links: 50SP, 100SP, 250SP, 500SP, 1000SP, 5000SP.
Be sure to leave at least 50SP undelegated on your account.