Lhokseumawe Semakin Miskin Pohon Kota

in #life7 years ago (edited)

Karena sudah janji dengan mahasiswa untuk mengajar Antropologi Ekologi pukul tiga sore, saya memutuskan berangkat dengan sepeda motor ke kampus. Mobil yang baru di-door-smeer (istilah ini mungkin cuma ada di Aceh, maksudnya car wash),kasihan jika dibawa. Mendung sudah menggulung di langit dan rintik mulai turun.

Saya pikir biarlah nanti di jalan jika hujan benar-benar lebat mengguyur saya baru mengenakan mantel. Ternyata, dari perjalanan Blangpanyang menuju Bukit Indah hujan lebat merambat turun. Saya mencoba mencari tempat berteduh ternyata tidak ada. Satu halte bus yang terdapat di depan jalan menuju Goa Jepang tidak membantu karena tak ada kanopi pelindung di depan terasnya. Saya memilih berteduh di sebuah pohon seri (kersen atau talok/ Latin : Muntingia calabura L), dan ternyata pohon itu sama sekali tidak menahan rambatan hujan jatuh ke tanah. Di tengah hujan yang mengguyur cepat itu saya menggunakan mantel dan tentu dalam keadaan sudah kuyup.

IMG_20171013_172649.jpg
Penebangan pohon di simpang line menuju kampus Bukit Indah Unimal. Akibatnya tak ada tempat berteduh bagi mahasiswa di saat panas dan hujan. Blessing University?

Saya tidak bisa mengandalkan untuk berteduh di bawah pohon Angsana (Bak Asan/Latin: Pterocorpus indicus). Meskipun masih banyak yang tumbuh, daunnya tidak rindang lagi karena sering dipapras. Saya melihat tak ada orang yang bisa berteduh di bawah pohon Angsana tepi jalan. Pohon-pohon itu sendiri ditanam oleh PT. Arun sebagai penghijauan jalan puluhan tahun lalu. Kini kabarnya juga akan ditebang oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai upaya pelebaran jalan. Jika itu sampai terjadi kiamat lingkungan semakin terpupuk di Lhokseumawe yang sudah terkenal defisit pohon.

Yang sangat sering melakukan pemaprasan pohon adalah PLN dan dinas terkait di pemerintahan Kota Lhokseumawe. Sayangnya pola penebangan “ranting” dilakukan dengan tidak melihat aspek estetika dan juga struktur pohon. Rata-rata pemarasan hanya berkepentingan mempertahankan aset – misalnya aset tiang dan kabel listrik PLN – dan sama sekali tidak mempertimbangkan masa depan pohon. Akibatnya kita melihat kondisi pohon yang sebagian batangnya menjorok ke jalan sedangkan di bagian lain telah pitak karena ditebangi.

IMG_20171013_173101.jpg
Pohon Angsana yang dipapras sembarangan sehingga membuat strukturnya labil dan menjorok ke jalan.

Namun tentu bukan saja PLN yang kurang sensitif atas lingkungan hidup. Seluruh pihak seperti tidak menghargai pohon-pohon tumbuh. Di lingkungan Universitas Malikussaleh sendiri, Bukit Indah yang merupakan aset bekas Mobil Oil sendiri, yang ketika awal diserahterima masih sangat rimbun kini mulai mengalami pengundulan, baik yang dilakukan pihak kampus atau masyarakat. Kedua pihak saling berebut melakukan penebangan “hutan-hutan sekunder” di lingkungan Unimal, sehingga semakin lama semakin panas. Di kampus FISIP sendiri juga penebangan pohon-pohon tua terjadi, tanpa alasan yang jelas.

IMG_20170920_110121.jpg
Penebangan pohon di FISIP yang tidak memiliki alasan yang jelas.

Akhirnya dalam masa kuliah Antropologi Ekologi batin saya bersuara, apakah masih ada posisi pengetahuan untuk memberikan kebaikan kepada dunia? Misalnya apakah masih penting mempelajari Antropologi Ekologi di tengah manusia-manusia yang seperti predator merusak ekologi semakin berkeliaran?

Bagi saya pengetahuan tetap memiliki derajat yang penting untuk menjaga akal dan kewarasan. Seperti yang disebut Frans Boaz – antropolog Amerika keturunan Jerman – yang merintis lahirnya kajian Antropologi Lingkungan, kajian seperti ini harus dilihat dalam konteks partikularisme historis. Maksudnya, sejarah tempatan Lhokseumawe yang masih primitif memahami lingkungan hidup ini adalah tantangan untuk mengembangkan kajian Antropologi Lingkungan ke depan.

IMG_20171013_172418.jpg
Penggalian bukit di jalan menuju lingkungan kampus Unimal. Predatorisme lingkungan di masa damai Aceh lebih cepat dibandingkan penyelamatan ekologi.

Tentu jangan samakan Lhokseumawe dengan Bogor atau New York yang lebih matang memahami lingkungan hidup dan taman kota. Namun di situlah tantangannya, mengajarkan kematangan kepada pemerintah kota, stakeholders, dan pimpinan kampus, lainnya yang masih bayi pengetahuannya tentang lingkungan untuk semakin dewasa. Tanpa pohon kita akan sengsara.

IMG_20171013_175504.jpg
Menanam pohon seperti ini memerlukan waktu belasan tahun untuk berkembang, tapi menebangnya cuma memerlukan waktu beberapa puluh menit saja.

Sejarah pohon kota yang sudah dilakukan sejak era kolonial atau di awal-awal kemerdekaan dengan penanaman pohon asam Jawa (Bak Mee/ Latin : Tamarindus indica) kini mulai menghilang. Padahal sebelum otonomi khusus dan proyek MoU Helsinki dilangsungkan di Aceh, pohon Asam Jawa yang menurut @ismadi, pakar pertanian dari Unimal, memiliki fungsi peneduh, pengikat karbon, untuk penyakit flu, dan bumbu masak, itu masih banyak ditemukan di sela-sela kota. Kini kota pun semakin miskin tanpa pohon-pohon yang menaunginya.

14 Oktober 2017


TKF.gif

Sort:  

Kasihan sekali, semakin hari paru-paru dunia semakin menipis bahkan ada tempat yang sama sekali sudah hilang, entah siapa yang mau kita salahkan, kadang kami juga terpaksa menebas pepohonan yang mengganggu jaringan listrik namun kami punya alasan demi keandalan. Upvote

Bersyukur saya punya teman pimpinan PLN seperti @mukhtar.juned. Saya kritik dan beliau tidak marah. Tq Pak MJ

Kritikan adalah semangat kami, tanpa kritikan kami tidak bisa bekerja, kami besar karena kritikan, salam steemit pak @teukukamalfasya

Harus studi banding dulu ke eropa baru buat proyek penanaman pohon.

Hehehe... uang lagi tuh terbuang percuma.... Belajar aja di kampungnya @mariskalubis.

Apakah perlu ada denda untuk para penebang pohon perindang di jalan protokol.
Karena pohon perindang sangat penting untuk mengurangi polusi.

harusnya begitu..... Tapi kalau pemkotnya gak sadar akan kepentingan pohon kota juga mau dibilang apa? Keteladanan politik diperlukan dalam isu seperti lingkungan hidup.

Thanks For Sharing @teukukemalfasya
Good Post..

Hutan kota idealnya 40% dari luas kota, biasanya dimasukkan ke Ruang Terbuka Hijau (RTH). Apakah Lhokseumawe mempunyai RTH yang seperti itu? Paling yang agak besar hanya Taman Raudah.
Bagaimana dengan Unimal? Banyak juga pohon ditebang atau dibuldoser. Contoh kasus, ada pohon dan bambu di sampaing Gedung B Fak Pertanian/Psikologi Kampus Reuleut. Padahal untuk menanam membutuhkan waktu tahunan. Pohon/tanaman bambu itu ditanam oleh orang2 tua Reuleut dan sebagian memang pohon yang tumbuh sendiri. Jika dirasa kurang baik/berantakan ya tinggal ditata saja. Saya sampai kaget melihatnya, namun apa mau dikata.

Jika ada 20 persen saja sebenarnya sebuah kota itu sudah dikatakan sehat. Namun kita bisa ukur di Lhokseumawe tidak ada 5 persen saja ruang terbuka hijau dan pohon kota. Jadi ini adalah masalah kiamat lingkungan yang tidak dipikirkan dengan serius. Seharusnya kampus bisa menjadi contoh, tapi kampus pun lumpuh dalam meneladani masalah penghijauan. Ada banyak masa;ah pragmatisme di sini.

Sangat menarik sekali artikel ini, semoga para pengambil kebijakan bisa berfikir lebih jernih ketika penebangan dilakukan. Selain berfungsi sebagai penghasil oksigen, pohon juga sangat bermanfaat ditengah kondisi cuaca yang tak bersahabat. Seharusnya, Pemerintah Kota Lhokseumawe mempunyai grand design mengenai ruang penghijauan yang menjadi bagian tata ruang kota Lhokseumawe. Bencana ekologis muncul tatkala manusia mengabaikan kondisi lingkungan yang sepatutnya kita jaga untuk kepentingan anak cucu kita.

Lebih miris lagi, penebangan itu dilakukan dikawasan kampus. Saya menduga perintah itu muncul dari ketidakpahaman akan pentingnya sumber kehidupan. Tanpa tujuan yang jelas penebangan pohon di kampus semakin menyiratkan minimnya kepekaan akan lingkungan yang mestinya menjadi perhatian bersama.

Khusus di kampus, mestinya ada semacam kebijakan khusus terkait tata ruang untuk penghijauan. Kita harusnya menemukan itu dalam blue print pengembangan Kampus. Sehingga hutan dan pohon kita tidak di papras sembarangan. Sangat menyedihkan apabila penebangan itu juga melibatkan orang yang notabene berpendidikan.

Saya pikir kita harus bergandeng tangan untuk menyelamatkan lingkunan di kampus kita. Harus ada kaukus lintas faktultas untuk penyelamatan lingkungan, agar pimpinan2 di kampus tidak semakin brutal menebang pohon-pohon yang sebenarnya bukan mereka tanam.

Di banyak teori disebutkan, setelah dibuat master plan kampus. Maka pohon ditanam lbh dahulu sebelum membangun gedung. Jika ada uang, gedung megah dpt dibuat dlm 1 atau dua tahun. Tetapi utk pohon, itu tdk bisa dilajukan meskipun kita punya uang yg berkimpah. Pohon itu makhluk hidup yg perlu proses lama secara alami untuk hidup & berkembang. Pohon itu harus dijaga, jgn smp ditebang apalagi dibuldoser. Dipotong kl bebar2 memaksa.

Kota kita semakin gersang. Penguasa tidak peduli

Ada resep biar pemimpin kita bertobat merusak lingkungan @janvanhoess?

Pihak perusahaan, baik asing maupun BUMN, kecuali PLN, hehehe.. lebih peduli lingkungan dari sisi tanam menanam pohon, walaupun di sisi lain mereka "menyumbang" limbah. Di perusahaan tempat saya bekerja dulu, menebang pohon tanpa izin bisa dikenai sanksi atau warning yg berakibat pada kehilangan bonus tahunan yg lumayan besar. Sayangnya dlm melaksanakan pembangunan, pemda tidak peduli dengan taman, demikian juga masyarakatnya. Saya sangat apatis,. Mimpi kita tentang taman atau RTH yang luas takkan terwujud puluhan tahun ke depan.

Dan sayangnya malah pemimpin yang anti preservasi lingkungan pulak yang terpilih...

Begitulah kenyataan yg harus kita terima :)

Pemda Aceh dan orang awam Aceh mengidap dendrophobia.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 61342.71
ETH 2389.65
USDT 1.00
SBD 2.56