Syeikh Yang Tertukar

in #life6 years ago (edited)

Syekh yang Tertukar

Di dalam istana setan, Las Vegas, 1567

Jin Ifrit tertunduk lesu, matanya yang runcing mengeluarkan air mata. Tangannya memegang kepala, seperti sakit yang tidak tertahankan. Tongkat trisula merah miliknya tergeletak di bawah lantai keramik merah di dekat kakinya.

Hutan India, 1887

Hari yang sangat panas. Lapangan voli desa telah dipadati oleh penduduk desa sekitar. Siang ini tidak ada pertandingan voli, tapi ada acara yang lebih meriah, mengejutkan, memilukan dan membuat semua orang tak percaya. Di tengah lapangan, seorang tua berjenggot putih di kubur setengah badan di samping  lapangan. Baju putihnya berlumuran darah. Wajahnya tertunduk penuh penyesalan. Kulitnya yang keriput kini penuh luka karena lemparan batu. 

Dayah Syekh Tivra, 12 tahun yang lalu

Para santri sedang mengaji sebelum salat subuh. Kami bertiga, -aku, Riwanum dan Rawanum- bersembunyi di kamar dengan niat tidak salat subuh. Riwanam bersembunyi di bawah ranjangnya yang terletak di sudut kamar. Ia menyusun ember sedemikian rupa dan tidur di belakangnya. Aku bersembunyi di dalam lemari Nutram, anak tukang perabot . Wajar bila lemarinya lebih dari yang di anjurkan oleh dayah. Aku leluasa tidur sebab tidak ada yang bisa melihatku di sini. Rawanam sedikit tersiksa di tempat persembunyiannya. Sesekali terdengar tepukan, suara tangannya yang memukul nyamuk di bawah ranjang. Riwanum memang baru saja tidur karena semalaman menghafal teks pidatonya untuk tampil nanti malam.
IMG-20171225-WA0064.jpg
“Kum...kum...kum Ila Shalat !!!” terdengar suara dari luar kamar.
Derap kaki terdengar mendekat. Mereka masuk ke dalam kamar kami.
“Riwan, kum ...” suaranya pelan, terkesan datar.
“Sebentar lagi,” balas Riwan membalikkan badannya.
“Baiklah, kembaranmu Rawan, mana?”
“Di bawah ranjang.”
“Rawan!!!”
“Na’am...na’am , saya bangun,” kata Rawan pelan-pelan sambil keluar dari bawah ranjang dengan kedua tangan di atas. Rawan dan Riwan keluar kamar dan menuju tempat wuduk.

Pukul 07:30 pagi saat Nutram membuka lemarinya

“Uahh... Hooaam...” aku merentang tangan mencoba membuka mata, memakai baju sekolah dan celana, keluar mencuci muka dan berwuduk, lalu solat subuh 2 rakaat.
“Hei, Luzair!!! Subuh sudah lewat, ngapain salat jam segini?” seorang teman menegurku.
“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” jawabku sambil menggulung sajadah. Aku mengambil tas dan pergi ke ruang makan bersama santri lain.

Dayah kami berada di pegunungan India. Jauh dari kota, dingin dan teduh. Semua bangunan di dayah berbahan dasar kayu, kecuali masjid dayah. Di samping dayah mengalir sungai yang jernih airnya. Dalam setahun ini, tidak ada seorang wanita pun yang dapat kami lihat. Padahal, tahun lalu ada beberapa anak sekolah yang kesurupan dibawa orang tuanya kemari untuk diobati oleh Syekh Tivra. Kini yang datang hanyalah para lansia yang sakit diabetes, para pemain bola yang cedera, dan para pejabat yang mau mencalonkan diri menjadi presiden atau walikota yang ingin minta do’a.

Kami banyak memakan buah-buahan, sayur-sayuran dan sedikit telur ayam. Setiap senin dan kamis kami wajib puasa. Pokoknya, semua yang sunnah di dayah ini menjadi wajib, yang melanggar ibadah wajib akan dihukum menghafal Al-Quran atau harus membersihkan masjid. Dayah ini sangat mandiri. Kami punya sawah sendiri, peternakan ayam, transpalansi sayuran dan dapur yang besar.

Syekh Tivra merupakan mantan biksu Hindu yang kini beragama Islam. Ia selalu berpakaian putih, seorang vegetarian, dan sangat taat pada Allah. Mulutnya basah dengan zikir. Di dahinya, ada bekas tanda sujud berwarna hitam. Ia hafal Quran dan ribuan hadits. Ia juga sudah tujuh kali pergi haji. Kata-katanya yang lemah lembut selalu menentramkan hati, menenangkan jiwa, menembus relung hati yang paling dalam. Namun, ini hanya dirasakan oleh para santri yang taat, tidak olehku dan si kembar, rawan dan riwam.

Rawan dan Riwam berusia 17 tahun. Mereka pembuat masalah di Mumbai. Anak orang kaya yang  tidak tertolong lagi kenakalannya. Rambutnya tidak pernah tumbuh panjang selama mereka di buang kesini, seringkali dibotakin karena hukuman. Rambutku juga begitu, tiap malam minggu kami keluar dari dayah, aku menonton bola di TV bersama orang-orang kota, sedangkan mereka keluar ke bar-bar menghabiskan malam dengan minuman dan wanita.

“Assalamualaikum kaum muslimin, penghuni penjara Islam paling indah ini,” Rawan memulai pidato, seluruh santri antusias mendengarkan.

“Segala puji bagi Allah, Tuhan pencipta alam, menciptakan kalian, saya dan Syekh Tivra, guru besar kita yang sangat saleh, yang mengajarkan kita Islam sebenarnya,” tangannya menjulur ke depan lalu diletakkan ke dada, acting Rawan di depan seluruh santri di dalam masjid disaksikan seluruh penghuni dayah, tukang masak, petani, peternak, sampai penduduk desa terdekat yang juga diundang.
“Selawat kepada Rasullulah, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah, ke alam Islamiyah, dari alam gelap gulita, ke alam yang penuh ilmu pengetahuan. Perkataannya dan perbuatannya semuanya dijalankan oleh Syekh Tivra, membuat saya semakin rindu pada Rasullulah. Semoga kita berjumpa dengan beliau di akhirat nanti,” lanjut Rawan.

“Amiiiiin...” para hadirin menyahut dengan tersenyum bangga.

“Tujuan saya berdiri di depan guru-guru semua adalah untuk berbicara sepatah dua kata yang diajarkan oleh Syekh Tivra kepada saya. Tentunya dengan cara berbeda. Bukan seperti yang syekh Tivra ajarkan setiap hari, dengan kata-kata yang lemah lembut. Kata-kata yang membuat saya, Luzair, dan abang saya tertidur setiap pelajaran TAFSIR, AL-QUR’AN DAN HADITS YANG MEMBUAT KAMI BOSAN.” Rawan meninggikan suaranya. Abang leting mulai menggigit giginya, menggengam tangannya dan bersiap bangun. Tapi Syekh Tivra menjulurkan tanggannya menyuruh mereka duduk kembali.

“Di dalam Al-qur’an ada surat An-nisa’, tapi mana buktinya ada Nisa’ di sini? Kami sudah setahun tak melihat makhluk indah ciptaan tuhan itu di sini.”
“yaaa...!!!” kataku reflek, dilanjutkan dengan mata-mata seluruh hadirin ke arahku. Marah. Aku menutup mulut dengan tangan.

Tiba-tiba Di luar datang dua mobil. Lampunya terang menyilaukan mata, cahayanya menyapu dinding masjid. Seseorang keluar dari mobil dan berlari menuju masjid. Rawam menghentikan pidatonya. Syekh bangun dari tempat duduknya, seseorang tadi masuk dan bersimpuh di kaki Syekh.

“Teungku , selamatkan anak saya!” katanya sambil menangis.
“Insyaallah.” kata Syeikh pada seorang itu sambil membangunkannya dari simpuhan. Syekh berpaling ke mimbar dan berkata, “Rawan, Lanjutkan pidatomu.”

Akhir-akhir ini, kami sudah jarang sekolah. Kami disuruh Syekh ke hutan, mencari dedaunan obat. Syekh memilih kami karena kami santri paling kompak dan paling malas belajar. Rawan dipilih karena dia pemberani, Riwan bisa menghafal semua tanaman obat, dan aku mungkin berguna untuk memanjat pohon yang tinggi.

“Kira-kira anak yang sakit jiwa itu lelaki atau perempuan, Wan?” tanyaku pada Rawan yang sedang membabat ranting-rating pohon yang menghalangi jalan kami ke hutan.

“Pasti lelaki lagi, muak aku.”
“Semoga kali ini bukan lelaki yang pendiam seperti kemarin, jadi kita bisa dengar ceritanya,” kataku.
“Kau sibuk dengan cerita Luzair. Kau hafal itu Al-qur’an, biar masuk Surga.” kata Riwan yang sedang mengendus-ngendus daun yang tidak aku ketahui namanya.

Kami terus berbicara di jalan pergi, sampai jalan pulang. Kami pulang membawa banyak daun dan beberapa pisang monyet, lalu menaruhnya di depan rumah Syekh dan pulang.
“Yakin kamu tidak mau melihat pasiennya, Wan?” tanyaku penasaran.
“Alah, nanti juga nampak sendiri, kan kita selalu disuruh jaga waktu syekh kemana-mana.”
“Owh iya, Wan. Aku lupa, hehe...” jawabku sambil mengaruk-garuk tangan yang gatal karena memanjat pohon yang tidak kutahu namanya.
“Kau apa yang tak lupa, Luzair. Mandi saja selalu lupa” cibir Riwan.
“Hahaha….” kami tertawa bersama lalu menceburkan diri kedalam sungai

Seorang kemarin datang lagi dengan mobilnya, bersalaman dengan Syekh dan masuk kerumahnya. Ia membawa seorang lain yang mugkin istrinya. Ia memakai baju yang agak ketat dan berkacamata hitam. Seketika dari dalam rumah keluarlah makhluk indah dalam ceramah Rawan. Wajahnya putih, bibirnya putih pucat seperti mayat, di kulitnya banyak sekali keringat sampai membasahi jilbabnya. Wanita berkacamata tadi memeluk erat si pasien itu sampai berlinang air mata, tangisannya terdengar sampai ke asrama kami.
“Itu perempuan,” kata Nutram membersihkan tempat tidurku di lemarinya.
“Hahaha....” kami tertawa, karena kami tahu, nanti kalau pasiennya sembuh kami akan dapat buku baru atau kiriman baju team volley baru.

Satu-satunya hiburan kami di sini selain datang wanita sesekali adalah bermain voli. Main voli itu juga satu-satunya jembatan silaturrahmi langsung dengan masyarakat. Setiap sore santri bergiliran melawan tim masyarakat. Kadang kami menang, kadang juga kalah, tapi yang sering kami alami adalah kekalahan. kami kalah sebab tidak pernah diizinkan latihan, tidak pernah menonton permainan volli di televisi dan tak punya pelatih. Syekh Tivra hanya mengatakan, “kemenangan itu tidak penting, yang penting habluminannas , biarkanlah masyarakat senang karena mengalahkan kita.” Kami paling benci kalimat itu. Apalagi India bersaudara Rawan dan Riwan yang ingin selalu menang. Mereka kadang ke kota, membeli buku teknik-teknik bermain voli, membeli kaset, dan mengunduh video-video permainan voli internasional. Diam-diam mereka melatih adik-adik kelas pada saat Syekh Tivra tidak ada atau sekedar berceramah saat makan tentang strategi-strategi bermain voli standar.

Hari ini, kamis, Kami berpuasa. Terlihat wajah Riwan sangat lesu. Ia berjalan sangat lamban saat meniggalkan masjid. Aku datang dan menghampirinya.
“Wan, puasa sih puasa, kalau haus, ya minum. Wan, ke sungai yuk, mandi kita.” kataku bercanda.
“La, ana ila hujrah faqad ”
Dari jauh Seorang adik letting berlari kearah kami.
“Luzair , syekh memanggil kalian, bang Rawan mana?”
“Di kamarnya, lagi makan semangka,” jawabku keceplosan.
“Astagfirullah .” kata santri kecil itu mengelus dadanya dan mengeleng-geleng kepala.
“Kamu mau? Sana pergi.” Dia berlari lebih kencang dari tadi saat menghadap kami.

Kami juga sedikit berjalan lebih cepat ke rumah syekh. Kami tiba di halaman rumah. Rumahnya sangat sederhana, beratapkan daun rumbia. Luas rumah hanya 6 meter. Di dalam rumah hanya ada satu kamar tidur karena syeikh hanya tinggal sendiri. Di samping rumah ada balai kecil, tempat beliau mengobati pasien, tidak jauh dari sungai. Syekh keluar dengan wajah gembira, baju putihnya rapi dan surban terbalut rapi di atas kepalanya.
“Luzair, Riwan tolong kalian jaga kakak kalian. Jika dia butuh sesuatu, segera berikan. Saya harus ke
desa, ada orang meninggal.”

“Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.” jawab kami.
Rawan muncul dari kejauhan, berlari dan ingin menyalami syekh. Wajah Syekh yang ceria kini berubah marah.
“Rawan, kembali ke dayah!. Kamu tidak puasa hari ini, kan?”
“Ini kan puasa sunat Syekh?” bantahnya.

“Sudah, kamu pulang. Tidak ada gunanya saya mengajarkan mu. Kamu memang susah diatur.”
Syekh melanjutkan jalannya. Rawan berlari kembali ke dayah, kami masuk ke dalam rumah, melihat seorang wanita dengan wajah pucat sedang menyetrika baju. Kaki kirinya berbalut perban yang bagian tengahnya berwarna merah, mugkin karena darah, atau mungkin karena obat.
“ Silakan duduk. Kalian punya pakaian yang mau disetrika?”
“Ada.” aku beranjak keluar, tapi Riwan menarik bajuku dan menyuruhku duduk kembali.
“Tidak ada, Kak.Luzair hanya bercanda.”
“Kakak kenapa?” tanyaku
“Ceritanya panjang, Teugku” kata kakak itu sambil mengambil baju putih lain untuk di setrika.
“Kami di sini sepanjang hari, Kak. Kalau tidak habis ceritanya, besok kami datang lagi.” jawabku sambil bersila.
“Kemana, Wan?”

“Ke sungai dulu mau buang hajat. Taulah kamu, aku paling benci cerita”
“Ya, kakak lanjutkan,” kuacuhkan si Wan.

“Kakak diguna-guna seorang cowok. Dia suka sama kakak, tapi kakak tidak. Berkali kali dia datang ke rumah, tapi hanya sampai pintu pagar. Dia diusir sama satpam yang menjaga rumah kakak. Namun ia tidak juga menyerah. Ia juga ke tempat kakak bekerja, setiap hari. Tapi dek, kakak sudah mencintai orang lain. Seorang yang alim seperti kalian, bukan ugal-ugalan seperti dia. Berbaju aneh, beranting dan bercat rambut. Dia sangat aneh menurut kakak. Mungkin saja jarang salat. Kakak tidak melihat cahaya iman di wajahnya, makanya kakak menolaknya karena Allah”

“Pada suatu hari, kakak sudah tidak tahan lagi dengan tingkahnya. Kakak biarkan dia masuk ke rumah dan kakak bersama orang tua menyambutnya di ruang tamu. Ia berbicara panjang lebar tentang usahanya merebut hati kakak, tapi kakak dan orangtua kakak menolaknya. Lalu dia berlutut di hadapan kakak dan memohon. Dalam tangisnya, dia memegang lutut kakak lalu pergi meninggalkan rumah kami. Dia banting pintu dan memukuli satpam. Sejak saat itu, kakak tak bisa lagi berjalan. Lutut kakak membusuk dan penyakit itu menyebar di kaki. Kakak sudah berobat kemana-mana, sampai ke Malaysia dan Singapura. Hingga akhirnya terdengarlah kalau di sini ada orang soleh yang dekat dengan Allah yang bisa menyembuhkan penyakit seperti ini. Alhamdulilah, dek , sekarang lukanya sudah membaik. Kakak sudah bisa menggerakkan kaki kembali.”

Aku terdiam, takjub, belum pernah ada kisah cinta seperti ini. Riwan masuk membawa makanan dan menaruhnya di depanku. Ada pisang, air, semangka, air timun, nasi, kuah bayam, dan telur ayam.

“Dari mana kamu, Wan?” tanyaku
“Dapur, kalian bicara apa?”
“Cerita cinta Luzair” jawab kakak itu.
“Hahaha...Luzair selalu gagal cintanya, Kak” si Wan bersemangat dan mulai bercerita.
“Allahu Akbar...Allahu Akbar...” suara azan mulai berkumandang. Kami membaca do’a dan berbuka puasa. Kakak itu diberikan air semangka sama Iwan. Aku lansung melahap nasi dan si Wan melanjutkan cerita bodohnya tentangku. Kemudian aku membantu kakak itu ke pinggir sungai untuk berwudhu. Si Wan solat lalu meramu obat. Setelah salat isya, syeikh pulang. Ia menanyakan keadaan dan kami disuruh pulang setelah kakak itu pergi ke balai tamu.
Suatu hari kami mendapati syeikh sedang mandi di sungai. Ia sedang membersihkan lubang telinganya dengan tangan.

“Mandi wajib dia tu, Wan?” tanya Rawan.
“Mana ada, itu cara mandi yang bersih.” balas Riwan
“Ayo cepat mandinya kalian, kita ngaji sebentar lagi,” timpalku sambil mengelap badanku dengan handuk.
Kami mengaji dengan khusyuk, syekh belum juga datang. Malam-malam berikutnya syekh juga tidak datang. Ia hanya datang untuk mengimami salat. Kami sering disuruh syekh menemani kakak itu. Kulihat ada kesedihan di matanya, mungkin itu sakitnya yang belum sembuh atau ada hal lain yang dia sembunyikan. Syekh malam itu mengajak kami berbicara delapan mata; aku, Riwan, Rawan, dan syekh. Syekh menyuruh kami ke tempat cowok yang mengguna-guna kakak itu, kami pun tidak membantah. Rawan memang sudah lama ingin lepas dari dayah.
Besoknya kami pun berangkat setelah di doakan oleh seluruh penghuni dayah.

Kemarahan masyarakat tak bisa diredam lagi. Syekh diseret dari pesantren. Masyarakat membakar semua bangunan dayah. Semua santri tak bisa berbuat banyak kalau ingin hidup, akhirnya mereka melindungi diri di dalam masjid.

“PEMBUNUH!!!”
“PENZINA...!!!”
“PENZINA…!!!” teriak masyarakat.
Syekh pun di tanam setengah badan karena memerkosa dan membunuh kakak itu. Di tengah penderitaannya, datanglah Ifrit membawa dua guci air, syekh Tivra menjelang ajalnya sangat kehausan.
Ifrit berkata, “Kau boleh meminum keduanya asal kau katakan dulu apa yang aku suruh”.
“Berkata apa?” sahut sang syekh.
“Katakan Tuhan ada dua” jawab Ifrit lagi.
“Lebih baik aku mati” kata sang syekh.

Ifrit menggoda dengan berbagai cara. Ia memutar-mutarkan guci di depan syekh, menumpahkan air di depan raihan tanganya, lalu memercikkannya.  

“Jika kau katakan tuhan ada dua, aku akan menumpahkan semua air ini ke dalam mulutmu,” kata Ifrit lagi.
“Tu…tu…. Tu….. tut…tut… kereta api.. hahaha...” syekh tertawa mengejek Ifrit.
“Lailahailallah, Muhammadur Rasullulah....” ucap syekh di akhir hayatnya.

*Diedit dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas oleh Ernita Handayani alias Nita Shafaunnisa.

Sort:  

kece badai ceritanya.... mauu dunkkkk...

boleh setelah 7 hari di Steemit kita kirim ke Cerita Pidie... haha

ini pernah dibedah di FLP ya?

pernah seratus tahun lalu, sudah diedit sama Baiquni dan Nita pulak, jadi tak tahu mau diterbitkan kemana, jadi Rio taruh di sini saja

Coin Marketplace

STEEM 0.30
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 64303.16
ETH 3137.29
USDT 1.00
SBD 3.97