Perang Identitas: Dari Tubuh, Benda, Hingga Bicara

in #life6 years ago

Kita sesungguhnya manusia multi-identitas. Kata-kata itu dilontarkan Melani Budianta, akademisi sastra dari Universitas Indonesia, dalam acara Bincang Tokoh yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Rabu beberapa pekan lalu. Ia mencontohkan seseorang yang memakai jilbab, bercelana jeans, menyukai film Korea, suka pizza, dan seterusnya. Identitas apa yang bisa dirumuskan pada orang tersebut.

GoArt_20180202_005929_-1137369557.jpg

Identitas memang direpresentasikan oleh banyak hal. Tidak hanya soal tempat lahir, suku, bangsa, hobi, cara berkehidupan dan sebagainya. Identitas juga diperlihatkan oleh cara berpikir, bersikap, bertindak hingga cara dan isi bicara kita. Cara dan isi bicara seorang preman pasar berbeda dengan pegawai kantoran. Seorang pelajar SD berbeda cara bicara dengan seorang mahasiswa. Seorang guru berbeda cara dan isi bicara dengan bukan guru. Seorang pejabat berbeda cara bicara dengan pegawai biasa. Seorang wakil rakyat tentu berbeda cara dan isi bicara dengan rakyat yang diwakilinya.

Orang terpelajar berbeda cara dan isi bicara dengan orang tak terpelajar. Tapi sebentar, untuk soal terakhir ini harap dibaca dalam pengertian yang luas. Terpelajar tak harus bertitel sarjana hingga doktor dan profesor. Sebab ruang belajar tak hanya di bangku sekolah formal, tapi juga di ruang maha luas yakni kehidupan. Orang bisa terpelajar karena bacaan, pengalaman, dan pergaulan. Bob Sadino, meskipun sekolahnya tidak sarjana, ia adalah orang terpelajar. Ia pengusaha sukses yang sangat inspiratif.

IMG_20180117_162432_1518069104353.jpg

Nah kembali ke cara dan isi bicara. Dalam teori semiotika, setiap gerak, perilaku, pakaian, gaya hidup hingga cara dan isi bicara merupakan simbol-simbol yang merefleksikan diri seseorang. Jika seseorang menggunakan mobil BMW, dalam kacamata semiotika, ia tidak sedang butuh mobil. Tapi yang dia perlukan adalah merek BMW untuk menegaskan kelas sosial dia. Kita tahu pemilik BMW pastilah kelas atas. Kalau kelas karyawan rata-rata lebih suka menggunakan mobil sejuta ummat yang harganya di bawah 250 juta. Sebab tidak sembarang orang bisa membeli mobil mahal. Hanya orang-orang kaya-lah pemiliknya.

Terkadang citra tidak berbanding lurus dengan kebutuhan. Jika ditilik dari kebutuhan, mobil sejuta ummat seharga di bawah Rp 250 juta sudah lebih dari cukup. Namun dari sisi citra, mobil itu terlalu biasa. Tidak bisa menegaskan identitasnya. Pakaian juga begitu. Tas misalnya. Jika cuma untuk kebutuhan menaruh dompet dan peralatan wanita, tas seharga Rp 500 ribu sudah lebih dari cukup. Tapi sebagian kaum perempuan rela menghabiskan ratusan juta rupiah untuk membeli sebuah tas. Apa untungnya? Ia mengejar citra. Pakaian mahal menunjukkan kelas sosial. Itulah yang kerap disebut -- dalam ranah culture studies -- sebagai statemen identitas.

IMG_20180117_132148_1518069308307.jpg

Begitu pula bicara. Seorang pejabat sampai harus menyewa konsultan untuk mengatur bagaimana ia harus bicara dan apa isinya. Itu bukan karena takut salah ngomong, tapi agar bicara dan isinya menunjukkan citra yang ingin dibangun. Para ahli semiotika menyebut bahwa hidup kita berada dalam hiperialitas. Kita hidup dalam dunia imajinasi, yang bukan dari kita sendiri, tapi juga imajinasi yang diproduksi oleh industri lewat iklan-iklan serta media massa dan kemudian kita adopsi seolah-olah harus seperti dalam iklan itu.

Ingat anak kita yang suka bergaya seperti tokoh kartun kesukaannya? Seperti itulah imajinasi dan citra yang diproduksi oleh iklan dan media massa yang menyerbu bukan hanya di ruang keluarga, tapi juga di jempol kita. Kesuksesan sering dicitrakan dengan kemewahan dan merek mulai dari pakaian, kendaraan, rumah, liburan, hingga tempat makan. Kecantikan bagi perempuan kerap dicitrakan dengan imajinasi Barat yakni tinggi semampai, putih, hidung mancung, wajah oval, dan seterusnya.

Kita didekte menerima itu sebagai kebenaran yang tidak bisa dibantah. Lalu ketika kita menghadapi seseorang yang tidak sesuai kriteria cantik ala Barat itu, kita pun menampiknya. Kita tak percaya diri mengetengahkan kriteria cantik ala Asia: kulit sawo matang, hidung tak mancung, dan tidak tinggi semampai namun sebelumnya. Apalagi yang badannya padat dan cenderung berisi. Sehingga perempuan bela-belain sampai diet segala demi mendapatkan tubuh sesuai kriteria Barat. Sebagian dari mereka langsung uring-uringan begitu berat badan naik.

Sebagian orang melakukan diet bukan karena alasan kesehatan atau kebugaran, tetapi semata-mata karena faktor atau alasan kecantikan. Bukan hanya itu. Segala bentuk kosmetika bagi sebagian besar perempuan juga referensinya pada produk-produk yang bintang iklannya adalah para pesohor. Salon-salon kecantikan dan outlet pakaian kelas atas pun ramai. Begitu pula kafe-kafe dan restoran kelas atas tidak pernah kekurangan pelanggan.

Tidak ada yang salah memang dengan fakta ini. Hal ini saya paparkan sekedar menjelaskan betapa citra begitu penting bagi kita dibandingkan utility. Bungkus lebih penting ketimbang isi. Pakaian lebih penting ketimbang substansi. Keinginan lebih menonjol daripada kebutuhan. Celakanya bagi sebagian orang yang kurang cukup penghasilannya rela sampai mengutang untuk meraih citra itu. Rela mengurangi makan asal bisa menyicil mobil. Alasannya mobil itu kebutuhan. Kita lupa berapa banyak biaya perawatan mobil dan biaya yang kita keluarkan untuk bensin, pajak, bunga kredit bank, hingga parkir.

Kita sering menyamarkan kebutuhan dalam citra. Sesuatu yang sesungguhnya citra (keinginan) kita samarkan sebagai kebutuhan. Jika sebagai kebutuhan, sebagian pemilik mobil itu cukup naik taksi atau kendaraan umum yang sekarang makin baik. Cukup bayar tarifnya. Tidak perlu bayar biaya perawatan, bunga kredit bank, pajak kendaraan hingga parkir. Apalagi sebagian pemilik mobil itu hanya menggunakan mobil di hari Sabtu-Minggu, sehingga betapa mubazirnya mobil itu. Tidak produktif. Seandainya uang untuk beli mobil diinvestasikan seperti dibelikan tanah tentu akan jauh lebih menguntungkan. Harga mobil makin tua makin turun. Harga tanah makin lama makin naik.

Screenshot_2018-02-08-12-53-20_com.miui.gallery.png

Pertanyaannya: kita mau merumuskan diri kita sendiri seperti apa. Mau meniru kriteria dari Barat atau kita punya kriteria sendiri.
Coba bayangkan kita ini siapa. Hal tersebut penting agar kita bisa memilah mana bungkus dan mana isi, mana citra dan mana substansi, mana kebutuhan dan mana keinginan. Jika sudah tahu siapa diri masing-masing jangan lupa berkomentar di bawah tulisan ini ya.

Depok, 8 Februari 2018
MUSTAFA ISMAIL

Sort:  

Mantep om, inti nya kita ttp jadi dri sendiri.

yap bentul bang. sebaik-baiknya identitas, jadilah diri sendiri. Saleuem

Sesuai kantong aja bang @musismail

Yes, sesuai pasak dengan tiang --- kata orang tua.

Manusia memang penuh dengan identitas diri

ya, kita bisa muncul dengan beragam identitas

iya, kita punya banyak identitas.

Makin bijak Mus sekarang

ini semacam bijak, tapi bukan bijak haha....

Menjadi diri sendiri itu akan lebih damai.

lebih damai dan membahagiakan

Ciri post modern adalah perdebatan identitas. Orang mudah membangun citra karena decentralisasi hidup yg kian memuncak. Media teknologi membantu itu semua. Sehingga org2 yg selma ini merasa identitasnya terkubur,terakomodasi oleh postmodern. Tulisan @musismail kembali membangkitkan klas filsafat dalam jiwa saya. Trima kasih.

postmodernisme menghilangkan batas-batas. Termasuk batas identitas. Semua menjadi nisbi. Kita tidak bisa ditandai lagi sebagai siapa, karena begitu banyak identitas kita. Pada hari Jumat kita menjadi sangat religius, tapi saat malam akhir pekan kita menjadi sekuler dengan nongkrong di klub-klub malam.

Maka identitas sarat makna. Bukan simbol. Walau kita sekarang d aceh lagi gila simbol hhh

Wah pak @musismail. Ini tulisan berat yang menginterpretasikan kehidupan yang absurd. Bagus untuk dibaca. Agar kita tahu, cara melihat tingkat sosial orang lain. Terima kasih untuk tulisan bernas ini.

Kehidupan memang absurd Pilo. Kita harus membuatnya membumi dan nyata

Lebih baik jadi diri sendiri aja ya Bang Mus? Jehe...saya baca sampai tuntas postingan ini krn pantas dan nikmat dibaca diksinya ..sederhana namun elegan!

Ya kita harus menjadi diri sendiri. Hal penting yang bisa kita lakukan meningkatkan kesadaran: bahwa hidup harus lebih menentukan substansi ketimbang citra. Kebutuhan, citra dan kriteria-kriteria (hidup ideal dan lain-lain) yang didekte oleh industri (dan Barat) tak lebih sebagai hiperialitas alias realitas imajinatif. Salam. Makasih

Tulisan yang bernas. Asoe tok mandum, hana gapah. Sukses terus bang.

Makasih. Saleuem mulia sabe

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.13
JST 0.030
BTC 63476.83
ETH 3413.43
USDT 1.00
SBD 2.50