Dari Urusan Mainan Hingga Uang Recehan
Saya selalu senyam-senyum sendiri melihat dua anak saya paling kecil, Eza dan Edgin, sering bertengkar. Ada saja soal yang menjadi pertengkaran. Mulai soal mainan hingga soal jajan. Umur mereka berpaut lumayan jauh. Eza baru duduk di tahun pertama taman kanak-kanak. Adapun Edgin kelas lima sebuah sekolah dasar di Depok, Jawa Barat.
Ilustrasi: Pixabay.com
Tapi dasar bocah, Egin tetap melayani kalau adiknya, Eza, melakukan sesuatu yang dia tak suka. Suatu kali, Eza mengambil squishy milik Edgin dan memain-mainkan, dilempar-lempar dan seterusnya. Egin marah. Terjadilah percek-cokan. Sampai-sampai Eza didorong sama Edgin. Nah, Eza, meskipun kecil, tentu saja melawan.
Edgin mengoleksi banyak sekali squishy, yang sebagian dia beli dari menyisihkan uang jajan, dan sebagian lagi ia bikin sendiri. Ya, Edgin membuat sendiri squishy itu dan dijual kepada teman-temannya. Sebagian squishy yang dia beli juga kemudian dijual kepada teman-temannya. Tentu saja ia mengambil untung dari penjualan itu.
Tak hanya itu. Saking senangnya pada squishy, Edgin sampai bikin video tentang cara bikin squishy dan pernak-perniknya. Saya pun kaget menemukan video dia di Youtube beberapa bulan lalu. Saya sempat tanya kepada kakaknya, @firameutia, ternyata itu tak tahu soal video Edgin. Padahal kamar mereka sebelahan di atas. Saya tanya @firameutia karena ia kuliah di jurusan multimedia sebuah kampus di Jakarta.
Edgin membuat channel sendiri di Youtube. Coba simak salah satu videonya.
Tapi saya tidak membahas video karya Edgin dalam kesempatan ini. Jadi mari kita kembali ke persoalan anak-anak tadi. Lain kali, mereka bertengkar soal uang. Uang receh, tentu saja. Di Aceh disebut "peng grik". Entah bagaimana cerita awalnya, tiba-tiba mereka sudah terlibat perdebatan di ruang depan.
Mereka saling menyalahkan. Keduanya merasa benar. Tapi tak jelas mana yang benar. Edgin bilang bahwa Eza yang mulai duluan. Sementara Eza menyebut Edgin yang mulai duluan. Tapi siapa pun yang mulai, intinya mereka bertengkar. "Yang besar ngalah," ujar saya. Edgin menurut. Tapi, sambil mengangguk mengalah, Edgin menyelutuk: "Eza sih, bandel."
Nah, ternyata celutukan Edgin bikin Eza marah lagi. Ia kejar kakaknya dan dia dorong. Kembali terjadi pertengkaran. Kalau begini terus, merasa mengalah tapi sesungguhnya diam-diam menyerang, antara lain dengan menyindir, pertengkaran tidak pernah usai. Sebab yang merasa mengalah sebetulnya tidak benar-benar mengalah. Ia hanya mundur selangkah untuk "menyerang" lagi dengan kata-kata yang bikin pihak lain "panas" lagi.
Akhirnya, saya panggil keduanya. Lalu saya peluk. Saya bilang: "Adik sama kakak harus saling sayang. Boleh marah, tapi tidak boleh terus-terusan marah, apalagi dendam. Sekarang, adik dan kakak pelukan." Setelah berkata begitu, sang kakak langsung memeluk adiknya. Adiknya pun balas memeluk. Mereka kemudian kembali main bareng.
Tapi, besok-besoknya mereka bertengkar lagi. Baikan lagi. Bertengkar lagi. Baikan lagi. Saya biarkan saja mereka sejauh tidak berbahaya. Itu bagian dari ujian melatih "kedewasaan". Sehingga kalau sudah dewasa beneran tak susah belajar lagi.
Sementara kita mencoba mengajari anak-anak kita tentang kehidupan, mereka mengajari kita apa itu kehidupan. (While we try to teach our children all about life, our children teach us what life is all about.)
--Angela Schwindt
JAKARTA, 16 April 2018
MUSTAFA ISMAIL
@musismail
Tapi klau udah jauh, pasti saling merindu kan bg @musismail??
Hehehe..
ya benar. mereka suka berantem di rumah. tapi kemana-mana, keduanya selalu ikut bareng. kalau salah satu gak pergi, satunya gak mau pergi juga. anak-anak lucu.
Iya bang , menyikapi permasalahan dengan dewasa itu akan membuat kita tenang. Apalagi permasalahan anak-anak . Itu biasa jika mereka saling berantem lalu baikan lagi. Dinamika itu namanya. Tetap semangat dan riang gembira.
Ya benar @willyana. Anak-anak cepat baikan kalau berselisih paham. Mungkin sesekali orang dewasa harus belakar sama anak-anak. Jangan cuma anak-anak yang selalu diminta belajar sama orang dewasa, haha...