Kisah Nyata Dibalik Novel Tenggelamnya kapal Van Der Wijck#true story behind the sinking novel van der Wijck's ship#
gambar via: Cinema Poetica
Selamat soreh dahabat steemit semua,kali ini saya ingin membagikan sedikit cerita yang bernuansa sarat dengan sastra,yang kebetulan saya tertarik dengan salah satu sastrawan indonesia yaitu buya hamka, buat sahabat steemit semua mungkin pernah mendengar tentang novel berjudul Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck karya Buya Hamka? Atau film yang berjudul sama? Bagi yang sudah membaca, atau menonton filmnya pasti sudah mengetahui jalan cerita novel dan film tersebut yang berkisah tentang kisah cinta antara Hayati dan juga Zainudin.
sumber:wikipedia
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah salah satu novel legendaris karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka. Novel yang pertama kalinya terbit pada tahun 1939 ini menceritakan mengenai persoalan adat yang berlaku di Minangkabau serta perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih sampai berakhir dengan kematian.
Meskipun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, cerita yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka. Seperti umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka juga mengolah tragedi yang memilukan itu dalam cerita fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya mempunyai pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, serta Aziz) seakan pribadi-pribadi yang benar-benar hidup serta mewakili potret kaum muda pada saat itu ketika mereka bertemu dengan arus perubahan sementara kakinya berdasar pada adat serta tradisi.
Seperti novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga bercerita mengenai cinta yang tidak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, yaitu anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh mamaknya dalam suatu perselisihan harta warisan. Sesudah bebas ia pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan inilah lahir Zainuddin. Sesudah orangtuanya wafat, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang disebut kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukanlah anak Minang. Maklum meskipun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan pada ibu.
Good afternoon steemit dah dah, this time I want to share a little story nuanced loaded with literature, which I happened to be interested in one of the Indonesian literature that is buya hamka, make steemit friends all may have heard of the novel titled Drowning When Van Der Wijck Buya Hamka ? Or a movie titled the same? For those who have read, or watch the movie must already know the story of the novel and the film is about the love story between Hayati and Zainudin.
The sinking of the Van Der Wijck Ship is one of the legendary novels by Haji Abdul Malik Karim Amrullah or better known as Buya Hamka. The first novel published in 1939 tells about the customary issues prevailing in Minangkabau as well as the differences in social background that hinder the lovers' relationship of love until it ends with death.
Despite the sinking of Van Der Wijck's ship, the story written by Hamka in the novel is of course fiction. Like most good literary works built on fragments of real events, Hamka also cultivates the heartbreaking tragedy in a fictional story that has been given a concrete incident with a plot that is so neat that the imagination of its readers has a foothold in the factual world. The main characters (Zainuddin, Hayati, and Aziz) are like individuals who actually live and represent the portraits of young people at that time when they meet the flow of change while the feet are based on customs and traditions.
Like the novel Siti Nurbaya, the novel sinking Van Der Wijck Ship also tells the story of love that does not arrive. The main character, Zainuddin, the son of the Swordsman Sutan who was exiled to Cilacap for killing his mamak in a property dispute. After his release he went to Makassar and in this town married Daeng Habibah. From this marriage was born Zainuddin. After his parents died, Zainuddin went to Batipuh, Padang Panjang, which was called his father's hometown. Unfortunately, there he was not treated well because it is not considered Minang children. Understandably even though his father is a Minang, his mother is a Bugis person so breaks up a blood relation according to matrilinear line which is nourishing to the mother.
sumber:mkapanlagi.com
Meskipun demikian, Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis Minang yang prihatin pada nasibnya serta sering mencurahkan kesedihan hatinya pada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, sudah pasti keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukanlah orang Minang serta tak jelas juga masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang asli Minang serta datang dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada kesepakatan keluarga, meskipun hatinya condong pada Zainuddin.
Zainuddin menganggap Hayati sudah berkhianat. Pada akhirnya dengan membawa perasaan luka, ia pergi ke Jakarta, lalu pindah ke Surabaya. Sementara itu Hayati serta Aziz yang sudah menikah juga pergi ke Surabaya serta tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara keduanya berjumpa dengan Zainuddin yang sudah menjadi orang berhasil. Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz serta Hayati semakin lama makin memburuk. Aziz jatuh miskin, sampai ia serta istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tidak tahan menahan penderitaan, Aziz pada akhirnya bunuh diri dan terlebih dulu meninggalkan pesan agar Zainuddin melindungi Hayati.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan juga ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, meskipun wanita itu merajuknya.
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Tetapi nasib malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa. Zainuddin yang mendengar berita itu segera menuju rumah sakit di Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak bisa diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin sering mengalami sakit hingga pada akhirnya meninggal dan dimakamkan di samping pusara Hayati.
Nonetheless, Zainuddin is in love with Hayati, a Minang girl who is concerned about her fate and often devotes her heart sadness to Hayati. As a noble descendant girl, it is certain that the Biological family prevented her from connecting with Zainuddin who was not a Minangian and also unclear of her future. The Biological Family chose the original Aziz Minang as well as coming from a distinguished family. Hayati must bow to the family agreement, although his heart is leaning towards Zainuddin.
Zainuddin considers Hayati has betrayed. In the end with a feeling of injury, he went to Jakarta, then moved to Surabaya. Meanwhile Hayati and Aziz who are married also went to Surabaya and stayed here for work reasons. Unintentionally, in an event they both met with Zainuddin who has become a successful person. While the economic life of Aziz and Hayati increasingly worsened. Aziz fell into poverty, until he and his wife had to stay at Zainuddin's house. Unable to withstand the agony, Aziz eventually committed suicide and first left a message for Zainuddin to protect Hayati.
Zainuddin who was once betrayed found it difficult to accept Hayati again. Feelings of love are still burning tried to extinguish. In fact he also asked Hayati to return to his hometown in Batipuh, even though the woman sulked him.
gambar via: Langkah Anak Desa
Hayati went home by aboard Van Der Wijck. But his unfortunate fate befell him. The ship that was drowned in the Java Sea. Zainuddin who heard the news immediately to the hospital in Tuban. Unfortunately Biological lives can not be saved. Since the incident Zainuddin often experience pain until eventually died and was buried beside the tomb Hayati.
sumber:https://danieldokter.wordpress.com
Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan pesan kalau cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering dikorbankan untuk martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang ketika itu yang tidak sesuai dengan beberapa dasar Islam maupun akal budi yang sehat.
The tragic end of the story seems to be an option to convey the message that love that is the root of one's happiness is often sacrificed for the dignity of the family or descendants. This novel is written as a critique of some traditions in Minang adat when it is not in accordance with some basic Islamic and healthy reason.