KAMU SEKARANG ADALAH AKU YANG DULU
Terkurung di bilik raksasa, tak apa bila tak disapa. Begitulah kiranya petuah bodoh yang selama satu tahun aku benamkan dalam pusat saraf. Menuruti kata mereka, mengabaikan kata kita. Ketika itu aku masih tetap berjalan mengikuti arus yang aku pikir tulus, ternyata aku justru semakin mulus pada jalur yang menjerumus. Sempat untuk berhenti, tidak untuk mengikuti. Tidak berani bersuara memaksa mereka semakin leluasa menikmati limpah ruah kesenangan dunia yang pasti fana. “Ah...jangan terlalu serius. Hidup ini cuma sekali, nikmati saja apa yang sudah dimiliki,” ucap mereka yang aku anggukkan, berat menyetujui.
Benar, hidup ini memang sekali. Hal ini tidak pula aku pungkiri. Namun, aku, kamu, dan mereka akan dihidupkan kembali, tidak sekarang tetapi pasti. Mungkin mereka melupakan ini saat kedua tangan berayun lancar menyuapkan karbohidrat dan lemak ke dalam lumbung sebelum waktunya dibuang. Mereka tertawa lepas sembari mengabaikan kesalahan yang mereka akui. Sekali lagi mereka percaya hidup ini cuma sekali, sekali lagi pula mereka mengingkari kesalahan yang mereka akui. Begitu seterusnya sampai mereka sama-sama bosan untuk tertawa.
Mereka baik di awal tetapi ketahuan pura-pura di akhirnya. “Kalau sama saya dibuat mudah aja, ngapain kita susah-susah. Nanti pasti salah lagi yang kita buat di mata mereka.” ucap ia yang punya ‘mahkota raja’. Bagaimana mau benar bila bertanya saja seperti harus menangkap bola api yang mengarah ke muka. Sudahlah, biar aku basahkan selimut tebal yang ada di bilik ini agar tanganmu tidak perih menahan bola api itu. “Kamu pergi kemana? Kenapa malah pergi?” kecewa si anak bawang karena usahanya diabaikan begitu saja.
Jika ini lingkaran maka sudah sempurnalah diameternya. Setengah tahun aku telusuri jalan gelap dengan percikan macis mereka. Mereka punya banyak sediaan sehingga tidak akan gemetar bila satu padam.
Kali ini kamu tumbuh cepat, yang belum kuat pun tetap dianggap. Mungkin agar banyak suara yang didapat. Akibatnya semakin mengalir tangisan kecewa dari harapan-harapan yang mereka terima di muka. Kenangan memberikan pelajaran. Aku sudah dilatih untuk peka mendengar jeritan. Tidak seperti saat dulu, berteriak tapi tak didengar. Melihat derita yang didapat dan menelannya sebagai nikmat agar kelihatan kenyang dalam rasa lapar. Bahkan saat gerah menyapa, aku tampung keringat untuk membasahi rupa agar terlihat segar dan baik-baik saja.
Untuk kamu yang sekarang masih punya mata dan telinga. Ambil sedikit waktumu untuk berpikir. Jika perlu ajak dinding-dinding putih itu berdiskusi. Sebab mereka pernah menjadi saksi dari kisah dulu. Mereka akan memberimu jawaban dari resah dan keluhmu. Tidak perlu setahun untuk menunggu.
Di tempat seharusnya!
@daentepi