Stories in the Red Lights | Kisah di Lampu Merah |

in #life7 years ago

Red Light

By @ayijufridar

AZAN maghrib has just reverberated in the Baiturrahman Mosque of Lhokseumawe, Aceh (Indonesia). The traffic situation at Simpang Empat, just next to the mosque, is busy. It's always like people chasing something before maghrib. Maghrib prayer time is narrow, but that does not mean everyone is busy so as not to miss prayers. If you want, why not just stop and pray together in the mosque.


Source

The red light from the east lights up. The rider from Jalan Pang Lateh moves forward. But suddenly a motorcycle driven by a man with a woman carrying a three-year-old kid weaved in from the east. Obviously, he had to stop because the red light was on.

A biker then reminded him of the offense. But what, he replied, he cursed in the local language in a big voice, matching the echoing call to prayer. The three-year-old boy, most likely his son, listened to the insults. It may be that he learned cognitively how to respond to people's warnings when making mistakes.

The illustration above is a worrying reality. It's not just a traffic violation that has become our habit, but the way the reaction is so far removed from the traits of civilized people. Even if education is not able to improve morals for the better, whether religious values are also not? Does not Islam also teach us to be disciplined, including obeying traffic rules?

It seems trivial. But many argue that orderly traffic is a mirror of the nation. The higher the civilization of a nation, the more orderly the traffic. Can not believe it? Just look at the advanced nations of the world. Where there is a chaotic traffic. Without the police, they stopped at a red light. Do not have to compare with countries in Europe that already high civilization. With Malaysia or Singapore alone we are still far behind.

But road users in Aceh should not be too discouraged. Our neighbors are more advanced economy, Medan, also not too orderly traffic. There is even an interesting story about traffic violations in Medan. The story, a colleague of journalists boarded a police car on the way to his office. At a crossroads, the car stopped because the red light was on. But only two minutes to stop, the horn of the vehicle behind him already shouted. An angkot driver shouts while poking his head through the window; "Wooi, there is no police. Step it out! "

Whereas a car driver in front of a policeman.

Violation of traffic signs has become our daily habit. If there is no police, almost no one wants to stop at a red light. So many road users are going ahead_, when there are two motorcycles or cars that stop, so it looks weird. It's as if they've broken the orderly traffic. The world is already upside down.


Source

In Lhokseumawe, stopping at a red light is a dilemma, like eating a fruit simalakama. Do not stop, can be sliced police who often stand at the intersection if we violate. If stopped, may be occupied from behind by other vehicles. A senior vital project officer in Lhokseumawe was once raided by a military reo truck for stopping at Simpang Empat when the red light was on. The back of his car broke, but thankfully he's okay even though his heart is almost dislodged. A similar case was also experienced by three print media journalists who were attacked by a marine truck on Jalan Merdeka Lhokseumawe.

If there's time, try doing a little research on who most often broke red lights. Do not be surprised if the security apparatus that is supposed to set an example, is on the top board as an offender, competing with pedicab drivers and drivers of city transports (angkot). The rest of the road users are hesitant; stop if the vehicle in front of him stop, step on the gas if there is a fishing.

It could be just casuistry. Just a momentary observation so it is still a hypothesis. It could be in other occasions, the number of most violators committed by civil society. There is no continuous observation to get a clear picture. But there are still many police officers or military officers who violate, really apprehensive.

The red light is not just on the highway. The case of corruption in Aceh has also been a red light. It's time to stop the corruptors stopped because the red lights continue to burn. The result of research that put Aceh as the most corrupt province in Indonesia is a shame. We are known from the bad side. An official in Aceh Utara questioned research methodology so that Aceh could get a ranking.

Thankfully, in the matter of red light violations on the highway we can refer to Medan that is not less bad. How about this corruption, we want to point to what other areas?

In addition to corruption, other lights that are burning are our forests. From the outset it has been reminded that the reconstruction and rehabilitation program should not break Aceh's deforested forest. But until now cases of illegal logging are still common. Trucks carrying logs often still pass through Jalan Medan - Banda Aceh at midnight. Instead of suspecting they do not have permission, just a question mark.

Red lights are already lit up everywhere. On the road, in the woods, in the office, even in our own homes. It's just that we are less careful because they never want to stop. Or maybe, we can not distinguish again where red, yellow, or green. We are blind, not just eyes, but also hearts.[]


Source

Lampu Merah

Oleh @ayijufridar

AZAN maghrib baru saja berkumandang di Masjid Baiturrahman Lhokseumawe, Aceh. Situasi lalu lintas di Simpang Empat, persis samping masjid, sedang ramai-ramainya. Selalu saja orang-orang seperti mengejar sesuatu menjelang maghrib. Waktu shalat maghrib memang sempit, tapi bukan berarti semua orang sibuk agar tidak ketinggalan shalat. Kalau memang mau, kenapa tidak berhenti saja dan shalat berjamaah di masjid.

Lampu merah dari arah timur menyala. Pengendara dari arah Jalan Pang Lateh bergerak maju. Tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang lelaki bersama seorang perempuan yang menggendong anak usia tiga tahun menyerobot dari arah timur. Padahal jelas, dia harus berhenti karena lampu merah sedang menyala.

Seorang pengendara sepeda motor lantas mengingatkannya tentang pelanggaran itu. Tapi apa jawabnya, lelaki itu memaki dalam bahasa daerah dengan suara besar, menandingi kumandang azan yang bergema. Bocah usia tiga tahun yang kemungkinan besar anaknya, ikut mendengarkan makian itu. Bisa jadi, secara kognitif ia belajar begitulah cara menanggapi peringatan orang ketika membuat kesalahan.

Ilustrasi di atas adalah sebuah realitas yang memprihatinkan. Bukan saja pelanggaran lalu lintas yang memang sudah menjadi kebiasaan kita, tetapi cara reaksi yang diberikan sangat jauh dari ciri-ciri orang berperadaban. Kalau pun pendidikan tidak mampu memperbaiki akhlak menjadi lebih baik, apakah nilai-nilai agama juga tidak? Bukankah Islam juga mengajarkan kita untuk berdisiplin, termasuk mentaati peraturan lalu lintas?


Source

Kelihatannya sepele. Tapi banyak yang berpendapat bahwa tertib berlalu lintas merupakan cermin bangsa. Makin tinggi peradaban sebuah bangsa, makin tertib lalu lintasnya. Tak percaya? Lihat saja bangsa-bangsa maju di dunia. Mana ada yang lalu lintasnya yang semrawut. Tanpa polisi pun, mereka tetap berhenti di lampu merah. Tak usah jauh-jauh membandingkan dengan negara-negara di Eropa yang memang sudah tinggi peradabannya. Dengan Malaysia atau Singapura saja kita masih tertinggal jauh.

Tapi pengguna jalan di Aceh jangan terlalu berkecil hati. Tetangga kita yang lebih maju ekonominya, Medan, juga tak terlalu tertib lalu lintasnya. Bahkan ada cerita menarik soal pelanggaran berlalu lintas di Medan. Ceritanya, seorang rekan jurnalis menumpang mobil seorang polisi dalam perjalanan menuju kantornya. Di sebuah perempatan jalan, mobil itu berhenti karena lampu merah sedang menyala. Namun baru dua menit berhenti, klakson kendaraan di belakangnya sudah bersahutan. Seorang supir angkot berteriak sambil menjulurkan kepalanya melalui jendela; “Wooi, nggak ada polisi. Tancap saja!”

Padahal pengendara mobil di depannya seorang polisi.

Pelanggaran rambu lalu lintas memang sudah menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Kalau tidak ada polisi, hampir tidak ada yang mau berhenti di lampu merah. Saking banyaknya pengguna jalan yang nyelonong, ketika ada satu dua sepeda motor atau mobil yang berhenti, jadi terlihat aneh. Seolah merekalah yang telah melanggar tertib lalu lintas. Dunia memang sudah terbalik.


Source

Di Lhokseumawe, berhenti di lampu merah adalah sebuah dilema, seperti makan buah simalakama. Tidak berhenti, bisa disemprit polisi yang sering berdiri di perempatan kalau kita melanggar. Kalau berhenti, bisa-bisa diseruduk dari belakang oleh kendaraan lain. Seorang petinggi proyek vital di Lhokseumawe pernah diseruduk truk reo militer karena berhenti di Simpang Empat saat lampu merah sedang menyala. Kaca belakang mobilnya pecah, tapi syukurnya dia tidak apa-apa meski jantungnya nyaris copot. Kasus serupa juga dialami tiga orang wartawan media cetak yang diseruduk truk reo marinir di Jalan Merdeka Lhokseumawe.

Kalau ada waktu, cobalah melakukan penelitian kecil-kecilan siapa yang paling sering melanggar lampu merah. Jangan kaget kalau aparat keamanan yang seharusnya memberi contoh, justru berada di papan atas sebagai pelanggar, bersaing dengan tukang becak dan supir angkot (labi-labi). Selebihnya pengguna jalan yang ragu-ragu; berhenti kalau kendaraan di depannya berhenti, tancap gas kalau ada yang memancing.

Bisa saja itu hanya kasuistik. Hanya pengamatan sesaat sehingga masih berupa hipotesa. Bisa jadi dalam kesempatan lain, jumlah pelanggar terbanyak dilakukan masyarakat sipil. Belum ada pengamatan kontinyu untuk mendapatkan gambaran jelas. Tapi ihwal masih adanya aparat kepolisian atau militer yang melanggar, sungguh memprihatinkan.

Lampu merah bukan hanya di jalan raya. Kasus korupsi di Aceh juga sudah lampu merah. Sudah saat berhenti para koruptor itu berhenti karena lampu merah terus menyala. Hasil penelitian yang menempatkan Aceh sebagai provinsi paling korup di Indonesia sungguh memalukan. Kita dikenal dari sisi buruknya. Seorang pejabat di Aceh Utara sampai mempertanyakan metodologi penelitian sehingga Aceh bisa mendapat rangking.

Syukurnya, dalam soal pelanggaran lampu merah di jalan raya kita bisa menujuk Medan yang tak kalah buruknya. Lha, soal korupsi ini, kita mau menunjuk daerah mana lagi?


Source

Selain dalam hal korupsi, lampu merah lainnya yang sudah menyala adalah hutan kita. Sejak awal sudah diingatkan bahwa program rekonstruksi dan rehabilitasi jangan sampai menggundulkan hutan Aceh yang memang sudah gundul. Tapi sampai kini kasus-kasus pemalakan liar masih sering terjadi. Truk-truk pengangkut kayu gelondongan masih sering melintasi Jalan Medan – Banda Aceh pada tengah malam. Bukannya curiga mereka tidak punya izin, hanya timbul tanda tanya saja.

Lampu merah memang sudah menyala di mana-mana. Di jalan, di hutan, di kantor, bahkan di rumah kita sendiri. Hanya saja kita kurang awas karena tidak pernah mau berhenti. Atau jangan-jangan, kita sudah tidak bisa membedakan lagi mana merah, kuning, atau hijau. Kita ini sudah buta, bukan hanya mata, tapi juga hati.[]

Badge_@ayi.png

telor.gif

Sort:  

Kereeeennnn bang Ayi....👍👍👍

Miris sekali bg @ayijufridar. Seharusnya budaya taat aturan terutama tertib dalam berlalulintas harus disemai sedari kecil agar masyarakat kita lebih beradab saat berada di jalan raya. Tapi kenyataannya sekarang bukan hukum namanya kalau bukan untuk dilanggar. Inilah Indonesia.

Benar sekali @zamzamiali. Sebuah bangsa yang beradap dilihat dari perilaku di jalan raya. Kisah di atas nyata adanya dan beberapa di antaranya saya alami sendiri.

Semoga kejadian seperti itu tidak terulang lagi bg @ayijufridar. Aamiinn.

Beginilah kalau hal biasa ditulis oleh penulis luar biasa; menghasilkan sebuah karya yang istimewa. Saleum takzem gure @ayijufridar :)

Mantap kanda @ayijufridar luar biasa

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.029
BTC 63352.53
ETH 2447.41
USDT 1.00
SBD 2.67