Perjalanan ke Kebon Kosong dan Nasib Gutenberg

in #life7 years ago (edited)

DSC_2214.jpg

Seharian aku menunggui buku baruku selesai dijilid. Kerikil-kerikil kecil membuat peluncuran kedua buku tersebut mundur dari jadwal yang telah ditetapkan.

Namun, sebaiknya kisah ini kumulai dari pagi dini hari.

filigree.png

Rabu, 14 Maret 2018 05:33

DSC_2224.jpg

Stasiun Bandung tak terlalu ramai. Mungkin karena bukan akhir pekan atau masa liburan.

KA Argo Parahyangan 21 jurusan Bandung – Gambir telah menanti di peron 6. Gerbong Ekonomi AC-2 yang akan kunaiki bahkan masih gelap gulita.

Sepuluh menit sebelum kereta berangkat, lampu menyala. Aku duduk di kursi 9A. Tepat pukul 06:30 deretan gerbong panjang dihela lokomotif CC 206 21 (GE CM20EMP) berderak di rel menuju Jakarta sesuai pemberitahuan yang diumumkan oleh digitasi rekaman suara perempuan melalui pelantang bunyi. Aku mencoba tidur dan sukses, tapi tak lama.

DSC_2232.jpg

Pramugara melintas menjajakan sarapan membangunkan naga di usus. Pilihanku? Yang sederhana dan murah. .

Selesai makan, aku gagal untuk tidur kembali. Menatap ke luar jendela, kabut masih menggulung lembah dan gunung.

IMG20180314071028.jpg

09:38

“Saya sudah di Jatinegara, mas.” Pesan WA kukirim pada penerbitku, setelah panggilan sebelumnya tak terjawab.
Panggilan kuulangi lagi lima belas menit kemudian. Hasilnya sama. Mungkin dia masih dalam perjalanan.

IMG20180314095103.jpg

Benar saja, 11 menit kemudian nada panggil gawaiku berdering.

“Anda di mana?”

“Pintu masuk stasiun CL,” jawabku.

Tak lama, kami berada di atas kereta komuter yang menuju Kemayoran. Dari stasiun Kemayoran, masing-masing membonceng ojek berbasis aplikasi online, menuju Kebon Kosong yang dekat, hanya empat ribu rupiah.

10:48

IMG20180314112427.jpg

“Bisa selesai hari ini?” Aku bertanya pada lelaki paruh baya yang dipanggil Babe sambil menatap cemas tumpukan kertas yang belum dijilid.

Bukan salah Babe. Penerbitku sore sebelumnya menghentikan proses penjilidan karena hasil printing off center.

“Kalau harus dilipat ulang manual nggak akan selesai sehari dua hari, jawabnya.”

Seharusnya selesai paling telat Senin kemarin. Kesalahan ada pada penerbitku yang lalai, tentu saja. Aku membayangkan akan pulang dengan tangan kosong. Tiket kembali sudah kubayar. Pembaca yang sudah membayar tentu kecewa.

IMG20180314130322.jpg
Babe

“Coba dijilid dulu satu,” pintaku, yang diturutinya.

Memang tak sesempurna harapanku, tapi tetap layak jual.

“Lanjut,” kataku setengah pasrah mendaras doa dalam hati, gundah. Dan proses penjilidan mulai berjalan.

DSC_2234.jpg

filigree.png

19:32

Seharian sudah aku menunggui buku baruku di penjilidan.

Di Stasiun Pasar Senen aku menunggu gerbang menuju peron tempat KA Serayu Malam akan membawaku pulang dibentang. Tak banyak yang tahu bahwa kereta ekonomi tujuan Pasar Senen - Purwokerto ini singgah di Stasiun Kiaracondong sehingga menjadi alternatif saat kehabisan tiket Argo Parahyangan, tapi harus berangkat tanpa mengambil risiko terhalang macet jalan tol Cipularang.

DSC_2236.jpg

Pelataran stasiun ramai calon penumpang yang hendak menuju ke “Jawa.” Entah mengapa, Jakarta (dan juga Jawa Barat) bukan bagian dari Jawa meski terletak di pulau Jawa.

Kerikil-kerikil kecil membuat peluncuran kedua buku terbaruku mundur dari jadwal yang telah ditetapkan.

Tapi ada yang lebih patut untuk direnungkan.

DSC_2245.jpg

Biasanya, siang malam Kebon Kosong tak pernah terhenti dari kesibukan cetak-mencetak. Kendaraan dan manusia lalu lalang memacetkan jalan.

Namun, belakangan ini sepi. Aku bebas melenggang seakan wilayah sini bukan DKI.

Bahkan ada percetakan yang ingin ganti usaha. Buka warung kopi, misalnya. Iklan 'Dicari Operator Mesin Cetak' tetap ada, tapi seperti basa-basi biasa.

Perbincangan tak jauh tentang sepinya order dan lesunya bisnis penerbitan hingga menyasar kandasnya harian Bernas, Yogyakarta.

DSC_2253.jpg

Aku teringat lagi, meski diobral murah, buku-buku karya para pujangga ternama masih saja tergeletak berdebu di rak-rak toko buku.

Apakah era Gutenberg telah berlalu, disapu badai disruptive technology? Benarkah para kutubuku lebih memilih layar sentuh daripada aroma kertas dan tinta?

Pukul 20:00 pintu masuk menuju peron dibuka. Antrean segera mengular di dua meja pemeriksaan tiket.
Beli tiket boleh online dalam hitungan detik saja, tapi dari pintu masuk hingga ke kursi penumpang yang berjarak seratus meter butuh waktu setengah jam.

Perjalanan pulang masih panjang. Masih empat jam lagi aku baru bisa merebahkan kepala ke atas bantal di tempat tidurku yang nyaman.

DSC_2257.jpg

 
Bandung, 16 Maret 2018

All photographs © Ikhwanul Halim (@ayahkasih)

Sort:  

Saya sedang menuntaskan dulu buku Bobo Pengantar Dongeng dan 2045... Sambil ketawa ketiwi dan mikir... Sukses terus bang! Semangat! Abang penuh inspirasi yang berguna dan bermanfaat bagi semua! Salam hangat...

Waduh...saya juga pengen baca Teh @mariska.lubis ....hahaha

Hatur nuhun, teh @mariska.lubis. Semoga suka 😊

Sukses untuk buku barunya Bang @ayahkasih.
Semoga kelak bisa bersua yah, dan saya bisa mmbaca karya Abang.

Hatur nuhun, teh @ettydiallova. Rencana mudik kapan? 😁

Salam haneut

Semoga saya bisa mengikuti jejak2 penulis seperti ini, Amiin.

Pasti bisa! 😊👍

Masih dibutuhkan perjuangan dan kesabaran. Sukses senantiasa bang.....

Betul betul betul. Terima kasih, bang @imansembada 😊

Semoga sukses dengan bukunya :)

Ntar saya juga mau dong buku-buku dongengnya. Buat pengantar tidur anak saya...hehehe

Hahaha...undangan makan-makan dulu selamatan lahiran 😁

Nanti pasti saya undang. Saya buat postingannya...haha

sukses dengan buku barunya. Bila ada harga percetakan yang bersahabat dan kualitas bagus, bisa kabari saya, ya.

Selamat buat kelahiran bukunya kang. 😜😜

Terima kasih, yuk @puanswarnabhumi 😊

wah bang @ayahkasih di jakarta gak ngabari. harusnya kita bisa ngopi-ngopi dan ngobrol di TIM

Lakee meuah, bang @musismail. Siuroe abeh watee duek bak Kebon Kosong, hanjeut meujak bak TIM. 😅

Saleum

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63179.13
ETH 2573.33
USDT 1.00
SBD 2.72