Semua dibawa Oleh Gelombang
Malam itu wajahnya seperti tentara yang baru pulang dari medan perang. Goresan lelah tak bisa ia sembunyikan. Sebuah Senter Kepala masih menyela di kepalanya. Jarum pendek di layar HP saya menunjukkan angka 11. Keringat ditubuh saya bercucuran ketika tiba ditempatnya mencari nafkah, setelah 2 kilometer mendorong sepedamotor yang bocor. “Pakon, bocor ban nyeuh? (kenapa, bocor ban ya?)”
Dia menyambut saya yang masih mengatur nafas karena kelelahan.
“Nyeuh pak. (iya pak)”
“Oma.. naksue lon thop nyoe. Kiban nyan? Ka jula tat sebab. (Aduh, saya mau tutup ini. Bagaimana tuh? Sudah tengah malam soalnya”
“Neubantu lon siat pak. Lon woe jioh nyoe pak. (Bantu saya dong pak. Saya pulang jauh ini pak,” kata saya sedikit memelas. Berharap dia luluh.
Saya malam itu baru keluar dari warungkopi di kawasan Lampineung. Di parkiran, mata saya terbelalak mendapati ban depan sepedamotor yang kempes. Sial. Malam-malam begini setelah lelah beraktifitas seharian saya harus mendorong pula sepedamotor sendirian.
Rasa kesal bercampur pasrah saya simpan dalam-dalam. Tak ada pilihan lain. Saya harus mendorong motor mencari tempat tambal ban yang masih buka. Di sepanjang jalan saya tak menemukan satu batang hidung pun penambal ban. Saya terus mendorong sepedamotor sampai di dekat gapura gampong Lampriet, persis di depan Hotel Mekkah Banda Aceh, seorang laki-laki tua menumbuhkan kembali harapan saya yang mulai pasrah.
“Ka keuh lah. Neutulak laju keunoe Honda. Bah ta peugot laju (Ya sudahlah.. dorong terus kemari Honda. Biar kita buat terus,” katanya luluh.
Dia kembali mengeluarkan alat penambal ban yang telah dikemas di dalam tong persegi empat yang terbuat dari kayu. Lem, gunting, karet penambal ban, dan alat-alat lain yang saya tidak tahu apa namanya.
Saya senang bukan kepalang. Akhirnya ban motor saya mau dia tambal. Sejenak saya merasa lega.
Namanya Zulkarnain, laki-laki itu sudah bekerja menambal ban motor sejak empat tahun yang lalu. Sebelumnya, masa mudanya dihabiskan bekerja sebagai sopir angkutan umum DAMRI di Banda Aceh dengan status pekerja kontrak. Hingga pada suatu hari, tanggal 26 Desember 2004 pagi, kehidupan Zulkarnain yang sudah susah payah dibangunnya roboh tanpa bisa ia kendalikan. Gempa 8,9 skala richter dan disertai gelombang laut besar itu tak hanya memporak-porandakan rumahnya, menarik nyawa seorang anaknya, namun juga turut pula menghilangkan pekerjaannya.
“Wate nyan, rasa jih seuteungoh hudep lon matee. (Waktu itu, rasanya setengah hidup saya mati).”
Ketika musibah besar itu datang, Zulkarnain bersama keluarganya tinggal di Lampulo. Tiga tahun sebelum tsunami terjadi, Istrinya meninggal dan jasadnya dikebumikan di kampung tersebut.
Dahulu, masa kerajaan Aceh Darussalam masih berjaya di bawah pimpinan sultan-sultannya, terlebih dimasa sultan Iskandar Muda, Lampulo menjadi kawasan yang ramai oleh aktifitas perdagangan dan pusat kegiatan kerajaan. Letaknya dibibir pantai dan menghadap ke Selat Malaka membuat Lampulo berdenyut sangat cepat. Orang-orang mendirikan pemukiman di sana. Saudagar dan pelaut dari berbagai penjuru negeri singgah.
Seiring berjalannya waktu hingga tsunami datang, Lampulo adalah salahsatu pemukiman nelayan di Banda Aceh. Letak perkampungan yang berada di pinggiran Krueng [sungai] Aceh membuat nelayan bisa dengan mudah menyandarkan kapal tak jauh dari rumah mereka. Kini setelah belasan tahun tsunami berlalu, wajah Lampulo telah berubah. Rumah-rumah berdiri makin padat. Namun penghuninya masih tetap didominasi orang-orang yang menggantungkan hidup dari laut. Menjadi nelayan.
Jejak-jejak tsunami kental terlihat di kampung itu. Persisnya pada sebuah kapal nelayan yang berada di atas rumah seorang penduduk. Sengaja tak dipindahkan. Pemerintah kota Banda Aceh dan warga di sana secara kolaboratif menjadikan kapal di atas rumah tersebut sebagai tempat wisata. Merawat ingatan masyarakat Aceh bahwa pada 26 Desember 2004 lalu daerah ini pernah ditimpa musibah maha dashyat di abad 21.
Saya merebahkan pantat di atas batu panjang yang disulap Zulkarnain jadi tempat duduk. Bentuknya mirip batu pembatas median jalan. Angin malam membelai wajah saya yang sedang memperhatikannya bekerja. Sembari membuang waktu, saya mengajaknya berbicara. Zulkarnain berbicara sambil terus bekerja. Dan saya hanya sibuk mengganggunnya dengan banyak pertanyaan.
Tapi tampaknya dia tak merasa terganggu. Kami berbicara dalam bahasa Aceh.
“Oh... jadi jinoe ka tinggai di Lambaro Skep teuma nyeuh pak. Sewa inan? (Oh... jadi sekarang sudah tinggal di Lambaro Skep pula ya pak. Sewa disitu?)”
“Nyeuh. Hana sanggop leh ta peudong rumoh, (Iya, tak sanggup lagi mendirikan rumah),” jawabnya lirih. Tanganya yang dibalut kulit yang tampak keriput itu masih cekatan membuka ban dalam sepedamotor saya yang bocor. Di wajahnya, bekas oli dan debu jalanan terlihat belepotan.
“Ngon soe tinggai, pak? (Dengan siapa tinggalnya, pak?)”
“Na dua droe Aneuk. Sidroe nyang inong ka meukawen. Sidroe teuk agam, gohlom. (Ada dua orang anak. Satu yang perempuan sudah menikah. Satu lagi laki-laki, belum)”
“Nyang bapak peugah keunong tsunami bunoe aneuk numboi padum? (Yang bapak bilang kena tsunami tadi anak nomor berapa?”
“Aneuk keu lhee. Inong. Mungken meunyoe na umue mantong, seumue lagee gata. (anak ketiga. Perempuan. Mungkin kalau masih ada umurnya, seumuran dengan kamu)” jawabnya getir.
“Jadi aneuk nyang phon dipat jinoe, pak? (jadi anak yang pertama sekarang di mana, pak?)”
“Diba lakoe jih. Di gampong tinggai jinoe. (Dibawa suaminya. Di kampung tinggalnya sekarang)”
Suami dari anak pertamanya itu berasal dari kampung yang sama dengan Zulkarnain, Lamteuba. Sebuah kampung di kabupaten Aceh Besar yang berjarak 48 kilometer dari Banda Aceh. Lamteuba kampung yang asri. Tanah di sana cukup subur untuk bertani. Tapi nama Lamteuba sedikit tercoreng. Daerah ini sering masuk pemberitaan media karena ulah segelintir orang yang memanfaatkan tanah suburnya dengan menanam ganja.
“Kiban hana dipula bak nyan, jinoe mita keurija laen cukop payah. (Gimana nggak ditanam tanaman itu, sekarang mencari pekerjaan lain cukup payah)” Ujar Zulkarnain, menanggapi pertanyaan saya perihal kampung halamannya yang tercoreng sebab kehadiran tanaman ganja itu.
Selain tsunami dan bekas daerah konflik, nama Aceh melambung terkenal karena tanaman ganja yang berasal dari daerah Serambi Mekkah ini sangat digerimari di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Ini kabar tak sedap memang, namun begitulah kenyataannya. Ganja Aceh menyebar keseluruh daerah di nusantara hingga sampai ke mancanegara.
Sekalipun sering terendus oleh pihak polisi akan tetapi pengedar ganja seperti tak pernah ada kapoknya. Mereka seperti jamur dimusim penghujan. Cepat sekali tumbuhnya. Jaringan pengedar barang haram ini pun tersusun amat rapi. Sudah menjadi rahasia umum pelakunya mulai dari penegak hukum yang semestinya membasmi sampai ke masyarakat kelas bawah.
Di Aceh ganja bukanlah tanaman yang baru. Kehadirannya sudah cukup lama dan konon dibawa penjajah Belanda. Dulu ganja, terutama bijinya, oleh masyarakat Aceh dijadikan sebagai bumbu dapur. Biji tersebut digiling halus dengan campuran rempah-rempah yang lain. Kegunaannya mengempukkan masakan yang berdaging. Tapi entah bagaimana resep mengempukkan daging dengan biji ganja itu didapatkan oleh masyarakat Aceh. Saya belum menemukan jawabannya.
Daun ganja mulai dikonsumsi layaknya rokok konon juga pertama kali dilakukan oleh orang-orang Belanda itu. Masyarakat Aceh menirunya. Hingga sampai sekarang menanam batang ganja dipilih sebagai pekerjaan. Dan di Lamteuba, kampung halaman Zulkarnain itu, menjadi salahsatu daerah yang terkenal sebagai pemasok ganja terbesar di Aceh.
Namun dipenghujung tahun 2017 lalu, Lamteuba ingin berbenah. Wajahnya yang selama ini tercoreng ingin dibersihkan. Lewat kedatangan kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso, dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, disambut masyarakat Lamteuba dengan membuat sebuah kesepakatan. Masyarakat tak akan menanam ganja lagi asal pemerintah mau membantu mereka dengan bibit tanaman produktif.
“Tolong berhenti tanam ganja. Apapun tanaman akan diberikan Kementerian Pertanian gratis," janji Andi waktu itu. Masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Semua bertepuk tangan. Angin segar terciptannya wajah baru Lamteuba akan segera tiba.
Rasa penasaran saya pada sosok ini sangat besar. Terlebih karena dia orang yang ramah. Saya mencoba mengais-ngais cerita tentang masa mudanya.
“Na tom neupula ganja di gampong, pak? (Pernah nggak menanam ganja di kampung, pak?)” goda saya memberanikan diri. Namun dalam hati saya merasa was-was dia akan tersinggung.
“Hantom tanyoe nyang model-model lagee nyan (Nggak pernah kita yang model-model begitu)” jawabnya sembari tersenyum. Tampak hanya satu dua giginya yang masih utuh. Selebihnya sudah copot dimakan usia.
“Hahaha... di gampong droneuh terkenal tat bak nyan pak. Maka jih lon tanyong (hahaha... di kampung bapak terkenal sekali tanaman itu pak. makanya saya tanya)”
“Brat memang terkenal gampong lon nyan (Berat memang terkenal kampung saya itu)”
Kami berdua sontak tergelak. Agak panjang. Kendaraan yang melintasi di jalan tak kami hiraukan.
“Awai meurunoe meu moto dipat, pak? (awal belajar bawa mobil di mana, pak?)”
“Phon seugohlom meu DAMRI, lon ba moto L-300 u Medan. Na ngeon nyang peurunoeh awai (sebelum bawa DAMRI, saya bawa mobil L-300 ke Medan. Ada kawan dulu yang ngajari saya bawah mobil).
“Oh... meunan. Tapi sehat tat bapak mantong deuh jinoe nyeuh” (Oh... seperti itu. Tapi sehat sekali bapak nampaknya masih sekarang ya)” puji saya mengubah topik pemibicaraan.
“Alhamdulillah. Mantong dibri sehat (Alhamdulillah. Masih diberi kesehatan)”
“Padum ka umue droneuh pak? (berapa sudah umurnya pak?)”
“Nam ploh lhee. Tapi alhamdulillah, meumbaca hana payah pake kacamata. Meu honda pih mantong jeut. Nyang han ta tejeut meu jinoe moto. Sebab ka hana leh (Enam puluh tiga. Tapi alhamdulillah membaca tidak perlu pakai kacamata. Bawa honda [sepedamotor] pun masih bisa. Yang nggak bisa kita bawa sekarang mobil. Sebab nggak punya lagi mobil)” jawabnya tergelak.
Dahulu Zulkarnain punya mobil L-300. Kalau di Aceh mobil jenis ini lazimnya digunakan sebagai mobil penumpang. Mobil itu dibelinya dengan uang simpanan gaji sebagai sopir DAMRI. Krisis moneter tahun 1997 ikut menghantam sendi kehidupannya. Dia terpaksa membuka celengan dan memutar uang itu untuk sanggup membeli barang kebutuhan hidup yang kian melambung tinggi.
Mengandalkan gaji dari menjadi sopir DAMRI dengan menghidupi seorang istri dan empat anak, payah untuk dikatakan cukup. Terlebih dikondisi negara yang sedang diterpa badai moneter. Dia akhirnya memutuskan membeli mobil L-300 di penghujung tahun 1999. Mobil itu dibawa oleh orang lain dan Zulkarnain bertindak sebagai toke-nya.
Namun seperti kata pepatah, mujur tak dapat diraih malang tak dapat di tolak, belum berapa lama badai moneter berlalu dan usaha mobil L-300 itu sedang merangkak berkembang, tiba-tiba gempa berkekuatan dahsyat dan disertai gelombang tsunami datang meruntuhkan pondasi hidupnya.
“Mamdum dimeu leh geulumbang (Semua dibawa oleh gelombang).”
Saya terdiam. Mengusuk-ngusuk tangan yang dingin ditusuk angin malam. Hati saya berguncang. Mendengar tutur Zukarnain itu membuat ingatan saya terlempar pada ayah di kampung. Saya tiba-tiba rindu pada beliau.
Entah mengapa seiring bertambah dewasa umur ini, saya semakin tak bisa memperlihatkan rasa sayang saya kepada ayah. Akhir-akhir ini jarang sekali sudah kami berbicara. Saya segan berada didekatnya. Rasanya seperti ada tembok canggung yang tinggi menghalangi kami. Pada titik ini saya benar-benar tak ingin tumbuh dewasa.
Pukul 23:45. Zulkarnain menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. “Kaleuh nyoe (sudah siap),” katanya memecahkan lamunan saya. lalu saya bangun dari tempat duduk dan mendekat kepadanya.
“Padum pak? (berapa pak)”
“Siploh ribee sagai (sepuluh ribu saja)”
“Nyoe pak. Teurimong geunaseh beurayek tat beuh. (Ini pak. Terima kasih banyak ya pak)” kata saya sambil menyodorkan uang 20 ribu rupiah.
“Hai... keupeuh leh tat. (hai... untuk apa banyak sekali ini)” timpalnya.
“Hana peu pak. Nyan ka reuseuki bapak (nggak apa-apa pak. Itu sudah menjadi rezeki bapak)”
Malam itu kalau saja di dompet saya ada uang seratus ribu saya tak akan pikir panjang memberikan kepadanya. Tapi dompet saya lagi kosong. Hanya lembaran 20 ribu itulah kekayaan saya malam itu. Dan semuanya saya berikan kepadanya. Saya tak peduli besok pagi bagaimana dengan diri saya yang tak memiliki uang sepeser pun. Benar-benar tak peduli.
Laki-laki tua yang berjiwa tangguh itu telah mengetuk hati saya terlalu dalam. Saya merasa kasihan sekaligus bangga mendapat pelajaran berharga tentang kehidupan dari Zulkarnain. Api semangat tak pernah padam dalam dirinya walaupun saat ini umurnya hanya lebih pantas duduk di rumah sambil bermain dengan cucu. Dan sesekali keluar menghirup udara pagi yang segar di halaman. Begitulah masa tua yang diidam-idamkan semua orang, bukan?
“Lon han’ek lage nyan. Keupeu meunyoe tanyoe mantong sanggop (Saya tak mau begitu. Untuk apa kalau kita masih sanggup)” ujarnya ketika saya tanya kenapa dia masih saja mau bekerja di usia yang semakin senja.
Saya pamit dan mengucapkan terima kasih pada Zulkarnain. Sepanjang jalan pulang ke rumah saya teringat dengan tulisan Pada Sebuah Panti karya Rusdi Mathari yang bercerita tentang hari tua orang-orang yang tersisih di panti jompo dan jauh dari kehangatan keluarga. Saya membayangkan ayah. Mengingat-ingat masa tua seperti apa yang akan dihadapinya kelak. Apakah dia akan bahagia di hari tuanya? Atau malah sebaliknya akan terus bekerja seperti Zulkarnain? Bisakah nanti kami anak-anaknya mampu memberikan sedikit saja kebahagiaan pada ayah? Tiba-tiba ada air yang tidak bisa saya bendung keluar dari dua kelopak mata ini.
nyeu bocor lom, neuhubungi lon bang. Bek hek that neutulak honda. hehehe
haha... get Habil. Pajan ta meukupi sigoe? sambilan neu peurunoe lon me'en Steemit nyoe. :)
Heheeh. Nteuk malam di Dekmi kiban bang? Nyeu soal Steemit, lon kureung muphom sit bang.
get habil. WA mantong beuh.
Cerita yang sangat mengharukan alfat. Cik pande mengolah kata, hebat anak muda.
mantang balajar-balajar, bang. :)
Mau bergabung di nsc (nanggroe steemit community)? Inbox abang di fb
Jadi bang. Oke.
Nice story
Terima kasih sudah berkenan membaca.
Congratulations @alfathasmunda! You received a personal award!
Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!
Click here to view your Board