Maaf Malam, Gelapmu ternyata Indah, Terimakasih Kelam.
Pagi ini, aku terjaga lebih awal dengan tilas wudhu' yang mengering sebelum shubuh masuk waktu. Gemetar tubuhku menanggalkan lebih awal mimpi semalam, namun tidak sekalian dengan kegelapan semalam. Kegelapan semalam telah menjadi teman dan terus hinggap berlanjut sampai kini. Sunyi, sepi...
Kesepian membunga di diri, kata orang. Bagiku, sepi bukan seperti bunga, krna ia menumbuh dimana-mana namun tak dapat menghiasi. Mungkin tepatnya laksana cendawan yang menjadi parasit untuk diri, Sebab seberapa keras pun aku berteriak memanggil terang, ia tak kunjung datang. Terhalang gelap yang sudah berteman pada masa lalu, masalah baru, serta sisa-sisa kesal kemarin.
Pagi bersinar tegas, namun langitku masih temaram. Kunyalakan motor untuk pergi mencari arah, namun berakhir tanpa arah. Kini perjalanan sudah jauh ku lucuti, waktu telah banyak ku bunuh, dan langit telah ku peras sampai menjadi sore untuk sengaja kucuri senjanya. Kepada senja ku berbisik "hei aku suka sepiamu sepiku jadi sedikit terobati, apa sepiamu dapat menghapus sepiku?". Lalu senja menarik sepianya, menggantinya dengan gelap, malam, sepi... Lagi...
Sepanjang jalan ku coba mencari cara untuk menghabisi sisa fikirku yang suntuk kemarin malam. Sampai setibanya di rumah, Ibu menyambutku dengan ajakan sholat bersama, selepas do'a ibu berikan kepadaku sebuah nasihat katanya. "Kau peras saja keringat ibu nak untuk menyirami cendawan sepimu". Ia ternyata tau redupku, ia tau cemasku, bahkan ia tau tangisan hatiku yang kutebar pada jalan yang riuh, tau sepi yg kubagikan pada waktu, tau aku salah berkendara untuk mencari arah, yang seharusnya do'a adalah kendaraannya.
Bilangan teman hari ini bersua denganku, berjumlah orang telah bertutur sapa denganku, aku kira aku berhasil untuk berpura bahagia hari ini, Tapi ibu menggagalkan akal-akalan semuku, Ibu memang sensor peka terbaik. Ingat nak, katanya. cendawan tak selamanya parasit, gelap pun tak selamanya sepi. Persepsimu terhadap masa lalu harus kau ubah, ntah itu perihal persahabatan, kesibukan, dendam, kisah, atau...
kasih?
Simpan saja sepimu pada senyum ibu nak, setelah itu akan kugantikan dengan dua mantra panawar kegelapan. Ia tidak bisa mengubah gelapmu, namun setidaknya ia bsa menjadi penawar. Apa? kataku, maaf dan terimakasih kata ibu. Maafkanlah segala hal yg telah membuat gaduh fikiranmu maka awan gelap akan hilang dari langitmu, dan terimakasihlah atas segalanya maka bintang yang bersinar indah akan terlihat menghiasi langitmu.
Langitku yang temaram seketika bertiup kencang, awan sepi perlahan menghilang, dan aku melihat sesuatu, apa itu? Bintang... Indah... Senyum yang sudah lama hilang kini membunga kembali di bibirku lantaran takjub akan keindahannya. Ini tanda bahwa aku telah berdamai dengan kegaduhan sepi. Lalu gelap? Aku kini menyukainya sama seperti senja. Disisi lain, gelap ternyata membawa sejuta makna keindahan. Aku termenung menatap indahnya bintang di kegelapan, Angin disekitarku berhembus lembut kearahku, seraya menyiratkan pesan dari kelam. Tanpa kegelapan, mana mungkin bintang terlihat, tanpa duka, mana mungkin bahagia terasa. Tanpa malam, mana mungkin bintang dapat bersinar, tanpa musibah, mana mungkin hikmah tuhan dapat terasa. Begitu pesan kelam. Bu, aku kini telah berdamai dgn kelamku. Dalam gelapku kini aku melihat secercah cahaya harapan, untuk bahagia.
Kepadamu bu,
Aku terimakasih.
Kepada maaf,
Terimakasih.
Kepada terima kasih,
Maaf belum sempat membalas kasih.
Kepada kasih,
Maaf atas hal yang kau tak terima.
Tamora diujung pena~