Jurnalis “Aneh”
Jurnalis tak jauh seperti seniman. Sulit diatur, merasa dirinya paling hebat sejagat. Tampilannya kadang nyeleneh, muncul di mana saja dan sesukanya. Baju kadang seadanya, dekil dan kadang bisa tampil berdasi bila diperlukan situasi.
Demo solidaritas jurnalis di Banda Aceh [dok. pribadi]
Suatu saat dia bisa beriringan dengan Gubernur bahkan Presiden sekalipun. Kali lain dia seperti pengemis di sudut kota, atau pemulung di tempat sampah. Berdebat adalah kesukaannya. Diatur susah setengah mampus, salah-salah yang mengatur dicap oportunis, diktator, kolot dan tak ikuti jaman.
Itu tak hanya berlaku pada orang yang berada di luar profesinya, bahkan ‘komandan’ dari garda yang sama pun dilanggar perintahnya. Tak berani depan, main belakang. Itulah lakon umum jurnalis. Mungkin saja saya salah, hanya pengalaman pribadi. Atau jurnalis jaman “now” yang mungkin sudah berbeda gayanya.
Kesulitan itu merangkak pasti pada setiap inci perjalanan karirnya. Ini profesi yang tak bisa dipecat. Menulis jagoannya, apa saja. Jika punya kantor dan kemudian dipecat atau tak pas lagi bekerja di sana, dia akan mudah saja keluar dan mencari tempat lain. Susah biasa, tak dihiraukan.
Tak ada media yang menampung mereka, bisa saja menorehkan keahliannya di media sosial. Semisal #steemit yang juga bisa menghasilkan uang. Sulit mengatur mereka, bahkan oleh seniornya yang telah tanggal gigi dimakan zaman. Entah apa yang dicari, bahkan semua dianggap aktualisasi diri.
Abraham Maslow (1908 – 1970), pelopor aliran psikologi humanistik pernah menyampaikan teorinya yang terkenal dengan Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Dalam teori itu, aktualisasi diri disebut sebagai kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya. Anehnya, kebutuhan itu berada di urutan buncit, alias tak terlalu krusial.
Awalnya, secara beraturan dalam teori itu ada kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan dan keselamatan, kebutuhan sosial dan kebutuhan penghargaan. Terakhir, aktualisasi diri yang sama sekali berbeda dengan keempat kebutuhan lainnya, yang secara logika mudah dimengerti. Tapi mengapa setelah seseorang mencari pengakuan, mencari penghormatan lalu mencari jati diri? Mengapa? Dan bagaimana prosesnya?
Bahkan teori Maslow tidak bisa menjawab, mengapa banyak orang miskin yang bahagia. Mereka tidak terpengaruh pada uang dan kemewahan, yang mungkin sama seperti seniman dan jurnalis. Sulit dicerna.
Bisa saja, mereka beruntung dan merubah gaya kala menjadi pejabat, politisi. Sampai di titik tersebut, mereka punya lakon lain lagi. Atau mungkin tetap ‘aneh’. Sekali lagi, mungkin saja saya salah dan maafkanlah. []
@abuarkan
Adi Warsidi
Saya bangga bisa menjadi bagian dari Jurnalis Aneh yang @abuarkan tuliskan diatas. Saleum Gureee.
Hahhaha, saya juga
Brat aneh memang jurnaleh bang 😊
(tapi long kok ganteng that lam poto nyoe bang 😂
Ganteng lah, jurnaleh bangsa Aceh cit ganteng2 mandum
ya ya
Bereh
Makhluk aneh di dunia adalah wartawan. Karena ia punya senjata berupa pena, ia bisa menyusup ke mana saja. Ia tak mencari musuh. Tapi karena membela kebenaran, ia punya banyak musuh dan juga teman.