Nasaiy Aziz Guru Menulisku

in #ksi6 years ago (edited)


Bersalaman dengan Drs Nasaiy Aziz dan Drs Burhanuddin A Gani pascasidang munaqasyah

Rasanya tiada mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum yang tak kenal sosok Nasaiy Aziz. Pria yang sekarang lebih sering menetap di rumah pascamatanya tak mampu lagi memandang alam ini. Meski tak mampu melihat, ia masih menyimpan semangat tinggi untuk menjadi seorang guru yang berguna bagi bangsa dan agama.

Sejak masuk kuliah 2008 hingga 2012, saya tidak pernah mengikti mata kuliah dengan dia. Memasuki awal semester tujuh, saya mulai mengusulkan judul skripsi, dan diberikan kesempatan seminar proposal skripsi pada gelombang pertama. Akhirnya, SK pembimbing skripsi yang kerap menjadi dambaan mahasiswa diterbitkan oleh pihak akademik.

Dalam secabik kertas itu tertulis Drs Nasaiy Aziz MA sebagai pembimbing pertama. Dan Faisal S.TH M.Ag sebagai pembimbing kedua.

Kala itu saya tak mengenalnya. Dan berupaya mencari tau kriteria sang dosen bersangkutan. Sebab, bagi mahasiswa mengetahui pribadi dosen sangatlah penting, guna memperlancar proses bimbingan skripsi. Tak jarang mahasiswa merasa sungkan, bahkan takut dengan dosen tertentu, karena akan mempersulit rampungnya skripsi, yang akhirnya gagal wisuda.

Setelah mengenal sosok Nasaiy Aziz, barulah proses bimbingan skripsi berjalan. Tentu mahasiswa yang pernah dibimbing oleh dirinya sangat paham teknis bimbingan yang dilakukannya.

Dominannya, mahasiswa harus mendatangi rumah Pak Nasaiy untuk proses bimbingan. Sebab dengan kendala penglihatan yang mulai gelap, bahkan tak nampak sama sekali, beliau jarang ke kampus kecuali ada jam mengajar dan agenda penting.

Tiap kali ingin membimbing skripsi, saya harus menelponnya, minimal mengirim pesan singkat bahwa saya akan ke rumah. Meskipun tak bisa lagi melihat, Nasaiy Aziz mampu membaca setiap pesan yang masuk ke handphone-nya. Hebatnya, dengan kondisi seperti itu, ia sedang menempuh pendidikan S3 di Jakarta. Saya merasa malu, dengan kondisi fisik yang masih sempurna, tapi seakan ingin mengakhiri pendidikan sebatas S1.

Memang, di ruang tamu rumahnya tersedia meja khusus dan kursi. Saya menduga ia sengaja meletakkan meja bak kantor itu untuk membimbing mahasiswa.

Cara beliau membimbing skripsi sangat berbeda dengan dosen lain. Biasanya dosen yang ditunjuk sebagai pembimbing hanya menerima naskah skripsi, lalu dibaca kapan ada waktu luang, bahkan ada pembimbing yang membawa pulang draf skripsi setelah mahasiswa menyerahkannya. Kadang ada pembimbing yang lupa memeriksa tulisan mahasiswa hingga berminggu-minggu.

Tidak jarang pula, saat membaca naskah, dosen mencoret yang tidak perlu, mengkolomkan paragraf yang semestinya diletakkan di bagian awal, atau tata penulisan yang salah, mulai dari penggunaan kata hingga tanda baca dalam paragraf dan footnote.

Usai pemeriksaan, naskah dikembalikan pada mahasiswa agar dilakukan revisi. Kadang tanpa memberi penjelasan apa maksud coretan-coretan dilembaran skripsi itu. Bila tidak dijelaskan, bukan tak mungkin mahasiswa pening sendiri melihat coretan yang terkesan tak punya maksud apa pun.

Nah, berbeda dengan Nasaiy Aziz, ia membimbing mahasiswa secara langsung di depannya. Bahkan melebihi jam kerja ia membimbing satu mahasiswa. Caranya dengan meminta mahasiswa untuk membaca setiap kata dalam naskah skripsi. Saya selalu diminta untuk membaca naskah mulai dari halaman judul, hingga pada riwayat penulis jika skripsi telah rampung. Skripsi saya memiliki 80 halaman, dengan jumlah kata mencapai 20.000 lebih. Artinya, saya harus membaca semua kata-kata tersebut di hadapan pembimbing, tanpa ada yang ketinggalan. Baik tanda koma, titik, tanda seru, dan lainnya.

Enaknya, setiap ada kata yang tidak cocok, seperti menganggu maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, atau ada beberapa kata yang sama dalam satu paragraf, maka Nasaiy Aziz langsung meminta saya unuk menghapus, dan menggantikan dengan bahasa yang lebih tepat serta pilihan kata yang bervariasi. Bila belum dilakukan perbaikan, beliau tak mengizinkan saya untuk membaca paragraf berikutnya. Hal ini saya lakukan hingga skripsi benar-benar bisa diuji.

Sesekali saya menatap wajah sang guru. Terlihat keseriusan dari riak wajahnya. Ada sejuta keikhlasan terpancar dari batinnya untuk membimbing mahasiswa. Ketika ada kejanggalan dalam tulisan, ia teresenyum. Saya menikmati senyumnya yang khas, sambil mendengar pencerehan untuk perbaikan teks. Kondisi inilah yang mengasah nalar saya agar peka terhadap karya ilmiah.

Saya kerap memperhatikan kulit wajahnya yang kian keriput. Bola matanya tertuju pada satu arah, pastinya bukan ke arah saya yang jelas duduk berhadapan dengannya. Telinga sebagai andalan untuk memahami isi naskah skripsi, ia pergunakan sebaiknya.

Ia sangat perhatian pada referensi yang digunakan oleh mahasiswa dalam karya mereka. Konon, Nasaiy Aziz sangat menghafal kitab dan buku penting sebagai referensi mahasiswa syariah. Menakjubkan, banginya penulisan footnote tidak boleh keliru. Tetapi sedikit kekurangannya, ia tak tahu “Panduan Penulisan Skripsi dan Karya Ilmiah” terbaru, yang hampir setiap tahun berbeda teknisnya. Teknis yang masih teringat dipikirannya adalah panduan yang ia buat saat menjadi Pembantu Dekan periode sebelumnya.

Ketika jadwal bimbing selesai, kami berbincang sejenak tentang asal usul. Ia sangat ingin menatap wajahku, saya merasakan keingin itu ada setiap kali pertemuan. Pernah ia bertanya; kira-kira bagaimana bentuk wajahmu?

Dari pertanyaan itu, saya memahami bahwa ia ingin menatapku sebagaimana lumrah seorang guru bisa menatap dan mengenal muridnya. Saya tak bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan ini. Meski wajah tak dikenal, ia punya cara sendiri untuk mengenal saya, yakni lewat suara khas. Setiap kali saya menghubunginya melalui ponsel, ia pasti mengenal suaraku. Ini kelebihan yang ada padanya. Ia terbilang dosen yang cukup akrap dan perhatian pada anak didiknya. Saat hari sidang skripsi, saya menjemputnya di rumah sebagai penguji dalam sidang akhir karya ilmiah. Dengan kereta butut sederhana saya bonceng sang dosen menuju ke kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sabang (STIES).

Sampai saat ini silaturrahmi kami masih terjaga. Kala ada waktu luang saya datangi rumahnya. Dan sering membantu di rumah saat ada acara semacam pesta putra-putrinya. Tiap ke rumah, ia selalu bertanya, “Amir mau didoain apa?”

Jawaban saya sederhana, “Doakan saya bahagia di dunia dan akhirat”. Bagi saya, ini adalah perhatian yang harus ada pada seorang guru, dan senantiasa mendoakan muridnya. Tidak jarang Pak Nasaiy Aziz memotivasi saya untuk melanjutkan pendidikan ke pascasarjana. Serta memberikan lampu hijau, kalau S2 sudah selesai akan dijadikan asistennya.

Atas dasar didikan skripsi ini, kerangka sebuah karya ilmiah sangat melekat di pikiran saya. Selanjutnya saya berupaya merangkai kata-kata hingga membentuk sebuah karya tulis sederhana. Tak lama setelah wisuda, pada awal 2013 tulisan pertama saya mendapat sambutan baik dari Serambi Indonesia. Sejak saat itu, dunia literasi saya mendapat rangsangan positif hingga menghasilkan artikel berikutnya. Kala itu saya menjadi langganan artikel setiap bulannya di Serambi Indonesia. Beberapa artikel pula dimuat pada media online serta Majalah Suara Darussalam. Juga memperoleh penghargaan lomba esai yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute. Terakhir menang dalam lomba menulis cerpen tingkat nasional, yang kini cerpen pemenang telah dibukukan, dengan judul “Sepenggal Cerita di Lorong Pesantren”.

Kini sedang merampungkan beberapa naskah novel dan buku lainnya, sambil menyibukkan diri dengan Forum Aceh Menulis dan Forum Lingkar Pena Banda Aceh. Pesan akhir penulis, ilmu bukan hanya didapatkan karena dicari, tetapi juga karena rasa hormat pada guru.

Banda Aceh
Abu Teuming

Sort:  

Luar biasa sekali Pak Nasaiy tersebut, mata beliau kenapakah? karena katarak atau apa? terenyuh hati Ihan membacanya.

Matanya tak nampak melihat. Tapi tak ada katarak. Dalam kepalanya ada selang.

Pesan pada paragraf terakhir begitu mengena. Rasa takzim kita pada guru akan menjadi keberkahan ilmu kita

Salam kenal @abu.teuming

Salam kenal kembali @dwiitavita