Mengenal Kesenian Ketoprak Dor di Sumatra Utara

in #ketoprak6 years ago (edited)

Suyadi San

Screenshot_20180326_160516.png
Ketoprak dor merupakan salah satu kesenian teater yang hidup dan berkembang di wilayah Sumatra Timur (sekarang Sumatra Utara). Kesenian tersebut diperkirakan telah ada sejak sekitar tahun 1930-an dengan wilayah persebaran awal di Kabupaten Simalungun, Pematangsiantar, Sumatra Utara.

Kemunculan ketoprak dor bermula dari dikirimnya orang-orang Jawa oleh VOC sebagai kuli kontrak perkebunan teh di Sumatra. Transmigrasi besar-besaran yang dilakukan secara tidak langsung membentuk suatu lapisan masyarakat baru dengan diikuti pertumbuhan sosial dan kultur masyarakat yang ada.

Pada masa itu, Medan terlapis dari tiga kelompok sosial yang berbeda, yakni : 1) Para tuan kebun, pengusaha, dan pegawai pemerintahan berbangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya; 2) Bangsawan-bangsawan Melayu, pengusaha Cina, dan orang-orang profesional Indonesia berpendidikan Barat (terutama pegawai negeri senior); dan 3) Orang-orang Melayu, Cina, dan Indonesia kebanyakan serta para perantau dari berbagai kelompok etnik termasuk Jawa, Mandailing, dan Minang.

Sebagaimana etnis lain, orang-orang Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak tersebut membentuk komunitas baru, sehingga secara tidak langsung terbentuklah perkampungan-perkampungan Jawa di sekitar perkebunan teh. Di perkampungan (pemukiman) itulah, orang-orang Jawa melakukan aktivitas Jawa-nya sebagaimana biasa mereka lakukan sebelum dikirim sebagai kuli kontrak, yang salah satunya adalah mengadakan pesta. Tujuannya sederhana, yakni untuk bersenang-senang dan melepas penat di luar rutinitas mereka sebagai kuli kontrak.

Dari diadakannya pesta inilah, muncul keinginan untuk membuat pentas ketoprak, salah satu seni pertunjukan yang biasa mereka saksikan semasa masih hidup di tanah Jawa. Hingga pada akhirnya pertunjukan ketoprak dapat diselenggarakan meski bentuk dan konstruksi sajian tidak sesuai dengan ketoprak yang berkembang di Jawa.

Keterbatasan instrumen dan properti menjadi alasan mengapa bentuk sajiannya tidak sama dengan bentuk sajian ketoprak di Jawa. Jika di Jawa ketoprak diiringi dengan ensambel gamelan, dan oleh karena di sekitar perkampungan (atau bahkan di Sumatra) pada masa itu tidak ada perangkat gamelan, maka instrumen musik yang digunakan adalah seadanya, yakni instrumen yang paling mudah didapatkan.

Salah satu instrumen musik yang digunakan adalah jedor (instrumen perkusi dari daerah setempat), yang pada akhirnya pelafalan dari bunyi jedor tersebut menjadi sebutan dari ketoprak yang disajikan yakni “dor”. Hal inilah yang disebut sebagai ketoprak dor, diambil dari bunyi anamatope “dor”.

Oleh karena masyarakat Jawa di sekitar perkebunan teh bukanlah praktisi atau pelaku seni ketoprak, maka ketoprak yang mereka sajikan hanya didasarkan atas interpretasi yang mungkin begitu terbatas atau tidak sesuai dengan konvensi yang ada di Jawa. Meski demikian, beberapa hal (aspek) pendukung di dalam pertunjukan ketoprak masih membalut ketoprak yang telah dikreasikan, antara lain : lakon atau cerita yang diangkat, bentuk dialog, dan aspek visual seperti penggunaan gerak (tarian) sebagaimana joget gendro yang biasa disajikan ketika tokoh atau pemain ketoprak di Jawa memasuki panggung (arena).

Namun dari segi artistik, bentuk ketoprak ini tampil seadanya, sehingga terkesan kedodoran. Kesan kedodoran inilah yang menjadikan bentuk ketoprak baru sehingga bernama ketoprak dor.

Seiring perkembangan, dalam kurun waktu puluhan tahun ketoprak dor tidak hanya diminati orang-orang Jawa, tetapi juga etnis lain seperti Batak, Melayu, Cina, India, dan sebagainya. Terlebih pasca-Indonesia merdeka, kala praktik kuli kontrak di perkebunan teh mulai dihapuskan, dan masyarakat Jawa yang berkumpul menjadi satu komunitas mulai menyebar di berbagai daerah.

Sebagai kesenian rakyat yang bersifat bebas dan spontan, ketoprak dor juga mengikuti perkembangan. Salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bahasa dalam dialog. Oleh karena peminat dari ketoprak dor tersebut juga berasal dari etnis lain, maka penggunaan bahasa dalam dialog-pun menyesuaikan dengan sosiokultur masyarakat setempat yakni percampuran antara bahasa Jawa, Melayu, dan Batak.

Sember cerita ketoprak dor berasal dari cerita rakyat dan carangan (karangan pengarah laku). Cerita Rakyat berupa dongeng, babad, legenda, sejarah, menak, panji, ataupun cerita dari luar diadaptasi dalam suasana Indonesia, misalnya berjudul Warso Warsi, Gendini, Panji Asmorobangun, Klana Sewandono, Ande-ande Lumut, Warok, Roro Mendut, Damarwulan, kisah Seribu Satu Malam ataupun cerita Sampek Eng Tay. Sedangkan cerita carangan bisa cerita kehidupan sehari-hari dengan tetap bersuasana Jawa, misalnya perebutan harta warisan, pasangan, dan sebagainya.

Urutan ceritanya sebagai berikut :
Pada bagian A—B (panembrana/pandembrana) : Adegan pembuka. Dimulai menyanyikan lagu (tembang) secara bersama-sama sebagai salam pembuka dan ucapan selamat datang kepada penonton, dilanjutkan prolog oleh pimpinan pertunjukan.

Antara adegan A—B disebut adegan jejer, yaitu penggambaran awal terjadi permasalahan. Berlanjut adegan pertikaian (B1), atau adegan pemunculan tokoh utama.

Cerita bisa mundur ke B dengan adanya adegan gandrung (percintaan). Biasanya tentang lakon yang dilengkapi nyanyian dan gerak tari berpasangan.

Dari B, adegan bisa kembali ke B1 dan B2 atau perselisihan kembali, lalu memuncak dengan adegan peperangan (C). Peperangan berakhir pada D sebagai antiklimaks atau peleraian.
Selanjutnya, konflik yang meruncing akan berdampak pada E atau akhir cerita.

Cerita lakon bisa terdiri banyak episode, namun kini sudah dapat dipersingkat satu sampai dua jam. Apalagi, ketoprak dor ini dipertontonkan untuk khalayak umum. Unsur cerita pokok dibumbui dengan unsur-unsur humor, farce, dan melodrama. Hal ini perlu dilakukan agar para penonton tetap betah menyaksikan pertunjukan rakyat yang telah berkembang mulai abad ke-19 tersebut.

Penyajian cerita selalu mempunyai pola yang sama atau mirip. Tampaknya hal ini menjadi penanda pola ketoprak dor. Sebelum pertunjukan, pimpinan grup menyampaikan ucapan selamat datang kepada penonton, disusul musik sampak.

Lalu adegan pertama dimulai dan terus berkembang sampai berakhir. Musik juga jadi penanda khusus keseragaman hampir semua bentuk ketoprak dor di Sumatera Utara. Pola lainnya adalah nyanyian, tarian, pantun, dan akrobat atau bela diri pencak silat pada adegan perkelahian.

Setting cerita sebagian besar dari lingkungan raja-raja atau bangsawan. Cerita selalu memiliki tujuan didaktis, mengajar, memberikan teladan kepada penontonnya. Karakter-karakter yang disuguhkan bersifat ”stock-type”, yakni harus selalu ada tokoh anak muda sebagai pahlawan, lalu tokoh pasangannya seorang gadis yang menjadi Sri Panggung atau primadona, tokoh pelawak, dan tokoh penjahat atau antagonis berupa Jin Aprit atau raksasa.

Dari segi dramaturgi, permainan di panggung dilakukan secara improvisatoris berdasarkan garis besar cerita yang telah diberitahukan sebelumnya oleh pimpinan ketoprak dor. Meskipun pimpinan ketoprak dor memberikan arah cerita, tidak menutup kemungkinan aktor mengembangkan perannya sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Pengarah lakon membebaskan pemain berimprovisasi guna menghidupi adegan demi adegan.

Screenshot_20180326_161742.png

Pertunjukan merupakan campuran dialog, nyanyian, dan tarian. Dialog yang muncul sering ditingkahi oleh bunyi-bunyian musik untuk memperkuat suasana dan karakter tokoh. Sedangkan tarian muncul pada adegan khusus pertunjukan sendratari pada beberapa adegan.

Ketoprak dor mengalami banyak perubahan tata bahasa dan kesusastraan. Bahasa yang digunakan adalah campuranberbagai macam bahasa yang meliputi bahasa Jawa Ngoko, Jawa Tengahan, Melayu, Batak, Karo, dan Indonesia bahkan bahasa Tionghoa dan India. Gejala campur kode dan alih kode di sini adalah bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa-bahasa subetnis suku Jawa itu sendiri yang mengalami perbedaan dialek maupun dengan bahasa daerah lain.

Campuran dialek bahasa Jawa terjadi misalnya antara dialek bahasa Tegal dan bahasa Surabaya dengan bahasa Jawa Tengah umumnya. Ketoprak dor juga menggunakan bahasa Jawa yang bercampur dengan bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu. Contohnya yang sering muncul adalah ungkapan "alamak jang" atau "iya pula" dalam komunikasi antara pemain yang satu dengan pemain lainnya. *

Sort:  

Waaahh harus dibaca sama kak @mariska.lubis nih

Beliau sdg penelitian ya, bang?
Trm ksh telah singgah ke mari. Saleum..

Beragam budaya daerah yang kita miliki memang perlu di leatarikan. Agar tidak punah dan hilang ditelan zaman.

Bang @suyadisan, tagnya belum pas. Coba mampir ke akun steemit bang Mus cari tulisannya tentang daftar tag. Jadi tag tulisan kita sesuaikan dengan tema tulisan kita. Tag pertama bisa bisa pakai indonesia, selebihnya cari di daftar tag, dan sesuaikan.

Baik. Trims masukannya,dinda @willyana. Abng cek.

Mungkin bisa disambung dengan 'para pelaku', bang.

Saleum

Siap! Ya, benar. Saleum, bang @ayahkasih.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.031
BTC 60623.84
ETH 2572.69
USDT 1.00
SBD 2.57