Membaca Adalah Lari dari Lara

in #indonesia6 years ago

image
(sumber gambar: encrypted-tbn0.gstatic.com)

Beberapa waktu yang lalu, aku dan Yi berdebat panjang tentang senja, dia selalu tidak sepakat dengan apa yang aku katakan. Katanya senja bukan lagi hal yang menarik, itu ia katakan setelah seminggu yang lalu membaca buku kritik sastra—jika merujuk seri buku tersebut, maka sebutan; esni atau asai seni lebih tepat—karya seorang kritikus kelahiran Flores, Dami N. Toda; Hamba-hamba Kebudayaan.

Katanya, buku itu ia dapat dari Bang Imam, seorang senior, seorang ketua, mungkin juga seorang penganut sekte sasatra tertentu, tapi yang lebih penting lagi adalah Bang Imam-lah kertikus ketiga bagi Yi, setelah pertama Emaknya. Dan yang kedua; Pak Is (@kitablempap), seorang seniman seni rupa, seorang pengamat simbol, dan yang terpenting adalah Pak Is seorang presiden Lempap dengan idiologi khas Lempapismenya. Dan aku? Yaa, nanti akan aku jelaskan. Pokoknya aku adalah bagian terpenting bagi seorang Yi.

Sebelum aku bercerita tentang perdebatan senja, aku dan Yi, mungkin ada baiknya kau membaca karya Mitch Albom; Dawai-dawai Ajaib Franky Presto, aku rasa jika kau pernah membaca novel itu seperempatnya saja, engkau akan cepat mengertahui aku siapa? Ya, aku memang agak suka dengan sesuatu yang misterius. Aku bisa mengatakan, aku bukan manusia tapi aku adalah bagian yang diambil oleh manusia. Persiskan? Oke, semoga saja kau tidak pernah membaca novel itu, sehingga aku tidak akan mudah kau tebak.

Yi adalah seorang pemuda yang tidak memiliki kekasih. Tapi bukan karena alasan seperti yang engkau bayangkan itu, tidak. Tepatnya ia tidak memiliki kekasih berwujud manusia. Memang sedikit aneh. Aku tidak tahu ia dijangkiti sejenis sindrom apa. Pernah suatu ketika ia bercerita padaku. “Aku sangat muak dengan manusia” katanya, tapi aku tidak seberapa peduli dengan itu, toh aku fikir itu hal yang biasa dilontarkan oleh pemuda yang banyak dipengaruhi sastra urban, yang isinya kekecewaan-kekecewaan.

Aku sengaja tidak bertanya mengapa, karena aku rasa itu hanya sebuah ungkapan yang tidak penting. Tanpa aku tanyakan mengapa, tapi Yi langsung memberikan alasan yang aku rasa sangat tidak tepat. Katanya, ia pernah beberapa kali, bahkan seringkali dikecewakan oleh manusia, dan itulah sebabnya ia tidak mau menjalin hubungan asmara dengan manusia. Sebuah keputusan yang belum final pernah ia lontarkan di depan perempuan yang ia sukai, “aku tidak ingin menikah” setelah perempuan itu megatakan kalimat yang sama sebelumnya. Ah, beginilah jadinya kalau mencintai perempuan yang tidak ingin dinikahi.

Cinta. Bagaimanapun cinta tetap dimiliki oleh Yi sebagai manusia. Tapi, aku rasa Yi termasuk manusia yang agak berbeda memahami cinta, dan oleh karena pemahaman—yang entah tepat entah tidak—itulah Yi sulit mendapatkan perempuan. Yi adalah penganut paham filsafat yang kurang jelas, mungkin sejenis absurdisme, walapun tidak sepunuhnya. Baginya hampir segala sesuatu yang jelas itu tidak lagi penting.

Sebut sajalah ini; apa guna mata kalau sudah bisa melihat? Memang apa? Kan sudah bisa melihat. Itu Kutipan yang ia dapat setelah membaca kumpulan cerpen Kuntowijoyo. Inilah kacaunya pemuda 22 tahun ini, masih labil saja. Ia membayangkan kehidupan cerpen sebagai kehidupannya. Kadang kala, dia harus memikirkan pertanyaan-pertanyaan sepele setiap harinya. Kadang aku sampai kewalahan menghadapinya, ia sangat tergila-gila dengan gagasan abstrak setelah membaca Teori Kedadilan karya John Rawls. Semenjak itu, ia mulai agak sedeng. Entahlah, aku tidak pernah mengerti tentang segala istilah yang ia katakan padaku.

Pernah juga Yi dilarang olah ibunya menulis puisi. Sejauh ini aku belum tahu alasannya mengapa. Apakah ibunya adalah penganut paham bahwa penyair adalah teman setan, dan syair adalah perkataan yang sia-sia. Aku tidak yakin bahwa kalau ibunya adalah seorang yang kaku, atau sejenis orangnya menganut paham skriptualis, tekstualis. Yang jelas, ia sempat hampir frustrasi dengan larangan ibunya itu.

Akhir-akhir ini aku baru tahu kalau Yi adalah seorang pembaca. Hidupnya hanya dengan buku-buku, tapi katanya membaca bukan untuk pandai, dan bukan pula untuk menjawab. Suatu ketika, aku tanya mengapa dia suka sekali membaca, katanya “dengan membaca aku tidak harus menjawabkan?”. Ah, pernyataan filsafat macam apa lagi ini, aku benar-benar bingung. Tapi setelah aku fikir-fikir dan sedikit penjelasan tambahan darinya, aku baru mengerti. “dengan membaca buku berarti aku bisa mengalihkan pertanyaan-pertanyaan, kanapa aku tidak punya kekasih?, kenapa dia tidak mau aku nikahi?, kenapa ibunya tidak mengenalku? Dan pertanyaan sejenis yang lainnya. Biasanya, kalau kita membaca orang segan mengganggu. Membaca hanya sebuah pelarian” katanya. Ya, terserahlah. Sungguh hidup yang menyedihkan, membaca untuk tidak menjawab. Semenjak itu aku selalu berharap tidak pernah punya teman yang membaca hanya untuk pelarian.

Beberpa tahun yang lalu, tanpa sengaja aku memergoki dia sedang membaca di salah satu warung kopi. Dan, aku fikir ini bukan sekali, karena rupanya ia memang lebih suka membaca buku di warung kopi. Alasannya simpel, katanya perpustakaan adalah tempat penyewaan buku yang gratis, di samping sebagai kuburan. Karena, katanya, menurut salah satu tulisan yang ia baca, pustaka sekarang sudah menjadi kuburan, dimana pustaka menjadi tempat yang paling sunyi, senyap. Padahal setelah membaca orang butuh mendiskusikan, katanya. Itulah alasan mengapa ia lebih suka membaca buku di warung kopi, selain lebih mudah untuk “ribut” juga untuk mendidik kebiasaan, agar mitos ilmu itu hanya di kampus secepat mungkin dipatahkan.

Menurut Yi ada semacam fenomena lucu di beberapa mahasiwa, yang kerap melontarkan pendapat; masyarakat kita masih sangat awam dengan buku, namun di samping itu buku tidak pernah disediakan di ruang-ruang masyarakat berkumpul, seperti warung kopilah salah satunya. Lagi-lagi aku hanya menceritakan, aku juga tidak seberapa setuju dengan itu, karena aku masih percaya pembagian kelas, bahwa kampus adalah tempat manusia terdidik, sedangkan warung kopi adalah tempat para awam mendiskusi sesuka kepalanya, tanpa referensi.

Pada saat itu aku mendapati ia membaca buku kritik sastra. Mungkin itu adalah buku ke tiga tentang kritik sastra yang pernah ia baca, hal itupun jika Orientalisme karya Edward W Said termasuk sebuah kritik sastra, atau setidaknya memuat beberapa kritik sastralah, lalu selanjutnya buku Sastra dan Religiositas karya Y.B. Mungunwijaya. Selain dua buku tersebut, Yi tidak banyak membaca kritik sastra. Ya, selain menemukan selipan-selipan kritik serat dan tembang dalam beberapa karya Kuntowijoyo; Budaya dan Masyarat, Paradigma Islam; dari Interpetasi Menuju Aksi.

Sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab, Yi memang lebih banyak bersentuhan dengan buku-buku hukum, yang barangkali sangat membosankan jika dibandingkan dengan buku sastra. Entalah, diruang hukum, meski dari sanalah Yi mengenal istilah multi tafsir, tapi dalam pandangan hukum—apa lagi hukum positif—adalah hal yang mestinya harus dihindari. Sangat berbeda dengan puisi, sebagai salah satu karya sastra yang diberikan kebebasan untuk menafsirkannya.

Sebagai pembaca yang tidak memiliki tujuan yang jelas, selain untuk mengalihkan perhatian, atau pelarian cinta. Masih agak anulah kalau kau membaca untuk pelarian politik, masih agak seksilah. Tapi ini? karena cinta. Frooh foh foh. Halah. Ah, terlalu sepele. Karena tidak ingin banyak berhubungan dengan mantan kekasihnya, Yi memilih membaca buku. Biasanya ketika mantan kekasihnya mencoba membuka obrolan untuk mengingat masa lalu yang hanya sebiji zarrah manfaatnya itu, Yi suka berdalih bahwa ia sedang membaca, sampai lupa membaca pesan masuk. Dan, aku harus memaklumi permasalah kaum LDR masa milenial ini.

Yi pernah ingin menerapkan sebuah teori dalam menjalin cinta dengan kekasihnya Mi. Sebenarnya aku dimintanya untuk merahasiakan, tapi tak apalah, nanti biar aku yang menyelesaikan. Saat menjalin asmara dengan Mi, Yi mencoba untuk membuat semacam kontrak, setelah dua pertemuan di kelas ia mendapat matakuliah perancangan kontrak. Menurut Yi, cinta itu adalah sesuatu yang bukan berjalan begitu saja, melainkan harus ada semacam kesepakatan akan bagaimana, dan sangat penuh dengan kausalitas atau terori sebab akibat. Karena terlalu dangkal dalam memahami seorang perempuan, akhirnya Yi harus menerima bahwa dirinya dinonaktifkan sebagai kekasih, dengan alasan yang sangat sepele pula. Bah.

Suatu hari, Mi menelpon Yi, dan berniat untuk membuat semacam candaan. Ya, semacam katakan putus, begitulah. Tapi berujung naas, rupa-rupanya Yi adalah seoang yang tidak suka berbelit dan plin-plan dalam perkara menjalani sebuah hubungan. “Kalau memang sudah tidak suka, ya sudah, tinggalkan atau ditinggalkan, akhiri. Selesaikan.” Katanya pada Mi, sautu ketika. Walaupun sebenarnya Yi sangat tidak ingin hubungan mereka berakhir. Tapi, bagi Yi tidak ada tarik ulur untuk terlihat mesra. Inilah yang membuatku bersyukur, mengapa akhirnya Yi tidak jadi menikah.

Aku rasa hubungan yang dingin dan tanpa bumbu, tidak lama akan berakhir di meja hijau juga. Aku tidak bisa membanyangkan apa jadinya sebuah rumah tangga tanpa gombal. Kontrak mereka sebelum pacaran adalah tidak akan saling mengombal dengan gombal yang receh dan familiar. “Alah, kalaulah untuk mengodamu saja aku harus mengikuti cara orang lain mengoda, tak usalah ada goda-mengoda di antara kita. Biarkan kering sekering-keringnya, karena cinta bukan duplikat kata-kata merayu kan?” Lah, kontrak macam apalah itu. Dia tidak tahu, bahwa gombal adalah koenjti oetama dalam berpacaran.

“Cinta dan masyarakat adalah masalah yang pertama difikirkan oleh pemikir” Kata Yi padaku di warung kopi tempat aku memergoki dia dengan kekasih barunya dengan saling mengoda. Kasihnya barunya itu; buku. Setiap dia ingat kenangan dengan kakasihnya, Mi. Dia selalu mengalihkan dengan membaca buku. Bagi Yi, dengan membaca mungkin ia akan mendapat kesempatan untuk menulis kisah cinta mereka yang berakhir dengan sepele itu. Ya, semoga saja Yi mendapat kesempatan itu. Seperti kisah Zainudin yang menyindir Hayati melalui opera tahunan yang diangkat dari novel itu. Is is, sebuah balas dendam yang progresif dan kreatif. Oya, mungkin kau masih bertanya, aku siapa sebenarnya. Ah, nanti kau akan mengetahui dengan sendirinya. Kusarankan kau membaca novel yang aku sarankan itu. Yang jelas aku seperti dalam novel itu, tapi bukan itu. Haa.

Yi Lawe.
Yogyakarta, Februari-Maret 2018.

Sort:  

Mantap sekali,, sastrawi dan mendalam... lanjutkan bang!

Terimakasih Bang @riodejaksiuroe ...

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 59035.93
ETH 2519.79
USDT 1.00
SBD 2.47