Tertiblah Berbahasa Indonesia! (7)
Tentang Transliterasi Arab-Latin
Postingan saya tentang daftar kata yang tak berhuruf h di Steemit Sabtu (19/5/2018) kemarin ternyata memicu diskusi lumayan seru di sejumlah grup WA bahkan di kanal Steemit.
Diskusi di dunia maya ini menginspirasi saya untuk menulis hari ini tentang pedoman transliterasi bahasa Arab ke bahasa Latin, karena konteks diskusi ini memang bakal bermuara ke sana.
Di Grup WA FAMe Banda Aceh saya cuplik lima chat antara Murizal Hamzah (MH), wartawan dan penulis di Jakarta; Herman RN, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah yang juga Steemian; Abu Teuming, nama samaran seorang penghulu, awak FAMe di Banda Aceh; dan saya, YD.
Ini dia cuplikannya:
[19/5 11:45] MH: Ramadan tetap ditulis Ramadhan biar ada kesan islami. Sebuah koran harian di Aceh (nama koran tersebut saya samarkan, YD) menulis Ramadhan, bukan Ramadan.
[19/5 11:56] Herman RN: Kalau bahasa sudah dimainkan dengan nilai rasa, selesai sudah diskusi.
[19/5 12:01] Abu Teuming: Pak Yarmen mengajarkan tetap ditulis Ramadan. Boleh Ramadhan asal dimiringkan, sebab bahasa asing.
[19/5 14:06] Yarmen Dinamika: Jadi, tak akan ada lagi diskusi bahasa kita nih, Bung Herman?
[19/5 14:11] Herman RN: Ada, Bang, selama tidak mengedepankan rasa. Misalnya, kami tetap (ngotot) pakai shalat karena ini istilah dalam Islam. Kalau sudah main begini, ya susah diskusinya. 🌝
Di Grup WA FAMe Pidie Raya, muncul dialog seperti ini:
[19/5 16:42] Saifuddin Bantasyam: Yang benar memang musala atau musholla (tapi ini bahasa Arab)
[19/5 16:49] +62 853-8910-8005: Hhhhh 😄🤭
Saya salah berarti Pak @Saifuddin Bantasyam.
Yg benar musala.
😁
[19/5 16:50] Yarmen Dinamika: Di KBBI tak ada petunjuk bahwa musala atau mushala itu dari bahasa Arab. Yang umum kita ketahui tempat salat dalam bahasa Arab adalah masjid atau masjidil. Surau dari bahasa Minang, langgar bahasa Deli, meunasah dari bahasa Aceh. Kalau musholla, pastilah kata itu sudah mengalami jawanisasi.
Sementara itu, pada postingan saya di Steemit, Mbak @mariska.lubis berkomentar:
Jujur saja bang, perubahan-perubahan ini terus terjadi sejak lama, terutama di era reformasi dan membuat pusing karena apa yang baku sebelumnya menjadi berubah dan bisa berubah lagi. Ini masalah, menurut saya, kalau harus terus ikuti perubahan yang terus menerus dengan terlalu cepat sangat berbahaya. Sosialisasi atas perubahan di awal saja belum selesai, eh, diubah lagi diubah lagi, jadi bingung, toh bahasa bukan hanya sekedar bahasa tapi pola pikir. Ini menurut saya ya, bang.
Reply
yarmen-dinamika (43) · 18 hours ago:
Sejak empat tahun terakhir, setahu saya, hanya satu kata yang berubah di KBBI. Yakni, kata bentukan 'memerhatikan' kembali ke bentuk normal 'memperhatikan'. Alasannya, kata memperhatikan bukan diambil dari kata dasar perhati (yang artinya cermati), melainkan dari kata hati, lalu muncul varian berhati, memperhatikan, dst-nya.
Reply Edit
yarmen-dinamika (43) · 17 hours ago:
Cuma, di KBBI baru bertambah ribuan kata baru. Jumlah entri di KBBI IV sekitar 98.000 lema, di KBBI V totalnya 127.063 lema. Di antara lema baru itu adalah pramusiwi pengganti kata baby sitter, narahubung untuk contact person, dan peladen untuk server. Semoga berguna.
Sementara, sohib @bahagia-arbi (62) merespons sbb:
Saya senang membaca postingan yang sangat informatif dan edukatif dari Bang @yarmen-dinamika, dan sdh sampai serial ke-6 tentang Tertiblah Berbahasa Indonesia.
Semua Kreator Konten di Steemit tentu menjadikan postingan ini sebagai rujukan agar sebuah konten menjadi menarik dan nyaman dibaca.
Terima kasih Bang @yarmen-dinamika. Tetap menulis utk kami di Steemit.
Salam.
***
Nah, diskusi di atas, terutama poin tentang bahasa Arab yang diindonesiakan, sebetulnya tak perlu menjadi ruwet kalau kita tahu atau masih ingat tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin tahun 1987. Kala itu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Keputusan Bersama Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543 b/u/1987 menyepakati empat hal penting dalam proses transliterasi Arab ke Latin, bahasa yang alfabetnya diadopsi ke bahasa Malayu/Indonesia.
Poin yang diatur dalam keputusan bersama itu adalah tentang 1) konsonan, 2) vokal pendek, 3) vokal panjang, dan 4) diftong (vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata).
Sebagaimana diketahui, jumlah huruf dalam alfabet Latin hanya 26, sedangkan huruf Arab jumlahnya 29.
Pada bagian konsonan dalam kesepakatan bersama itu diatur bahwa tiga huruf Arab tsa, syin, maupun shad (huruf nomor 4, 12, dan 14) semuanya hanya dilambangkan dengan huruf s saja dalam daftar huruf Latin. Tak ada konsonan rangkap sh.
Nah, dengan demikian, berdasarkan kesepakatan dua menteri tersebut, maka penulisan kata salat dalam versi Indonesia adalah salat. Kalau salat ditulis dengan shalat, maka kata itu menyimpang dari prinsip yang disepakati dua menteri pada tahun 1987 itu.
Tidak berdosa sih menyimpanginya, tapi bahasa kita menjadi tidak tertib dan ragam tulisan kita pun menjadi tidak seragam untuk kata yang sama ejaan maupun artinya.
Analogi yang sama juga bisa kita pakai untuk memahami mengapa kata-kata yang dalam bahasa Arab ada konsonan dh-nya, tapi dalam bahasa Indonesia cukup ditulis dengan huruf d saja. Misal, kata dhaif, dhuafa, dan Ramadhan cukup ditulis daif, duafa, dan Ramadan saja, karena kesepakatan bersama dua menteri telah menetapkan bahwa konsonan da dan dal dalam abjad Arab cukup dilambangkan dengan huruf d saja dalam huruf Latin/bahasa Indonesia.
Jadi, kalau mau menggunakan gaya selingkung, ya carilah alasan yang sangat logis, sehingga pembaca atau pendengar maklum.
Tapi kenapa kita tidak sekalian menyoal ketika satu kata lainnya yang juga berasal dari bahasa Arab, yakni setan, ternyata tidak ditulis dalam lafal bernada Arab, yakni syaitan? Ketika syaitan diindonesiakan jadi setan, kita diam saja kan? Padahal, benar pun kita menulis setan tak ada jaminan kita tak digodanya.
Begitu juga dengan kata surga. Kita tulis pun syurga dalam lafal Arab atau syuruga dalam lafal Aceh, toh tak ada jaminan kita masuk surga. Semuanya terpulang pada amal ibadah kita juga, bukan bahasa. Hehe...jadi tak nyambung ya?
Ya nggak apa-apa. Tapi ya terpenting adalah berbahasa Indonesialah secara baik dan benar, antara lain, dengan menghargai kesepakatan bersama dua menteri Republik Indonesia tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin kalau memang merasa bahwa kita adalah pegiat literasi.
Sebagian awak FAMe Chapter Lhokseumawe seusai latihan editing dan tertib bahasa. (Sumber: Koleksi FAMe Lhokseumawe)
Banda Aceh, 20 Mei 2018
Saleuem,
YD
Pembina FAMe dan Redpel Harian Serambi Indonesia
Diskusi yang menarik dan takkan habisnya. Membuka cakrawala kebahasaan kita.
Terimakasih bang sangat bermanfaat postingannya
Ya, supaya orang Indonesia tidak mengarab-arabkan diri di Indonesia. Urueng Aceh pih bek peuarab-arab droe. Hehe
Benar atau salah kita tulis nama setan tetap digodanya, karena setan belajar bahasa :D hahaaha
Perhincangan soal ini terus menerus terjadi sepanjang masa Bang Yarmen, untuk merasa lebih Arab atau lebih Muslim banyak diantara kita yang masih menulis do’a, sa’at, ta’at, tapi mereka akan ditinggalkan oleh anak anak muda yang tidak mengalami perbincangan Itu lagi dalam literasi mereka.
sangat terbantu senior @yarmen-dinamika
Wah, makin hangat saja untuk didiskusikan Pak.
Sekarang saya jadi penasaran untuk penulisan "Kh" kenapa h-nya tidak dihilangkan ya? Seperti "dh" jadinya d saja, kenapa hal itu tidak berlaku untuk "kh". Apakah ada alasan tertentu Pak @yarmen-dinamika?
#penasaran 😄
Yang seperti ini perlu juga pak YD. Hee.
Jadi menghibur.😁
Mengapa tidak seluruh penulisan bahasa Indonesia menggunakan bahasa sesuai KBBI, tidak perlu "mengislamisasi" dengan penambahan seperti "h" di kata "shalat" atau "Ramadhan". Hehehe..
Jalan kompromi:
Bacalah dengan cara yang benar pada kalimat yang salah agar tidak terjadi dua kali salah, salah tulis dan salah baca.
Jika di tulis syaitan dibelenggu di bulan ramadhan, baca saja dengan benar yaitu setan dibelenggu di bulan ramadan. Jangan baca lagi syaitan, apalagi sampai ditambah syaitan sudah dilepas sejak si ramadan tidak puasa. Ini sudah salah, sesat pula.
Hahahha
Panas-panas dingin nih badan si setan membaca topik diskusi kita hari ini. Makin ingin menggeliat dia dari belenggu.
Kemarin saya baca berbeda teksnya. Sekarang sama persis dengan teks asli dalam grup.