Menulis, Haruskah Jemu?

in #indonesia6 years ago (edited)

image
@tinmiswary bersama sahabat Taufik Al Mubarak @acehpungo pada suatu ketika

Tuan dan Puan Steemians…

Pernahkah Tuan dan Puan merasa jemu alias bosan ketika menulis? Dengan kata lain, apakah aktivitas menulis itu dapat melahirkan kejemuan (kebosanan)? Atau justru sebaliknya, kebosanan dapat diobati dengan menulis? Seperti menulis tentang kebosanan, mungkin?

Terlepas jawaban apa yang hendak Tuan dan Puan sodorkan, tapi saya punya pendapat sendiri yang tentunya boleh sama, dan boleh pula berbeda dengan Tuan dan Puan. Keberbedaan ini tentunya tidak akan memisahkan kita, sebab keberbedaan justru sering menyatukan.

Sembari menunggu jawaban dari Tuan dan Puan, izinkan saya untuk mengajukan tawaran jawaban versi saya. Terlepas Tuan dan Puan percaya atau pun tidak, saya adalah salah satu dari berjuta, atau mungkin dari berpuluh juta orang yang berpendapat bahwa menulis tidak akan melahirkan kebosanan. Sebaliknya, bagi saya pribadi (mungkin juga bagi sebagian Tuan dan Puan), meyakini bahwa aktivitas menulis justru dapat mengendalikan kebosanan yang sedang melanda.

Lantas, benarkah aktivitas menulis itu tidak membosankan? Kalau Tuan dan Puan bertanya kepada saya, tentu jawabannya adalah “benar.” Mungkin muncul pertanyaan, bukankah melakukan aktivitas yang serupa dan terus diulang-ulang saban waktu akan memantik kebosanan? Bukankah kebosanan itu diakibatkan oleh aktivitas yang berulang terus menerus tiada henti?

Secara psikologis, pertanyaan-pertanyaan di atas memang dapat dibenarkan, sebab aktivitas yang monoton memang cenderung menghadirkan kejemuan (kebosanan). Sebagai contoh, bagi yang suka bertamasya tentu akan merasa bosan jika tempat yang dikunjungi cuma Lampuuk atau Ujong Batee. “Cuma ke situ-situ saja” atau “Cuma ke sini-sini saja.” Bosan!

image
@tinmiswary, menelan kejenuhan

Kunjungan yang berulang-ulang ke Lampuuk atau Ujong Batee bisa saja memicu kebosanan. Tapi apakah contoh ini layak disandingkan dengan aktivitas menulis yang dilakukan terus menerus? Saya memilih untuk menjawab tidak, tegasnya tidak layak disandingkan.

Tamasya tidak akan pernah membosankan sebab ia telah menjadi kebutuhan bagi penyehatan jiwa yang butuh hiburan. Aktivitas tamasya ini baru terlihat membosankan jika tempat yang dikunjungi hanya Lampuuk dan Ujong Batee. Tetapi jika aktivitas tamasya ini sesekali kita lakukan ke Sabang, Tapak Tuan, Danau Laut Tawar, Samosir, Bali, Singapura, Sydney, Menara Eiffel, Danau Hilier, Central Park, Taj Mahal, Beachy Head, Read Beach atau Taman Hitachi di Jepang, siapa nak bosan? Coba tunjuk tangan!

Demikian pula dengan aktivitas menulis akan melahirkan kebosanan jika materi tulisan kita melulu tentang banjir Jakarta, tentang APBA yang seperti telenovela, atau tentang jomblo yang tak kawin-kawin. Coba sesekali menulis tentang hal-hal baru seperti kehidupan semut di Antartika atau tentang burung-burung yang sukses terbang ke bulan, mungkin kebosanan itu akan menjauh pergi dan kita akan tetap merasa enjoy untuk menulis, tanpa dihantui oleh kejemuan.

image
Jadikan menulis sebagai kebutuhan

Satu lagi, agar aktivitas menulis tidak menghadirkan kejemuan, maka ia jangan hanya diposisikan sebagai hobi belaka, tapi juga kebutuhan. Sebab posisi menulis sebagai hanya sekedar hobi pun seringkali memicu kejemuan (kebosanan). Tetapi ketika aktivitas menulis dimasukkan dalam daftar kebutuhan, maka akan kebal dari kejemuan. Sebab kebutuhan tidak mengenal kebosanan.

Sebagai contoh, seseorang yang sudah melakukan aktivitas makan minum sejak lahir sampai rambutnya memutih tidak pernah merasa bosan untuk makan, meskipun ia telah melakukan aktivitas makan minum entah berapa puluh tahun. Tentu tidak ada yang berencana berhenti makan sebab alasan jemu atau bosan.

image
@tinmiswary dan @muhajir.juli. Apakah kita harus berhenti minum sebab bosan?

Demikian pula dengan aktivitas memakai baju, celana, sandal atau sepatu, meskipun sudah dilakukan sejak kecil hingga sekarang, tetap saja tidak menimbulkan kejemuan. Sampai saat ini saya belum berhasil menemukan orang yang memilih berhenti memakai baju, celana, sandal atau sepatu pada saat keluar rumah dengan alasan bosan, sebab telah dipakainya bertahun-tahun.

Nah, akhirnya terlepas kepada Tuan dan Puan dalam memosisikan aktivitas menulis, apakah sekedar hobi atau hanya pelarian, atau mungkin ikut-ikutan belaka? Dan saya menaruh keyakinan jika aktivitas menulis mampu Tuan dan Puan letakkan pada maqam kebutuhan, maka ia akan tetap kekal abadi, tanpa jemu!

Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…

Sort:  

Menulis itu sgt mengasyitkan bg. Tak pernah bosan. Membuka cakrawala pikiran.

Ya, teruslah menulis👍

Iya bg. Pasti. Terima kasih bg

Dua neuk hai, haha

Bagaimana caranya menginspirasi bahwa menulis dan berpakaian adalah sebuah nuansa?

Menulis harus diposisikan seperti pakai pakaian. Tdk pernah bosan

Semoga tidak jemu😜😜

Ya semoga😁

Terima kasih Kurator Indonesia @levycore sudah datang bertandang😁

sudah saya teken tuan, bukan APBA, tapi tulisan tuan yang bernas ini. lapak buku sedang turun drastis, saya dilanda kobosanan yang sangat. tapi setelah baca peuneutoh tuan, saya kembali bersemangat. tabek!

Tenang,,buku yang terjual itu jadi SBD dan buku yang tersisa jadi steem power. Begitu kata @apayek

Huahahahah..betul jugak

Jika ingin mengenal dunia, membacalah. Jika ingin dikenal dunia, menulislah"

Baru pemula, masih perlu bimbingan..

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.031
BTC 61092.62
ETH 2666.59
USDT 1.00
SBD 2.62