Meneguk Kopi Bersama Penulis Buku “Aceh Pungo”
@tinmiswary, Taufik Al Mubarak @acehpungo dan Mirza Ardi
Kemarin siang (10/03/18), selepas mengikuti acara Bedah Buku Kamaruzzaman Bustamam Ahmad di Aula Rektorat UIN Ar-Raniry, saya menelpon sahabat saya Taufik Al Mubarak dan mengajaknya meneguk kopi.
Sekira pukul 15.00 WIB, menjelang sore, kami pun bertemu di Kedai Kopi Kuta Alam yang berdampingan dengan Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Meskipun sepakat untuk minum kopi, saya memilih memesan jus wortel minus gula tanpa es.
Sambil menyeruput kopi dan jus wortel, saya dan Taufik Al Mubarak terlibat perbincangan dengan ragam topik, khususnya terkait dunia kepenulisan dan sedikit topik politik. Sebagai warga Steemit, kami juga sempat menyinggung tentang harga SBD yang sedang “terjun” tanpa payung.
Saya kenal Taufik sejak 18 tahun lalu, pada saat dia masih berstatus sebagai mahasiswa di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, sementara saya masih ula ili (hilir-mudik) di Fakultas Tarbiyah. Meskipun sama-sama belajar di IAIN, tapi kami jarang bertemu di kampus. Sebagai mahasiswa (bukan tukang kuliah), kami sering berjumpa dan berbincang di Sekretariat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), kawasan Peunayong. Sekretariat ini menjadi rumah kedua saya, setelah kamar kos di Darussalam.
Selain meneguk kopi dan berdiskusi, sebab sudah lama kami tidak bertemu, saya juga meminta sedikit endorsement dari Taufik Al Mubarak untuk buku kedua saya yang bertajuk Syariat dan Apa Ta’a yang menurut rencana akan dicetak bulan depan (insya Allah). Di buku saya yang pertama dengan tajuk Habis Sesat Terbitlah Strees yang terbit 2017 lalu, Taufik juga sudah memberikan endorsenya.
Buku pertama saya saat dibedah di ICAIOS
Rancangan Cover buku kedua saya, Insya Allah terbit April 2018
Taufik sendiri adalah penulis buku Aceh Pungo yang sempat laris manis di pasaran. Buku itu terbit pada 2009 dan sempat dilakukan cetak ulang. Di Aceh sendiri, istilah Aceh Pungo sudah terlihat “identik” dengan Taufik, meskipun istilah itu (Atjeh Moorden) pertama kali dimunculkan oleh kolonial Belanda akibat kepanikan mereka menghadapi rakyat Aceh. Tapi Taufik sudah sukses mempopulerkan kembali istilah ini melalui bukunya Aceh Pungo.
Buku Karya @acehpungo/ Koleksi @tinmiswary
Dalam pertemuan kemarin yang berlangsung hampir delapan jam dengan menghabiskan masing-masing tiga gelas minuman, dua piring kue dan tiga bungkus kacang rebus, kami membahas banyak hal yang jika ditulis akan menghabiskan kertas berjilid-jilid. Taufik bercerita tentang pengalamannya ketika berkunjung ke Vietnam, Kamboja dan beberapa negara lainnya. Saya hanya bisa mendengar dengan mulut sedikit menganga, sebab saya belum pernah sekali pun berkunjung ke sana.
Saya mencoba bertanya kepada Taufik, mengapa pengalaman dan pemandangan unik yang ia saksikan di luar negeri itu tidak ditulis saja? Setelah diam sejenak, dia mengaku terlalu kagum melihat negeri-negeri itu sehingga “terlupa” menulisnya. Dan saya justru terkagum mendengar jawaban Taufik, bahwa ia telah “dikalahkan” oleh kekaguman. Tapi, saya tetap berharap Taufik dapat mengikut jejak Hamka yang mencatat hal-hal menarik dalam setiap perjalanannya.
Sambil sesekali mengintip handphone (mungkin ngemit steemit), Taufik juga bercerita tentang kegemarannya membaca berita-berita bola yang menurutnya menarik dicermati, sebab di sana tidak ada “kemunafikan.” Mendengar kegemarannya ini, tentu saya sulit berkomentar, sebab saya sendiri jauh terasing dari dunia bola. Satu-satunya pesepak bola yang saya kenal dan kagumi sampai saat ini hanyalah Tuwanku Diego Armando Maradona. Tentang pesepak bola legendaris dari Argentina ini sudah pernah saya tulis di steemit beberapa hari lalu.
Ketika sedang asyik berdiskusi dengan ragam topik lainnya, seorang teman yang baru saja menyelesaikan studi S2 di Australia datang menyapa. Mirza Ardi yang baru beberapa bulan pulang dari Negeri Kanguru pun ikut bergabung di meja kami. Sebelumnya saya memang sudah berjanji dengan Mirza untuk meneguk sisa-sisa kopi setelah artikelnya bertajuk “Aceh: On the way toward a closed society” terbit di The Jakarta Post. Tentunya apa yang dilakukan Mirza adalah pencapaian besar, sebab tidak mudah menembus koran berbahasa asing itu.
Setelah meja itu dihuni oleh tiga orang, saya, Taufik dan Mirza, perbincangan pun semakin meluas ke topik-topik lainnya, tak terkecuali topik ekonomi, “radikalisme” dan isu-isu terkini lainnya yang sering hilir-mudik di beranda media sosial.
Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…
Bereh that ka meusapat penulis bansa Atjeh. 😁
Ketika di telpon dan di ajak ngopi, seuot taufiq mubarak di ujong telpon "bereh mangat bek pungo"
Penutup acara kopdar dengan penulis Habis Sesat Terbitlah Stress itu tidak berjalan mulus. Saya harus jemput istri dan berkunjung ke rumah sakit, tempat utusan Donald Trump, Budiman Puteh, dirawat karena terserah DBD. Ketika balik lagi ke Kuta Alam Coffee, meja sudah kosong, lalu saya terpaksa atur bata kecil di samping PWI.
kopi teman setia dalam setiap perjumpaan dengan sahabat. Salam untuk @acehpungo
Droe pajan kajak u Banda?
Oo rupanya ini wujud wajah penulis buku legendaris Aceh pungo, saya baru tau.
Respects sama penulis ini 👍
Wah nikmat sekali keknya ya bang. Kapan-kapan semoga bisa ngopi kita ya bang. Mantap jiwa!!!
Semua steemian harus ngopi, agar tdk pungo😂😂