Sumber Pengetahuan Gampong

in #indonesia7 years ago (edited)

Selalu dalam survei-survei sosial budaya, saya bertemu dengan 'guru besar' dan 'doktor' analisis sosial dari kampung. Mereka punya daya jelajah analisis dan penyelesaian sosial sangat baik. Bahkan seharusnya saya tak perlu membuat 'tanda kutip' untuk memberikan makna konotatif kepada mereka. They are the men with brightful minds.

IMG-20171003-WA0009.jpg

Pada survei lingkungan yang kali ini sedang saya lakukan, doktor pertama yang saya temukan bernama Aminin, geuchiek Teupin Raya, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Adapun guru besar yang saya tatap adalah Muhammad Nuraqin, tokoh pemuda Kecamatan Indramakmur, Aceh Timur.

Aceh Timur saat ini sedang berada dalam pusaran baru menghadapi keberadaan perusahaan migas yang sedang naik daun. Belbagai fasilitas mulai dibangun dengan standar nasional di sini. Salah satu yang menonjol adalah keberadaan Royal Hotel, hotel bintang 3 terbaik sepanjang Pidie hingga Aceh Tamiang.

Geuciek Teupin Raya 2.jpg

Adapun perusahaan yang hadir terlihat lebih filantropis awalnya, dibandingkan ekonomis-eksploitatif. Perusahaan migas milik pengusaha nasional ini mau bertindak 'gila' dengan melakukan investasi di daerah yang baru lepas dari konflik, yang masyarakatnya berkarakter keras, sebagian tempaan konflik, yang berbeda dengan masyarakat Jawa atau Kalimantan. Ada idealisme pemilik perusahaan untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat yang baru terdera luka konflik.

Geuchiek in PRA (4).jpg

Namun kadang idealisme adalah puisi yang indah diucapkan, tapi sulit diwujudkan. Visi sang perusahaan kadang sulit diimplementasikan karena pelbagai problem, baik di tingkat manajemen perusahaan atau keadaan riil sosial-ekologikal. Pelbagai masalah kadang muncul dan semakin kusut masai ketika tak ada skema penyelesaian yang komprehensif, baik dalam dokumen AMDAL atau pun eksekusi di lapangan.

Geuchiek in PRA.jpg

Namun di tengah-tengah itu adalah sosok-sosok cerdas sekaligus rendah hati. Mereka mencurahkan pikiran dan akar nuraninya untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Merekalah para pendamping komunitas, yang menjadi pelita dan tempat bertanya. Mereka para negosiator atas masalah yang timbul. Dan mereka sosiolog-antropolog dengan analisis-analisis yang kuat.

Geuchiek Aminin misalnya, langsung mengambil spidol ketika saya menanyakan tentang masalah dan relasi sosial para aktor dalam sengkarut masalah di kampungnya. Dia bahkan menyediakan beberapa opsi untuk dipilih. Dia tak suka menonjolkan diri bahwa dialah 'the savior' atas masalah itu. Suaranya pelan sekecil badannya.

Adapun Nuraqin, saya telah mengenalnya sebelumnya, lebih pandit lagi. Dia bukan geuchiek atau humas perusahaan. Dia adalah pemuda yang mencoba menjaga setiap kalimat dengan bertanggung-jawab. Dia sudah memikirkan bahwa 10-20 tahun ke depan kampungnya akan menghadapi ladang katastrofi jika beberapa simptom tidak segera diantisipasi.

IMG_20171003_141420.jpg

Mereka ini jika dalam analisis sosial disebut sedang melakukan Participatory Rural Appraisal (PRA), mencari permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, termasuk mencari diksi yang bisa menjadi obat atas problem, dan menempatkannya sebagai bagian aksi-refleksi.

Sebagai antropolog saya merasa mereka kolega dalam impian dan keheningan. Mereka jauh lebih brilian dari kebanyakan dosen, tapi jauh dari publikasi dan ria-ria akademik.

Merekalah para mujadid sosial yang harus dibela oleh kita; orang kampus yang semakin keropos oleh masalah administratif dan birokratis, dibandingkan reflektif akan penghayatan sosial.

3 Oktober 2017


TKF.gif

Sort:  

Terimakasih telah berbagi postingannya.

Ya akademisi kebanyakan teori biasanya dan terlalu pongah untuk memasyarakat, terjun langsung, dan pratekkan semua teori untuk mendapatkan jawaban dan kesimpulan serta kebenaran/kesalahan semua teori yang dipelajari dan diyakininya. Pendidikan setinggi apapun tidak bisa melawan kebesaran pendidikan alam.

Ya... Makanya saya nek juga kalau akademisi yang cuma bisa ngomong di kelas, tapi gagap menangkap pengetahuan dari masyarakat. The society and culture is your world!

Orang kampus disuruh turun gunung biar

Seperti kata mbak @mariskalubis, para akademisi hanya sebatas teoritis semata, miskin tindakan, gaya bicaranya diatur dan diolah sedemikian rupa biar kesannya lebih intelek di hadapan masyarakat.

Sedangkan masyarakat, mereka lebih banyak bertindak bahkan lebih cepat tanggap situasi daripada orang-orang kampus yang terkurung di lingkaran inteleknya.

Jujur ya, saya minder memberikan komentar di setiap postingan Pak @teukukemalfasya. Bahasanya tinggi sekali, perbendaharaan kata saya nggak nyampe situ. Ha ha ha

Sebenarnya cuma setinggi pohon kelapa kate... Gak sampe setinggi menara eiffel...

Menulis ada maqam sendiri, sedang berbicara sesuai dengan pemahaman pendengar

Tidak bs dibilang bgt... Tidak semua akademisi seperti itu...

Mantap, kerja bagus dan mampu melihat problem dan mencari alternatif penyelesaian...

Orang2 spt itu ibarat mutiara di lumpur, yg tetap bersinar walau jauh dari kilatan blitz dan publikasi. Mereka layak dijadikan narasumber dlm penyelesaian konflik antara masyarakat vs pemodal.

Benar sekali... mereka yang berani melawan arus dan pelbagai macam "godaan", baik yang mengerikan atau pun menggiurkan.

In Anthropology, we call it "organic intellectual" (James Scott).

That's right....

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.16
JST 0.029
BTC 75243.81
ETH 2872.09
USDT 1.00
SBD 2.49