Kota Luka Terbantai

in #indonesia7 years ago (edited)

Banda Aceh sudah berubah. Koetaradja yang dulunya dianggap sebagai kota eksotika karena penuh bangunan bersejarah dan lingkungan yang indah kini hanya menjadi bandar bersilang rabah.

Di antara yang paling komersial adalah berubahnya Mesjid Bayt-Ar Rahman menjadi mesjid “transformer” dengan payung elektrik ala Masjid Nabawi. Ketika proyek seperti itu dijalankan termasuk perluasan Mesjid Nabawi, banyak sekali pro kontra karena menggusur begitu banyak situs bersejarah. Meskipun dari segi untuk penyejuk, payung seperti itu cocok di Arab Saudi yang tandus dan tak berpohon. Untuk Aceh, pohon ketapang, kurma, palem, dan aneka tetumbuhan yang sudah ada lebih dari cukup untuk menyejukkan.

IMG_20170811_065438_HDR.jpg

Mesjid yang sempat terbakar pada era perang kolonial Belanda itu dibangun kembali dengan arsitek keturunan Belgia, de Bruijn. Ia mengambil konsep ekletisme: memadukan beberapa unsur arsitektur dunia yang telah ada saat itu. Tentu De Bruijn bukan seorang penciplak (copy cat). Ia melihat dan memadukan dengan komposisi dan sejarah yang juga melekat di Aceh. Untuk kubah ia meminjam model arsitektur India. Kolam di tengah mengambil inspirasi dari kerajaan Turki.

Adapun tangga berjenjang mengambil konsep istana-istana di Eropa. Secara keseluruhan nafas arsitektur Babilonia juga masuk yaitu rangkaian bangunan dan halaman dengan konsep sarang lebah (atau formasi U dengan ujung menguncup). Jadi kalau kita lihat dari udara sebenarnya lapangan (square) Mesjid Bayt-Ar Rahman tidak simetris tapi geometris. Hal itu disengaja. Jika kini mesjid raya ingin diperluas dan mengambil sebagian besar bangunan permanen yang telah ada di samping kiri-kanan, bukan saja riskan pada nasib bangunan bersejarah di kiri-kanan, tapi juga merusak secara keseluruhan konsep historis arsitektur mesjid ini.

Demikian pula pembangunan Taman Bustanus Salatin di Taman Sari Banda Aceh. Entah karena cengengesan proyek, yang jelas penambahan bangunan permanen di tengah taman yang menurut Barlian AW sebagai ruang ekspresi seniman di masa lalu telah merusak. Taman Sari; bahasa yang dipinjam khazanah bahasa Urdu yang artinya kebun dengan kemilau bunga tempat bersenang-senang, kini malah terkesan “angkuh”. Terlalu banyak bangunan bersemen di taman kota malah merusak kehijauannya.

IMG_20170811_064845_HDR.jpg

In The Name of Project

Ada satu adagium, speed doesn’t mean quality. Proyek hanya bekerja berdasarkan kecepatan, bukan kualitas atau cita rasa. Kecepatan bekerja sering menghasilkan proyek abal-abal. Banyak proyek pembangunan, seperti jalan yang paling mudah ditemukan, harus terus diulang setiap semester anggaran. “Bunga proyek” hanya mewangikan kantong kontraktor dan penguasa.

Bukan rahasia, rumus 10 persen setiap realisasi program pembangunan adalah modelnya. Dengan 10 persen yang dipoklek, lima persen untuk proses setelah itu (evaluasi proyek dan pasca-proyek) dan lima persen uang keamanan maka pengusaha harus memutar otak tetap mendapatkan untung. Bagaimana menjalankan proyek yang 30-40 persen sudah hilang di tengah jalan?

Maka nasib kota Banda Aceh seperti juga kota-kota lainnya, terluka oleh proyek. Teringat kembali gagasan pembangunanisme yang sempat menjadi trade mark Orde Baru, bahwa atas nama pembangunan kita harus mau berkorban. Atas nama pembangunan tidak boleh ada yang protes, karena protes adalah pembangkangan.

IMG_20170811_064903_HDR.jpg

Yang menyedihkan, atas nama proyek pemerintah pun mudah menyalahkan pihak lain dan tidak pernah melakukan otokritik untuk memperbaiki diri. Pernyataan pemerintah bahwa kontraktor kecil bermasalah akibat penumpukan material dan sampah lingkungan dari sampah proyek, menutup mata atas praktik kontraktor besar yang mensub-kontrakkan proyek-proyek itu dan tidak melakukan pengawasan lagi, sehingga proyek pun disub-kontrakkan lagi dengan kontraktor kelas teri.

Dengan sub-kontrak pangkat tiga saja, telah memangkas biaya proyek hingga 70-60 persen. Dengan nasib kontraktor kecil sebagai pelaksana langsung, maka kesialan harus ditanggung sendiri, sehingga harus menyiasati agar tetap bisa untung. Pengalaman ini telah ramai kita lihat pada potret pembangunan di era rekonstruksi lalu, di mana kualitas program BRR yang seringkali disubkontrakkan hingga tiga-empat tingkat melahirkan kualitas program yang memprihatinkan.

Dalam buku The Wounded City (New York : Russel Sage Foudation, 2005), Erwin Garfingkel mengambarkan bagaimana situasi psikologis masyarakat New York pasca-peledakan WTC 9/11. Sebelumnya, bukan hanya warga Amerika tapi juga dunia selalu mendambakan untuk tinggal di kota itu, karena antisipasi kota yang dipersiapkan dengan canggih sehingga dirasakan bahwa inilah tempat tinggal paling nyaman.

Pemerintah Amerika mempersiapkan New York sebagai pusat bisnis AS, dan menjadi surga bagi para pebisnis untuk berkantor dari sana. Kota itu juga dipersiapkan pada situasi anti-banjir dan mengelola air bersih untuk seluruh warga. Tapi ketika kejadian yang menyebabkan lebih 3000 orang tewas itu, banyak masyarakat kota tidak lagi mempercayai sifat keamanan kota yang dikampanyekan walikota. Mereka bahkan menganggap bahwa New York menjadi tempat yang rentan ditinggali, dan tidak mustahil teroris akan mengulang lagi terornya dengan lebih sukses.

New York dan Banda Aceh adalah sama jika dirujuk pada sikap pemerintah membangun kotanya. New York bukan kota yang digerakkan oleh warga. Perencanaan pembangunan kota adalah sepenuhnya tanggung-jawab pemerintah dan jaring korporasinya. Sistemnya adalah top-down, dan mereka tidak percaya pada partisipasi, karena yang dibutuhkan adalah arsitektur planologi dan pakar-pakar teknik kelas dunia.

Pembangunan Banda Aceh selama ini juga bukan sebuah proses partisipatif. Masyarakat melihat dan menerima resiko dari dampak pembangunan tanpa pernah punya energi untuk protes. Padahal dampak dari pembangunan yang bersetting top-down seperti ini akan melahirkan banyak resiko, seperti manipulasi, pencitraan, korupsi, dan elitis. Pemberitaan Serambi Indonesia beberapa hari lalu membuka mata bahwa banyak hal yang tidak beres dari proyek pembangunan yang nir-partisipatif ini, seterang sampah material yang mengotori pandangan dan kenyamanan kota.

Pembangunan Hijau

IMG_20170920_110121.jpg

Pembangunan drainase adalah hal penting bagi Banda Aceh untuk mengurangi masalah siklus banjir, terutama daerah tengah kota (down town) yang lebih rendah dari permukaan laut. Sejak masa rekonstruksi pasca-tsunami gagasan ini sering terdengar, dan selalu menjadi blue print pembangunan kota melalui konsep integratif pada proses pengamanan kota, seperti drainase, pintu air, daerah resapan, kolam pembuangan, dan kawasan nol pembangunan.

IMG_20170811_064725_HDR.jpg

Proyek seperti ini cenderung berhasil. Namun harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama pada aspek daerah resapan dan kawasan nol-pembangunan. Banyak daerah yang sebenarnya dapat diandalkan menjadi paru-paru kota seperti kawanan cagar budaya di Taman Putro Phang, Taman Lamnyong, Darussalam, Kampung tua (Kedah, Peulanggahan, Jawa, Pande), dan di seputaran Blang Padang beralih fungsi sebagai daerah pemukiman dan pembangunan.

Pembangunan museum tsunami dan pelebaran jalan di STA Mansyurshah beberapa waktu lalu merupakan tindakan melukai kehijauan kota. Tanah yang dibeton dan tanpa biosfer akan kesulitan beradaptasi dalam mengelola air tanah di masa musim hujan dan kemarau. Pohon besar yang telah berumur ratusan tahun dapat menjadi tabungan air hingga puluhan galon yang bermanfaat menangkal banjir. Banjir adalah bahasa lain dari limpahan air hujan yang tidak bisa ditampung oleh “sabuk alam”. Kini Museum tsunami kurang berbunyi sebagai ruang publik dan pertunjukan.

Pembangunan drainase merupakan cara untuk menyelamatkan kota yang terluka ini dari sakit yang lebih parah, yaitu tenggelam oleh air hujan tidak bisa kembali ke laut. Kita patut mendukung program ini. Namun sejalan dengan itu, pemerintah juga patut memperhatikan nasib masyarakat kecil yang telah menjadi korban pembangunan, melalui adanya kompensasi yang layak (bukan ganti yang merugi), yang dapat membantu mereka tetap hidup tanpa berkesusahan. Saat ini program pembangunan selalu sebangun dengan derita masyarakat. Deret ukur derita (panetika) mungkin saat ini masih dalam taraf toleransi. Namun apabila tidak dikelola dengan benar, derita bisa semakin tak tertahankan dan menjadi bencana sosial (stress, frustasi, gila, bunuh diri, atau vandalisme).

Yang paling penting, di samping beton-beton drainase, pintu air, dan kolam pembuangan air yang dibangun dengan teknologi kedap air, perlu juga diupayakan biosfer penyangga yang resap air. Pohon-pohon besar yang dapat menjadi paru-paru kota seperti trembesi, asam jawa, angsana, mahoni, damar, meranti, dll adalah bagian dari arsitektur alamiah yang menyejukkan dan menyelamatkan kota dari banjir musiman.

Kutaraja harus memperbaiki citra kultural dan sejarahnya kembali. Memelihara warisan indatu agar tidak celaka. Karena jika celaka maka badan akan binasa.

21 September 2017.

IMG_20170611_071305.jpg


Steemit Inter.jpg

Sort:  

Postingan yang luar biasa. Sebagai warga Banda Aceh dan Aceh pada umumnya, kita harus iri dan malu terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), karena dulu kita juga pernah menyandang gelar istimewa seperti mereka. Sampai saat ini mereka masih dan bisa menjaga dengan baik status keistimewaannya baik itu dari adat, budaya dan kultur kehidupan masyarakat serta lingkungan mereka.

Yogyakarta memiliki semua hal untuk gemilang. Mereka punya sejarah dan sosial yang tinggi, masyarakay sipil yang kuat, dan pendidikan yang menunjang keadaban dan peradaban.

Banda Aceh tertinggal dalam banyak hal. Meskipun kita juga peluang untuk mengejar.

Go glory my city, Banda Aceh.

Betul sekali bang @teukukemalfasya, satu lagi jangan lupa, go green biar Koetaradja adem. Jangan go gold, nanti takutnya malah jadi berkilau. Hehehe.

Saya juga tak paham, proyek pengembangan itu perlu tetapi jangka panjang masa depan semuanya perlu dipikirkan baik2.... asal ada proyek dan pembangunan bukan membangun tetapi malah merugikan dan merusak. Salam hangat.

Bagi penguasa mereka punya logika sendiri. Logika fee. Itu alasan utama sebuah proyek dilaksanakan atau tidak. Terkait utilitas? EGP.

Salam hangat selalu @mariskalubis.... Posisi kota dmn sekarang, kapan2 bisa gathering

Masih sedang di Bandung... Insyaallah sy ke Banda bulan 11... c u di sana yah...

Sipp... Jgn lupa kontak2...

Sejarah bukan untuk di ingat, tapi sebagai ajang untuk mencari keuntungan, itu semua di buktikan dengan Renovasi Mesjid paling bersejarah di Aceh yang terkesan dipaksakan.

Semua itu tidak terlepas dari Negara yang melindungi kelas menengah keatas dan menindas sebaliknya. Sangat wajar apa yang Bapak Dosen tulis terjadi dan akan terus terjadi, siapa Presiden, Gubernur dan Bupati tidak akan banyak pengaruhnya, karena Ilmu dan Budaya yang telah lama terbentuk hanya terjadi perubahan di mulut Pemimpin saat kampanye dan sebagai pencitraan saat sudah menjadi pemimpin.

Viva La Beneamata

Viva la beneamata... Makanya pengetahuan budaya penting masuk dalam otak para pemimpin kita. Tak masalah mereka paket C asalkan kemudian mereka mau belajar memperbaiki visi pembangunan. Bukan hanya fee belaka.

Ngeri that lagoe, Joker dijak bak steemit lontuan

Kita 50 - 50 persen

Kami sudah upvote..

Di antara tulisan yang panjang dan saya rampungkan membacanya, hanya dua titik mata mata saya lama memandang yaitu pada foto. Foto pertama (lokasinya di BI kalau tidak salah), di mana pangkal pohon hilang organnya dan kedua sama halnya di Blang Padang kalau tidak salah.
Inilah, perluasan pembangunan tanpa peduli lingkungan.

Thanks mustafa kamal.... Foto di kampus itu saya ambil demi melihat kampus yang semakij panas ketika pohon2 tanpa salah itu ditebangi.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 61940.19
ETH 2433.78
USDT 1.00
SBD 2.50