Road to Lhokseumawe (1): Perjalanan Terlama Seumur Hidup
Sebenarnya rencana saya mengikuti kelas Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Lhokseumawe sudah tergagas sejak Jumat (6/4). Namun, berhubung masih dalam suasana berkabung, karena oom saya meninggal di hari Jumat itu, saya tunda keberangkatan. Akhirnya saya putuskan pergi ke Lhokseumawe minggu depannya.
Ini merupakan perjalanan terlama saya dari Banda Aceh ke Lhokseumawe. Kalau naik mobil pribadi, atau L-300, atau pergi sendiri, kalau tidak ada aral melintang, perjalanan hanya butuh waktu 5 jam. Adapun perjalanan kami ini, karena banyak mampir dan tersendat di Saree karena hujan lebat dan petir, berangkat sorenya, sampai di Lhokseumawe pagi besoknya. Wuih…
Siang itu, Jumat (13/4), saya standby di Taman Sari karena ada schedule rapat komunitas untuk mempersiapkan agenda buka puasa bersama anak yatim di bulan Ramadan. Ketika azan Asar tiba, dengan sepeda motor Honda Karisma biru saya yang sudah berumur sejak 2006, saya langsung cabut ke Masjid Aspol Kuta Alam. Setelah shalat, saya ‘terbang’ ke Blang Krueng menjemput Riri, sahabat saya di FAMe (Forum Aceh Menulis).
Dengan Karisma itulah saya dan Riri travelling’ ke Kota Petro Dolar. Itu pun tidak langsung berangkat melintasi Jalan Banda Aceh-Medan. Dari pukul 17.00 WIB, kami muter-muter dulu dari Blangkrueng terus ke dayah di Ulee Kareng, lalu balik ke sebuah toko di Lamnyong, lalu balik ke Blangkrueng lagi, karena Riri ada perlu di tempat-tempat itu. Pokoknya banyak nyangkut-nya dech! Dari Blangkrueng baru gerak ‘lurus’ ke arah Lhokseumawe (tidak muter-muter lagi). Itu pun waktunya sudah menunjukkan pukul 18.15.
Singkat cerita kami shalat Maghrib di sebuah masjid di Seulimeum. Riri ngantuk, jadi dia istirahat sebentar di surau di belakang masjid itu. Saat itu kilat mulai menyala-nyala, diiringi suara petir yang yang tak kunjung henti. Beberapa menit sebelum azan Isya, berhubung Riri mulai fit, kami gerak lagi. Tadinya saya yang mengendarai Karisma, kali ini giliran Riri yang membawa ‘Si Biru’.
Makin ke arah Saree, hujan mulai lebat, petir pun kian gaduh. Meskipun pakai mantel, tak ada artinya. Tetap saja basah, karena hujannya lebat sekali. Oleh sebab itu kami menepi di sebuah warung sebelum sampai ke SPN Seulawah. Lumayan lama juga. Ketika hujan agak reda, kami jalan lagi.
Jadi, sepanjang perjalanan dari Banda Aceh ke Lhokseumawe, di kawasan Seulimeum-Saree itulah suasananya yang paling tidak menentu, dengan kondisi alam berupa hujan lebat, petir bertubi-tubi, jalanan licin. Ditambah lagi kondisi Honda yang ‘kurang fit’ berupa rem blong, ban depan-belakang botak, pelak agak baling. Yeah, saya sich bismillah aja, namun saya juga sudah berikhtiyar, yakni saya sudah ganti oli Honda di waktu paginya sebelum berangkat, dan persediaan Pertalite cukup. Yang bikin suasananya ngeri adalah suara petirnya yang ‘tam tum tam tum’. Hihi... Turun gunung sampai ke Sigli baru tidak ada suara petir lagi.
Oia Steemians, tahu jembatan Seunapet kan? Itu tuh, jembatan di Jalan Banda Aceh-Medan, kalau kita gerak dari Banda Aceh, kita jumpai SPN Seulawah dulu, beberapa meter di depannya baru jembatan itu. Jembatan itu terbelah menjadi dua jalur. Banyak kejadian ketika orang-orang lewat-lewat situ. Ada yang melihat penampakan berbaju putih berambut panjang. Ada yang melihat nenek-nenek duduk termangu di tepi jembatan, yang, setelah melewati jembatan itu, ditanya kepada kawan sekendaraan, “Eh ada lihat gak, nenek-nenek duduk di pinggir jembatan tadi?” Dijawab sang kawan, “Iya, ada! Serem ya!” Ternyata siapa pun bisa melihat penampakan itu. Hi…
Cerita-cerita mistis itu kan menurut riwayat orang-orang yang sudah melintas di situ. Mitosnya, jangan melihat ke bawah jembatan! Pemali! Nanti terjadi apa-apa di depan! Memang sich, sering terjadi kecelakaan di situ.
Alhamdulillah, berhubung saya hafal Yasin, saya baca surat Yasin sejak sebelum sampai ke jembatan itu. Alhamdulillah aman-aman saja. Tapi ingat ya, itu masih dalam suasana hujan lebat dan petir yang menggelegar. Walaupun tidak ada penampakan, pas lewat jembatan Seunapet itu ada satu hal yang ganjil. Lampu Honda tiba-tiba mati! Tap! Di depan ada tronton lewat! Ck aduh, gimana ini… Untungnya Riri yang bawa Honda, jadi dia bisa mengendalikannya. Kalau saya yang bawa saat itu, mana ada, tergelincir mungkin, naudzubillah… Namun tak mengapa, lampu Honda hidup kembali beberapa menit kemudian.
Setibanya di Saree kami menepi lagi. Makan malam… Iya, kami makan di warung di depan Masjid Jamik Saree, setelah itu shalat Isya di masjidnya. Udah jam berapa tuh ya? Kayaknya…sekitaran jam 11 malam. Pas saya lagi makan, dengan tangan kanan pegang sendok dan tangan kiri pegang HP yang lagi dicas, sempat-sempatnya Riri fotoin, lalu upload ke grup FAMe. Hadeuh… :D
Sekira jam 1 malam kami sampai di Masjid al-Falah Sigli. Giliran saya yang ngerjain Riri. Kebetulan Riri tidur pakai helm. Haha, ada-ada aja. Nah, unik nih, kesempatan nih, saya pikir. Saya fotoin terus, lalu upload ke grup FAMe. Tau gak, jam segitu masih ada yang belum tidur, merespons foto dengan jempol. Haha…
Watee nyan, na saboh keunikan bak masjid kebanggan ureung Pidie nyan. Haha, ada orang gila ‘itikaf’ juga di masjid itu. Kebetulan masjidnya memang terbuka, tidak ada dinding, jadi siapa pun bisa masuk. Awalnya sich saya nggak ngeh, sambil berbaring dia memang sedang ngomong sendiri, saya pikir dia sedang menelepon pakai headset. Namun, Riri bilang kepada saya, “Itu orang gila, Bang.” Waduh… Untungnya orang gila itu tidak mengganggu kami. Saat itu juga ada orang lain sekeluarga singgah sebentar untuk beristirahat. Jadi, terlelaplah kami di Masjid al-Falah itu, tidak lupa kami memakai Soffell untuk mengusir nyamuk. Sampai waktunya kami bangun dan shalat Subuh on time.
(bersambung)
Robocop tidur hahaaaa