Traditional Title and Communication Ethics of Aceh Nation

in #indonesia6 years ago

rapaii uroeh.jpg

Gelar Adat dan Etika Komunikasi Bangsa Aceh

Aceh the blessed country is a country of aulia and heroism. The elders of this nation have compiled a customary law that perfectly refers to Islamic law. From it came the adage "Adat ngon Hukom lage Zat ngoen Sifeut" (Islamic Law with Adat Like Substance with Nature). Including adab and modesty and communication procedures are not left to be formulated into the standard rules in the order of life for the benefit of the Acehnese nation of Muslims. During the reign of Sulthan Iskandar Muda (1607-1636), adat rules were stipulated in Qanun Meukuta Alam (Qanun Al Asyi) and continued to prevail until the reign of the last sulthan Muhammad Dawood (1874-1903) until Dutch troops came from Europe and ravaged the life order of the nation Aceh.

Aceh negeri yang diberkahi merupakan negeri para aulia dan kepahlawanan. Para tetua bangsa ini telah menyusun hukum adat yang sempurna merujuk pada hukum Islam. Dari itu lahir pepatah "Adat ngon Hukom lage Zat ngoen Sifeut" (Hukum Islam dengan Adat Seperti Zat dengan Sifat). Termasuk adab dan kesopanan dan tata cara komunikasi tidak ketinggalan untuk dirumuskan menjadi aturan baku dalam tatanan kehidupan untuk kemaslahatan bangsa Aceh umat Islam. Di masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda (1607-1636) aturan adat ditetapkan dalam Qanun Meukuta Alam (Qanun Al Asyi) dan terus berlaku sampai masa pemerintahan sulthan terakhir Muhammad Dawod (1874-1903) hingga datang Serdadu Belanda dari Eropa dan memporak poranda tatanan kehidupan bangsa Aceh.

The ethics of communication within the Acehnese society uses certain words according to the speaker. The habit of the Acehnese speaks meekly both in daily conversations and on official occasions. Rough words are avoided especially with new people so Acehnese always put forward polite and gentle words. While talking to the state officials there are special words and calls that must be used, let alone talk to Aceh sulthan not everyone is allowed to speak directly with sulthan and must use intermediaries usually royal officials. Even this high-ranking officer should not speak with sulthan except using words that have been solidified

Etika komunikasi dalam lingkungan masyarakat Aceh mempergunakan kata-kata tertentu menurut lawan bicara. Kebiasaan orang Aceh berbicara secara lemah lembut baik itu dalam percakapan sehari-hari maupun pada acara-acara resmi. Perkataan-perkataan kasar sangat dihindari apalagi dengan orang yang baru dikenal karena itu masyarakat Aceh selalu mengedepankan kata-kata sopan dan lemah lembut. Sementara berbicara dengan petinggi negeri ada kata-kata dan panggilan khusus yang harus digunakan, apalagi brrbicara dengan sulthan Aceh tidak semua orang diperbolehkan berbicara langsung dengan sulthan dan harus menggunakan perantara biasanya petinggi kerajaan. Petinggi inipun tidak boleh sembarang berbicara ddngan sulthan kecuali menggunakan kata-kata yang sudah diadatkan.

IMG_20180511_000736.jpg

The words kèë (me) and kah (you) are only used in conversations with small children or with younger siblings. Lôn (me), ulôn or ulôntuan (servant) words are used when speaking with the ulama, sulthan, royal officials and with their parents, their calling is also used by the droëneuh (master of servant) vocation. Dèëlat (daulat) calls are only used for talking to sulthan and royalty officials also use the word when talking to sulthan. Gata (you) is used to call people the same age and also used to younger people or can also be used to call the younger brother/sister. The people of Aceh use the words of the call according to the speaker and always put the words of good and favored people in everyday life as well as on other official occasions. In terms of speaking the Acehnese have the saying "Bak Narit Geuturi Bangsa" (Language denotes the Nation).

Kata-kata kèë (aku) dan kah (kau) hanya digunakan dalam percakapan dengan anak kecil atau dengan adik. Kata-kata lôn (saya), ulôn atau ulôn tuan (hamba) digunakan saat berbicara dengan ulama, sulthan, petinggi kerajaan dan dengan orang tua, panggilan terhadap mereka juga digunakan panggilan droëneuh (tuan hamba). Panggilan dèëlat (daulat) hanya dipakai untuk berbicara dengan sulthan dan petinggi kerajaan juga menggunakan kata tersebut ketika berbicara dengan sulthan. Gata (kamu) digunakan memanggil orang sebaya dan juga digunakan kepada orang yang lebih muda atau bisa juga digunakan memanggil adik. Masyarakat Aceh memakai kata-kata panggilan menurut lawan bicara dan selalu mengutamakan perkataan yang baik-baik dan disenangi orang dalam kehidupan sehari-hari maupun pada acara resmi lainnya. Dalam hal berbicara orang Aceh mempunyai pepatah "Bak Narit Geuturi Bangsa" (Bahasa menunjukkan Bangsa).

While Aceh is still the unified and sovereign kingdom of ethics used when paying homage to sulthan by being worshiped on the knee by the people and royalty. But sulthan does not require such a reverence and just enough to blow behind the palm of his right hand only. In the present practice of worship in the knee is only a child's treatment of his parents only and it is done on holidays when the pledge of apology and forgiveness of all sins in the parents. While others simply shake hands and say "assalamu'alaikum, kissing behind the palms is only done to siblings, guardians, teachers and clerics.

Ketika Aceh masih sebagai kerajaan yang utuh dan berdaulat etika-etika yang digunakan ketika memberikan penghormatan terhadap sulthan dengan cara disembah di lututnya oleh rakyat dan petinggi kerajaan. Tetapi sulthan tidak mewajibkan penghormatan seperti tersebut dan hanya cukup menciup belakang telapak tangan kanannya saja. Dimasa sekarang praktek menyembah di lutut hanya tinggal perlakuan anak terhadap orang tuanya saja dan hal tersebut dilakukan di hari raya saat ikrar meminta maaf dan ampunan terhadap segala dosa pada orang tua. Sementara dengan orang lain cukup berjabat tangan dan mengucapakan "assalamu'alaikum, mencium belakang telapak tangan hanya dilakukan terhadap saudara kandung, wali, guru dan alim ulama.

IMG_20180511_000804.jpg

Sulthan Muhammad Dawood

In Aceh also arranged the words of vocation against family members and friends. The children of Aceh called his father as ayah, abu, abi, bapak, waled and ayahanda. While the mother is called the mak, nyak, umi, ibu and mami. Calling an older brother with a brother, cutbang, cutlem and polem and his wife was called cutkak while a younger brother was called by adek or dekgam. For an older sister called kak, cutkak and cutnyak and her husband were called cut abang while young sister was called adek or deknöng. For children called aneuk, neuk, agam, inöng (daughter) or called her name. Stepfather with the title of ayah muda while stepmother with the title makmuda. For the elder brother of the father or mother is called the ayahwa, abuwa or ayah rayek. While sisters older than father or mother with makwa, cutwa or nyakrayek. The younger brother of the father or mother is called apacut, cut apa or ap. For younger sisters of the father or mother be called mabit, makcék, cuttéh or matéh. For grandfather called with ayahnèk or abuchik. For grandmother called with nèk or mami.

Di Aceh juga diatur kata-kata panggilan terhadap anggota keluarga dan handai taulan. Anak-anak Aceh memanggil ayahnya dengan sebutan ayah, abu, abi, bapak, waled dan ayahanda. Sementara ibu dipanggil dengan sebutan mak, nyak, umi, ibu dan mami. Memanggil saudara laki-laki yang lebih tua dengan sebutan abang, cutbang, cutlem dan polem serta istrinya dipanggil cutkak sementara saudara laki-laki muda dipanggil dengan adek ataupun dekgam. Untuk saudara perempuan yang lebih tua dipanggil dengan sebutan kak, cutkak dan cutnyak serta suaminya dipanggil cut abang sementara saudara perempuan muda dipanggil adek atau deknöng. Untuk anak dipanggil aneuk, neuk, agam, inöng (anak perempuan) ataupun dipanggil namanya. Ayah tiri dengan sebutan ayahmuda sementara ibu tiri dengan sebutan makmuda. Untuk saudara laki-laki tua dari ayah atau ibu dipanggil ayahwa, abuwa ataupun ayah rayek. Sementara saudara perempuan yang lebih tua dari ayah ataupun ibu dengan sebutan makwa, cutwa ataupun nyakrayek. Saudara laki-laki muda dari ayah atau ibu dipanggil dengan sebutan ayahcut, cut apa atau apa. Untuk saudara perempuan yqng lebih muda dari ayah atau ibu dipanggil dengan sebutan mabit, makcék, cuttéh atau matéh. Untuk kakek dipanggil dengan ayahnèk atau abuchik. Untuk nenek dipanggil dengan nèk atau mami.

Although the kingdom is not sovereign but several titles of nobility to royalty officers are still maintained today. To honor the sons of Aceh sulthan then the title of Tuanku, Pocut, Cut Meurah still maintained until now. For scholars called as teungku and ulèë balang as teuku ampôn. The village head in Aceh is called as Geuchik and there are still many customs that are still preserved to be passed on to the next generation of Acehnese nation.

Walaupun kerajaan sudah tidak berdaulat namun beberapa gelar bangsawan terhadap petinggi kerajaan masih dipertahankan hingga sekarang. Untuk menghormati anak cucu sulthan Aceh maka gelar Tuanku, Pocut, Cut Meurah masih dipertahankan hingga sekarang. Untuk ulama dipanggil dengan sebutan teungku dan para ulèë balang dengan sebutan teuku, ampôn. Kepala desa di Aceh dipanggil dengan sebutan Geuchik dan masih banyak lagi gelaran adat yang masih dipertahankan untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa Aceh.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 67167.55
ETH 2610.59
USDT 1.00
SBD 2.67