Rekan-rekan Steemian yang baik hati dan selalu dihati.
Sebelumnya saya mohon kepada para steemian semua untuk diperbanyak maaf, karena rentang waktu antara postingan kedua dengan postingan ketiga kali ini sangat panjang, semua ini terjadi karena saya selaku penulis seminggu terakhir ini mengalami musibah pribadi terhadap orang tua/Bapak kandung saya yang telah dipanggil oleh sang Khalik. Seperti tergambar pada postingan saya sebelumnya:
https://steemit.com/busy/@suhadi-gayo/keramatnya-angka-tanggal-24
Postingan kali ini merupakan kali ketiga saya pribadi menukilkan sedikit dari pada kepribadian dan ketokohan Buya Hamka yang sangat sarat akan fakta sejarah, dimana seperti bak kata pepatah, jika semuanya tentang beliau dituliskan seakan Samudera yang luas sekalipun tidak akan sanggup menampung tinta yang akan habis digunakan, baik dari jejak-jejak hidupnya, membedah pemikirannya, membaca dan membahas karyanya, menggali nilai-nilai dan falsafah hidupnya serta hal-hal positif lainnya yang telah diukir oleh tokoh nasional ini.
Pada kesempatan ketiga ini kita akan melihat pada fase perkembangan kehidupan pribadi atau tentang Otobiografi Sang Tokoh Buya Hamka, pada perjalanan hidupnya dimasa remaja.
A. Biografi Buya Hamka
Seperti yang sudah pernah penulis gambarkan pada postingan pertama dan kedua sebelumnya, bahwa sebenarnya untuk saat ini, mencari kisah hidup Buya Hamka tidaklah begitu sulit. Penulisan otobiografi tokoh ini telah disemarakkan di lingkungan kampus-kampus Islam Indonesia, di mana setiap pengukuhan guru besar, sudah menjadi kebiasaan menyertakan bedah buku, dibagi-bagikan kepada peserta. dapat saya nyatakan dari banyaknya berbagai karya yang dituliskan, baik tentang pemikiran, hukum, tasawuf dan lain sebagainya.
Biasanya, penelitian tentang pemikiran Buya Hamka selalu menyertakan biografi beliau, terutama dalam penelitian skripsi, tesis dan disertasi. Namun, dalam penyertaan biografi tersebut para peneliti hanya sebatas memaparkan pemikiran dan pendidikan Buya Hamka, bukan mengangkat masalah kisah perjalanan hidupnya. Karenanya, saya akan uraikan biografi ini dengan sedikit perbedaan lazimnya yang dituliskan oleh teman-teman peneliti. Yaitu, menguraikan garis-garis besar tentang perjalanan hidup, karier, dan hal-hal yang mempengaruhi perkembangan intelektual Buya Hamka.
Alasannya dalam membuat style yang agak berbeda dalam hal penulisan biografi Buya Hamka ini dibandingkan dengan postingan yang pertama, tidak lain agar memudahkan memahami fase-fase perjalanan kisah hidup Buya Hamka. Sebab, yang terdapat dalam Kenang-Kenangan Hidup pembahasan perjalanan beliau uraikan tidak secara runut. Jika dalam postingan pertama walaupun saya mengangkat 2 judul besar tentang Pendidikan Buya Hamka serta Ketertarikan pada Kegiatan Tulis Menulis namun dua judul besar tersebut saya jabarkan agak melebar. Sementara pada postingan kedua saya dalam menuliskan sejarah sang tokoh yang melegenda ini lebih berbicara tentang kehidupan pribadi beliau pada masa kanak-kanak.
Baca Kembali:
Hal ini saya lakukan tentunya bukan tanpa alasan, yang pertama saya selaku penulis ingin melihat tingkat ketertarikan teman-teman steemian pada tema atau pembahasan Tokoh yang begitu di Agungkan dimata Dunia Islam Internasional ini. yang kedua setelah melihat tingkat ketertarikan pada postingan saya pertama dan kedua itu yang menurut saya pribadi lumayan besar maka terbersitlah didalam benak saya sebagai seorang Steemian juga untuk mengambil langkah dan teknik pembahasan yang lebih detail terhadap segala Aspek Tokoh Besar ini sehingga diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan pedoman hidup bagi kita semua sebagai Generasi Penerus Bangsa indonesia dan Agama Islam yang sangat kita cintai dan kita banggakan ini.
1. Perjalanan Hidup Buya Hamka
1.2. Masa Remaja.
Hampir seluruh penulis yang ingin mengkaji lebih dalam kisah perjalanan Buya Hamka, tidak lain yang menjadi rujukan utamanya adalah Kenang-Kenangan Hidup. Namun, dari data yang sempat penulis dapatkan, hampir keseluruhan yang mereka cari hanyalah sebatas biografi. Sangat jarang yang menelaah masalah nilai-nilai pendidikan Islam yang terdapat di dalamnya.
Sebagaimana yang saya uraikan panjang lebar dalam dua postingan tentang Buya Hamka sebelumnya, bahwa Buya Hamka adalah orang yang berkarakter, memiliki kemampuan multitalenta, teguh pendirian dan lain sebagainya. Itu semua membuktikan bahwa Buya Hamka sangat layak dijadikan contoh tauladan bagi anak-anak bangsa Indonesia.
Apalagi permasalahan paling berat yang dihadapi bangsa sekarang adalah semakin bobroknya nilai-nilai pendidikan di tengah-tengah masyarakat, terutama pendidikan Islam. Kanyataan ini dapat ditandai dengan adanya penyelewengan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sangat banyak bentuk ragamnya. Seperti korupsi, kolusi, nepotisme menjadi sebuah hal yang biasa, baik di tubuh birokrasi, pendidikan, perkantoran dan lain-lain.
Semua ini terjadi tidak lain akibat dari kurangnya pengaruh nilai-nilai pendidikan Islam dalam diri mereka yang melakukan perbuatan tercela tersebut. Secara kuantitas, Indonesia memang memiliki orang-orang yang pandai secara intelektual, tapi dari segi nilai-nilai pendidikan islami masih gersang dan belum mampu meletakkan sesuatu dengan benar pada tempatnya.
Kenyataan seperti ini semakin bertambah parah lagi ketika tokoh-tokoh elit bangsa yang dipercayai secara akal sehat tidak mungkin melakukan hal-hal tidak pantas tersebut. Terutama mereka yang dekat dengan agama yang sudah dapat dipastikan nilai-nilai religius sedikit-banyaknya telah terserap dalam kehidupan sehari-hari. Faktanya di lapangan, tidak sedikit dari mereka yang berakhir di balik jeruji besi karena masalah pengambilan hak orang lain secara diam-diam.
Seperti inilah tipikal contoh tokoh zaman sekarang, yang berbeda jauh dengan beberapa dekade yang lalu. Boleh jadi, sama-sama pernah mendekam di balik jeruji besi. Tapi, setidaknya motif yang melatarbelakangi jangan sempat membuat hati umat merasa tidak lagi memiliki kepercayaan.
Harus diakui, hampir seluruh tokoh yang masyhur namanya pernah mendekap di penjara. Baik yang berkaliber nasional maupun internasional. Contoh ringan, dapat dikatakan seperti, Sayyid Quṭub, ‘Alî Syarî‘atî, Ḥasan Al-Bannâ dan dari garis ulama klasik, seperti ‘Aḥmad Ibn Ḥanbal, Ibn Taimiyyah, Suhrawardî, serta untuk garis nasional dapat dilihat, seperti HM. Hasby Ash-Shiddiqy, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Muhammad Hatta, Soekarno. Mereka semua sudah biasa dengan penjara. Akan tetapi, masuknya mereka ke dalam penjara tidak sedikitpun mengucilkan harkat martabat masing-masing. Bahkan, justru menjadi sebuah penghargaan yang luar biasa atas keberanian dan semangat juang yang tinggi itu.
Karena itu, sangat pantaslah jika kepribadian Buya Hamka itu dijadikan sebagai pembelajaran bagi orang-orang yang hidup di belakangnya. Kemuliaan, semangat juang; pantang menyerah, kejujuran, kecerdasan, itu semua melekat dalam dirinya.
Yang dimaksud masa remaja dalam tulisan ini sebenarnya agak sedikit menyalahi kaidah umum. Biasanya, kata remaja lekat pada anak usia tiga belas sampai lima belas tahun. Namun, kata remaja untuk biografi Buya Hamka ini adalah masa berangkat merantau ke tanah Jawa, sekitar umur empat belas tahun hingga masa pernikahannya umur dua puluh satu tahun.
Boleh dikatakan pada masa remaja inilah masa yang paling sulit bagi sosok Buya Hamka. Selain dari jiwanya yang berontak atas sikap ayahnya yang selalu mengatur “otoriter” juga terhadap kasus perceraian kedua orang tua pada umur dua belas tahun. Keotoriteran ayahnya dapat dilihat dalam sikapnya yang menginginkan Buya Hamka yang masih dalam tahap pencarian jati diri menjalani pendidikan ilmu agama (khususnya kitab-kitab klasik), sedangkan bakat yang dimiliki Buya Hamka lebih cenderung kepada sastra.
Melihat kondisi yang tidak nyaman lagi di dalam keluarga, Buya Hamka remaja memutuskan untuk keluar dari kampung halaman. Pilihan yang paling tepat menurut kacamata berpikir beliau ketika itu, tidak lain adalah tanah Jawa. Sebelumnya, Buya Hamka sudah banyak mempelajari dari berbagai majalah yang datang dari sana. Sedikit-banyaknya Buya Hamka yang masih remaja itu telah mengetahui berbagai pergerakan telah bergejolak di tanah Jawa tersebut.
Buya Hamka memutuskan untuk berangkat, namun ayahnya masih berusaha untuk menghalangi niat besar anaknya dengan pertimbangan bahwa kajian keislaman lebih baik di Minangkabau. Walau pada akhirnya Haji Rasul memberikan kekuasaan kepada anaknya yang sudah mulai balig itu untuk memilih mana yang terbaik.
Langkah orang tua Buya Hamka untuk menghalangi niat kepergiannya tergambar pada pernyataan sang ayah dibawah ini:
Ilmu apa yang hendak engakau tuntut di sana? Kalau tujuanmu ke tanah Jawa hanya sebatas menuntut ilmu agama, Minangkabaulah tempatnya, ayah siap mengajarimu! Entah pula engkau pergi ke abang iparmu, Pekalongan, itu bagus! Tapi kalau niat/tekatmu sudah bulat untuk berangkat ke sana, apa boleh buat, ayah tidak bisa menghalangi, sebab umurmu telah lebih lima belas tahun, engakau telah dapat menimbang sendiri.
Pada kesempatan yang lain, ayahnya juga pernah berkata kepada anak yang berambisi itu:
Umurmu sekarang telah lima belas tahun! Menurut agama, lepaslah kewajiban ayah. Tetapi kalau engkau masih hendak belajar agama, belajarlah di sini! Di Padang Panjang. Supaya turun segenap ilmuku kepadamu. Kitab-kitab yang banyak ini siapa yang akan menyambut dan membacanya kalau bukan engkau?
Keberangkatan pertama Buya Hamka mengalami kegagalan. Ketika di perjalanan ia terkena penyakit yang cukup berbahaya, yaitu cacar. Seluruh tubuhnya telah dihinggapi kudis hitam, hingga wajahnya tidak tampak jelas lagi. Untung saja ada orang yang baik hatinya membawa Buya Hamka remaja itu pulang ke kampung halamannya. Sampai di kampung, juga tidak kalah malunya Buya Hamka, banyak di antara kawanya yang tidak mau lagi bersahabat dengannya seperti masa kanak-kanak dahulu. Buya Hamka yang masih remaja itu semakin hari semakin makan batin. Ia tidak tahan lagi dengan keadaan yang menimpanya. Karena itu, niat kembali ke tanah Jawa semakin hari semakin menjadi-jadi.
Peristiwa kegagalan keberangkatan yang pertama Buya Hamka jadikan sebagai pelajaran yang berharga. Maklum, mungkin saja orang tuanya tidak meridai keberangkatan itu. Dari keterangan Buya Hamka sendiri mengatakan ketika itu dia lari dari rumah tanpa meminta izin dari orang tua. Satu alasan yang ia khawatirkan, yaitu tidak diperkenankan.
Pada tahun 1924 M. Buya Hamka sampai juga ke tanah Jawa, ketika itu umur beliau baru enam belas tahun. Awal mulanya, ia berkunjung ke rumah saudara sekampung, namanya Marah Intan. Hanya beliaulah satu-satunya orang Sumatera Barat yang ada di Yogyakarta dan di kota ini pula Buya Hamka bertemu dengan adik ayahnya, Ja’far Amrulah yang sengaja mengkhususkan waktunya untuk belajar agama selama dua bulan. Beliau inilah yang mengajak Buya Hamka keliling kota untuk mengaji berbagai bidang ilmu.
Boleh dikatakan pada fase ini yang membawa semangat baru bagi Buya Hamka remaja, untuk mempelajari lebih dalam lagi tentang Islam. Salah satu pencerahan yang sangat berharga bagi Buya Hamka adalah apa yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang paling tersohor pada masa itu. Seperti bidang tafsir Buya Hamka mempelajari Baiḍâwî (Bahasa Melayu/Jawi), dari Tjokroaminoto ia banyak mendapatkan pandangan baru di bidang sosialisme, dan kepada Fakhruddin banyak mendapatkan ilmu baru dan menurut pengakuan Buya Hamka, pertemuan dengan tokoh ini walaupun hanya sekali berjumpa, tapi itu amat berkesan.
Berkat beberapa pengajaran serta pengalaman di tanah Jawa, baik itu tentang pendidikan agama Islam maupun dalam berorganisasi, menjadi pelajaran yang berarti. Selanjutnya Buya Hamka mulai belajar secara mandiri. Yaitu, bagaimana cara berbicara yang baik dan benar, mulai menyusun kata-kata sedemikian rapi ketika akan menyampaikan pidato di atas podium. Semua pengalaman itu Buya Hamka bawa ke kampung halamannya setelah banyak belajar di tanah Jawa.
Ketika ada kesempatan pidato di Padang Panjang, Buya Hamka meladeninya dengan keberanian dan cukup banyak yang terkesima. Lantas, banyak pula yang memujinya, “… Hamka memang pandai berpidato!” Tapi, dibalik itu ada juga yang tidak sependapat dan berusaha mencemooh, “… Hamka memang pandai pidato, tapi tidak alim!” maksudnya, belum memahami betul nahu dan saraf.
Mendengar perkataan seperti itu, Buya Hamka yang masih mencari jati diri sangat geram, karena bukan satu dua orang kawannya yang mengatai seperti itu. Masa itu, sifat-sifat anak muda masih lekat padanya, pemarah, pantang tersinggung, pantang dikatai, perajuk walaupun sudah jelas maksud baik orang lain kepadanya. Saat seperti itu, terkadang perkataan lurus dan baik disangkanya menyindir. Hampir semua orang dipandanginya musuh dan benci kepadanya, sungguh kelam picik pandangannya melihat kampung halaman tersebut hingga membuat dirinya berkeinginan untuk merantau yang tidak disebutkan kepada siapapun, termasuk ayahnya dan kepada neneknya ia hanya mengatakan akan merantau sangat jauh.
Ayahnya tidak bisa berkata lagi menahan anak yang suka mengembara ilmu ini.
“… Kalau engkau masih menuntut ilmu, sampai mati abuya jamin hingga engkau buya kawinkan. Tetapi bila engkau hendak pergi juga, sebab engakau sudah besar, buya tidak menghalangi.”
Melihat tekat sang cucu yang sudah kuat dan bulat, sang nenek lantas menjual buah kapung/kapas yang ada di kebunnya seharga dua goulden (mata uang Indonesia pada zaman penjajahan Belanda) untuk perbekalanan Buya Hamka remaja di perjalanan.
Buya Hamka menemui sahabat lamanya Isa di Pematang Siantar. Kepada beliau inilah pertama kali Buya Hamka mencurahkan keinginannya untuk berangkat menuju Mekah dan dari beliau ini pula yang membuka jalan baginya atas niat keberangkatan itu, di samping sebagian besar lagi dari masyarakat yang berasal dari Sumatera Barat. Pada masa itu, untuk wilayah Medan masih terkenal dengan Sumatera Timur.
Sekembalinya dari Mekah, Buya Hamka banyak menulisakan pengalamannya di Tanah Suci dan mengirimkannya ke berbagai media massa. Harian Pelita Andalas, salah satu yang memuat seluruh tulisan tersebut, begitu juga kepada majalah Seruan Islam di Pangkalan Brandan, dan Suara Muhammadiyah di Yogyakarta dan Bintang Islam pimpinan Fakhruddin.
Buya Hamka belum ada niat untuk langsung pulang ke kampung halamannya Sumatera Barat. Satu bulan berada di Medan, ada permintaan untuk mengajar di Perkebunan Bajalinggai, daerah antara Tebing Tinggi dengan Pematang Siantar. Dari hasil mengajar ini, Buya Hamka banyak membeli kitab-kitab Arab dan sastra, sebagiannya lagi, ia belanjakan untuk menyalurkan hobi, yaitu menonton bioskop.
Kemudian, atas permintaan ayahnya, AR. Sutan Mansyur membawa Buya Hamka pulang ke kampung halamannya yang kebetulan baru pulang dari Aceh dalam urusan Organisasi Muhammadiyah. Buya Hamka sendiri tidak kuasa lagi mengelakkan permintaan itu, selain karena segan juga takut kepada abang iparnya tersebut.
Karena memang, Buya Hamka sendiri sudah menganggap AR. Sutan Mansyur sebagai guru sejati dan menjadikannya sebagi idola sepanjang masa. Bahkan, ide-ide untuk menulis karangan itu tidak jarang sebagian besar muncul dari hasil diskusi mereka berdua atau ketika abangnya itu lagi ceramah di atas podium. AR. Sutan Mansyur memang terkenal dengan kejernihan dan kedalamannya dalam bidang filsafat dan sejarah Islam.
Sesampai di kampung halaman, Buya Hamka baru dapat merasakan bagaimana indahnya kasih sayang dari seorang ayah. Jubah putih yang beliau simpan sejak lama di lemari, dipakaikan kepada anaknya, walaupun sedikit longgar. Alangkah indahnya hari jumat itu ketika seorang anak dan ayah berjalan beriringan. Masyarakat sekampungpun ikut berbangga hati ketika menyaksikan anak Tuan Guru telah pulang dari melaksanakan ibadah rukun Islam ke lima. Tidak beberapa saat lamanya setelah itu, Buya Hamka bertunangan dengan anak seorang tokoh adat. Nama anak gadis itu tidak lain adalah Siti Raham yang ketika itu baru berumur empat belas tahun.
Berlanjut.................................
1.3. Masa Dewasa
Salam Hangat Saya @suhadi-gayo kepada Punggawa dan Pemilik Akun Steemit:
NO | USERNAME | JABATAN
1 | @busy.org |
2 | @levycore | Curator Indonesia
3 | @aiqabrago | Curator Indonesia
Buya Hamka tokoh Nasional dan internasional yang sangat luar biasa dan kharismatik....
Sepakat.......Sebagai Putra bangsa indonesia, kita sangat merindukan ketokohan seperti beliau....