Trending dan pesantren
Tahun 1995, saya dimasukkan pesantren. Kata orang tua saya, agar saya bisa lebih mengerti ilmu agama, sesuatu yang sayangnya mereka tidak bisa mengajarkan sendiri. Saat itu banyak teman saya yang bertanya apa itu pesantren. Banyak juga yang heran mengapa mau masuk pesantren. Kan pesantren itu model pendidikan kuno. Orang-orang modern kan harusnya mengidolakan barat, menjadikan Amerika kiblat pendidikannya. Di Amerika kan tidak ada pesantren. Itu bikinan Indonesia saja. Sudah kuno, cuma diakui lokal pula. Apa bagusnya?
Saat itu saya tak banyak menjawab. Perintah orang tua, kata saya sekenanya. Teman-teman saya pun mulai berhenti bertanya. Tapi ada juga yang masih sempat menyisipkan kekhawatiran: "Kalau sudah di pesantren jangan berubah ya. Sering-seringlah main ke sini. Biasanya orang kalau sudah masuk pesantren gak mau lagi main dengan orang yang bukan santri" Dengan demikian mereka ingin menyampaikan bahwa pesantren waktu itu adalah tempat asing yang wajib diwaspadai. Manusia-manusia yang masuk ke sana otomatis akan mengalami perubahan seperti perubahan busana, lama waktu shalat, orientasi masa depan dan pertemanan. Bukankah di zaman itu bisa dihitung dengan jari wanita yang menutup kepalanya di Indonesia? Maka masuk pesantren saat itu bukanlah sesuatu yang trending. Malah mungkin bisa dibilang aneh.
Saat ini, pesantren-pesantren modern berdiri menjamur. Orang tua berebut memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan Islam itu. Jangankan kepala ibu-ibu, kepala anak bayi perempuan pun harus ditutupi. Bahkan saya yang sudah menutup kepala sejak tahun 1995 pun terkadang kena protes: "Jilbabmu kurang panjang, gak syarì. Perempuan jangan pake celana, menyerupai lelaki" God, help us!
Ah ya, sekarang ini menjadi umat Muhammad sedang trend. Apa-apa harus diwaspadai agar tidak menyimpang dari ajaran beliau. Salah? Tentu tidak. Asal kita semua paham, bahwa mengikuti Nabiyullah itu harus karena kesadaran dan pehamanan, bukan karena trend. Maka coba kita tanya diri masing-masing kembali. Mengapa kita menutup aurat, mengapa kita menuntut semua restauran harus mencantumkan label halal MUI dan mengapa kita berebut memasukkan anak-anak kita ke lembaga-lembaga hafidz atau pesantren. Karena paham atau karena trend?