TRAVEL STORIES: Yogyakarta

in #indonesia7 years ago

Jadi ceritanya beberapa tahun lalu, aku membuat kesepakatan dengan diri sendiri untuk menulis sebuah “kenang-kenangan” setiap kali mengunjungi tempat-tempat baru. Namun karena terlalu banyak tempat yang dikunjungi (showing off is not a crime yet, so let me do it :p) dan kurangnya disiplin waktu, maka kesepakatan itu pun tak terlalu konsisten dilakukan.
Tapi aku tahu, ada banyak hal yang ingin kutuliskan tentang Yogya. Mulai dari budayanya, wisata kulinernya hingga pesona mistisnya di mata turis lokal maupun internasional. Aku pikir, aku akan terinspirasi dengan malioboro, prambanan, gudeg, atau angkringan yang terkenal itu. Ah, lagi-lagi aku salah. Kali ini entah jin atau malaikat yang menyerongkan pikiranku ke arah tema monarki. Duh Gusti, kenapa tema ini lagi?
Sebagai seorang yang dibesarkan dengan mimpi demokrasi, tentu aku tak terlalu bersimpati dengan monarki, apa pun bentuknya. Bahkan dengan sejarah Yogyakarta yang “meminjamkan” tanah dan istana untuk kelangsungan NKRI (apa pula, istimewanya, toh Bukittinggi juga melakukan hal yang sama dan tidak ada keistimewaan yang diterima Bukittinggi atau Sumatera Barat, bahkan dalam bentuk nama!).
Jangan salah, aku menghargai Keraton, Sri Sultan dan abdi dalam. Namun jika aku harus tinggal di tanah dimana seorang manusia lain lebih diagungkan, mendapat banyak keistimewaan dan kemewahan hanya dan hanya karena nasabnya, otomatis aku akan berkata: Waaaaiiiitt! Are you crazy??!!
Aku beberapa kali mengunjungi Yogya, namun sebelumnya mungkin aku terlalu asik bermain pasir di Parangtritis atau menghayati kenikmatan gudeg Yu Jum. Sehingga tak terlalu memperhatikan corak mental dan kultural penduduk setempat. Mereka yang tabah menjajakan barang kepada turis, mereka yang tertawa lepas walaupun barang dagangannya tak laku sepanjang hari. Riuh rendah malioboro hingga malam adalah bukti betapa nrimo masyarakat Yogya. Itu adalah kepasrahan yang luar biasa, bentuk penerimaan yang tak berbatas, ciri kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Pemberi. Sesuatu yang sulit sekali diterima oleh akal manusia yang dididik mengedepankan rasionalitas, seperti aku. Sampai di sini, tentu mentalitasku dan masyakarat Yogya hampir bisa dibilang sangat bertolak belakang. Akal menjadi rajaku, buat mereka raja adalah Sri Sultan. Lalu mana yang lebih baik sebagai raja, akalku atau Sri Sultan?
Penerimaan status abdi dan raja dalam konteks Yogya bukanlah mitos atau keadaan yang dipaksakan. Ia adalah realita yang mungkin tidak akan dipahami semua manusia, terutama manusia yang katanya modern. Kecanduan kita akan persamaan hak dan kewajiban membutakan mata kita bahwa di alam demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalis, memang bukan nasab yang memegang kendali tapi uang! Persamaan hak dan kewajiban secara murni adalah omong kosong, sama omong kosongnya dengan berusaha menjadikan dua manusia satu individu yang sama kepribadiannya. Tidak mungkin, tidak akan pernah terjadi. Demokrasi tak jarang hanyalah fatamorgana yang disangka air di padang gersang. Boleh jadi dalam Pemilu, suara seorang rakyat jelata tanpa nama dianggap sama nilainya dengan suara pengusaha besar atau pejabat tinggi. Tapi hanya itu saja. Dalam kenyataan kehidupan, sang rakyat tetaplah rakyat yang kekuasaannya sangat terbatas dibandingkan dua tokoh lainnya. Akses pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, makanan, (dan bahkan mungkin) keadilan hukum? Bahkan sistem sosialis yang katanya menjunjung persamaan dalam bidang ekonomi tak akan pernah sanggup menciptakan persamaan untuk semua. Karena siapa pun yang berkuasa salam sistem tersebut penguasa bakal menjadi “pembagi kesejahteraan”. Lalu bukankah sang penguasa mudah saja menjadi diktator, mendikte semua seenak perutnya? Maka memang, manusia bisa berargumen, berhipotesa tentang sistem masyarakat yang terbaik. Namun sesungguhnya tak akan pernah ada sistem yang hanya membuahkan manis untuk semua pihak. Sistem masyarakat yang sempurna adalah mimpi, karena kesempurnaan sebuah sistem ada pada pelaku-pelakunya bukan hanya melulu pada sistemnya.
Jika diambil dari perspektif di atas, penerimaan masyarakat Yogya akan Keraton bukanlah sebuah kedunguan atau keterbelakangan. Itu hanya sebuah pilihan yang semestinya tidak hanya dihargai namun juga didukung karena memang demikianlah budaya jawa yang hierarkis. Menuding Keraton Yogya sebagai bentuk anti demokrasi dan menodai pancasila sebenarnya tidak hanya melukai perasaan Keraton namun juga kawula dan masyarakatnya yang menerima dengan ikhlas kedaulatan Sri Sultan.
Ah aku ini bukan orang Yogya, tak pernah pula hidup di sana. Bagaimana pula aku bisa menghayati pikiran dan jiwa mereka di sana?


Pict from: http://yogyakarta.panduanwisata.id/

Sort:  

saya sudah lama ingin ke jogja tapi belum kesampain , oh iya di tempat kami juga banyak hal menarik, jika ada waktu maka berkunjung lah :)

saya sudah pernah ke aceh @ilovegayo, dulu pernah kerja di meulaboh. sudah ke banda dan sabang. keren!

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 54357.85
ETH 2282.80
USDT 1.00
SBD 2.31