Rokok Hari Pertama Usai Berbuka

in #indonesia6 years ago (edited)

Sebagai insan yang kerap menjalani peran sebagai Sumitro Rojali (Suka Minta Rokok, Rokok Jarang Beli) aku tergolong perokok berat yang mengganggu mata kawan; maksudku, mata-pencaharian. Tapi sudahlah… kita tak sedang akan membahas hal itu sekarang. Memang masih seputar rokok. Bedanya, kali ini aku hendak berkisah tentang rokok yang kuhisap tiap kali usai berbuka puasa di hari pertama bersama rentetan collateral damage yang mengikutinya.


Image Source

Meski ada banyak kata yang kukenal untuk membahas sensasinya, kata tengéng yang berasal dari Bahasa Gayo tampaknya berada di urutan pertama untuk menjelaskan kenikmatan yang kutuai. Uraiannya begini, ada sensasi pusing hadir bersama rasa nikmat menghentak dari dalam kepala, menyajikan nuansa anteng. Sensasi ini yang membuatku menantikan Ramadhan, soal bonus dan doorprize pahala tak masuk hitungan. Sebab kupikir itu samasekali bukan urusanku.

Menjalani Ramadhan dengan semangat pro-bonus tak pernah masuk dalam hitunganku. Sedari kecil, Bapak selalu mengajarkan bahwa puasa adalah ibadah yang paling siri, tersembunyi. Cuma pelaku dan Tuhan yang tau. Maka, larutlah aku dalam misi pribadi setiap Ramadhan tiba. Di kampung pelosok Tamiang yang bernama Sukamulia (saat itu masih dalam wilayah administratif Kecamatan Kejruen Muda), aku menikmati Ramadhan sebagai kebebasan ekstra. Toh kebebasan yang kerap menyeleweng menjadi kenakalan tersebut masih berada dalam bingkai Negara Persatuan Republik Indonesia dan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Terlebih lagi, para orangtua juga sadar, meski kami baru pulang menjelang waktu sahur, kenakalan yang kami lakukan tak 'kan jauh berbeda dengan kenakalan yang telah mereka jalani saat seusia kami. Kajian mendalamku soal kenakalan menghasilkan jawaban yang berujung pada karakter genetik. Hehehehehehe...

"Buah tak 'kan jatuh jauh dari pohonnya kecuali seekor monyet menyantapnya di pohon lain," pikirku.

Mencoba mencuri kesempatan memasukkan suara ke mikrofon mushalla dusun di antara dominasi anak-anak yang berusia lebih tua, mulai begadang dan mencoba merokok. Ya… Ramadhan menjadi bulan yang menjelma sebagai akomodator kenakalan di masa usia sekolah dasar. Apakah kemudian Ramadhan menumbuhkan kebrutalanku? Ternyata tidak. Setelah kupikir, para orangtua di kampung memang memberi sedikit celah kebebasan kepada kami.

Setidaknya di masa itu, kami memanfaatkannya untuk berinteraksi lebih intensif. Tanpa sengaja telah kutemukan bahwa karakter kawan yang kukenal di siang hari ternyata jauh berbeda dengan menjalani malam bersama. Sebut saja Mulyanto yang kukenal kalem, ternyata saat malam hari, kekalemannya menjelma menjadi dinamilisator. Dia tau kapan kami mesti mencuri ubi-kayu, tebu atau jagung milik warga untuk memperkecil risiko. Ia mampu meredam semangat kami yang kerap tak terkendali saat gairah menjarah kebun orang sukar terkendali.

Atau, Indra yang kukenal degil, ternyata menyimpan sisi kecabulan saat menggoda anak-anak perempuan seusia kami. Biasanya dimulai dengan menyiramkan air ke tempat wudhu perempuan. Ritual tingkah-polahnya berlanjut dengan menyenggol gadis-gadis yang sedang tumbuh itu untuk membatalkan wudhu’ mereka. Kerap kali kulihat ia sengaja menyentuh organ genital mereka. Ia baru berhenti saat para perempuan yang sedang tumbuh itu mengadu kepada orang dewasa.

Di masa itu pula aku mulai belajar sedikit mengenai life-skill, membuat obor dari bambu. Saat itu minyak lampu (minyak tanah) masih mudah dijumpai di kedai Bik Sakem, tetanggaku yang berjualan kebutuhan harian warga. Aku menemukan fakta menarik mengenai inovasi di Bulan Suci nan penuh berkah, rahmah dan ampunan ini. Bagi kami, di sakralnya Ramadhan pula kata penyalahgunaan menjadi akrab saat mencuri minyak lampu di rumah masing-masing untuk menyuarakan dentum dari moncong meriam-bambu, sebelum karbit masuk sebagai inovasi letusan di kampungku.

Saat kami mengaji, kulihat seorang kawan yang menggunakan alat-penunjuk-huruf-hijaiyah dengan lidi aren. Ukurannya lebih besar. Esoknya lagi, ada yang membawa lidi spiral. Setelah kutanya, ternyata itu lidi dari pelepah sawit yang terhambat pertumbuhannya. Kukira perkara lidi ini sudah selesai. Ternyata belum, beberapa hari berselang, seorang kawan lain membawa lidi yang berwarna belang. Syukurlah ia bersedia menjelaskan teknik pembuatannya.
Di masa itu, ketrampilan hidup menular dari pergaulan kami, anak kampung pelosok yang terhimpit keserakahan PT Mopoli Raya dan Pertamina. Mereka menyedot saripati Bumi Tamiang di permukaan dan lungkik tanahnya, tapi terlalu pelit menyumbangkan dana untuk membangun jalan yang hingga besok masih berupa aspal compang-camping. Kebobrokan tersebut masih ditambah dengan aparatur pemerintah yang mengalami kejatuhan potensi di satu sisi, tetapi menuai kebangkitan impotensi di sisi lain.

Tapi sudahlah… pemerintah memang selalu terlalu sibuk memikirkan kebahagiaan mereka dan para kroninya saja. Mereka cenderung lebih peduli pada rakyatnya saat tertimpa masalah saja, atau saat berupaya membangun reputasi. Mari menikmati keriangan yang tersisa dari kenangan kita masing-masing tentang masa kecil, terutama yang berlangsung selama Ramadhan.

***
Hidup di kampung menjadikan masakecil sebagai wahana bermain yang lebih seru dari Mobile Legend. Sebab, game virtual tak bisa menangkap burung. Di masa itulah aku menginduksi kemampuan membuat jerat burung, memancing belut, menyuluh (menangkap burung di malam hari), memanjat pohon kelapa dan mencungkil kopra hingga tangan melepuh kapalan.

Kami tumbuh dengan meng-upgrade kemampuan tubuh dan pikiran. Olahtubuh kami jalani dengan permainan fisik semacam galasin (gobak sodor), kasti, patok lele, sambar elang, kuda tunjang dan tentu saja bolasepak di lahan persawahan yang baru usai dipanen. Kamilah anak-anak zaman dahulu yang hari ini gamang melihat jenis permainan anak-anak zaman sekarang yang berinteraksi tanpa tatap-mata. Generasi yang sukar dibaca gelagatnya karena terbiasa memendam ekspresi jiwa saat usia masih terlalu dini.


Image Source

Tiap pulang ke Kampung Sukamulia, aku selalu menyusuri jalan kenangan yang belum banyak berubah. Jalanan berbatu, aspal compang-camping bersama benang-benang kenangan yang melintas dalam warna dan kisah. Kudapati tiada lagi kanak-kanak berjumpalitan di tumpukan jerami, tak ada layang-layang menghias dirgantara, halaman rumah Wak Pangin tak lagi diramaikan kanak-kanak bermain patok lele dan galasin; yang memberi tanda bahwa tiap mata kanak-kanak mulai makin jarang bersitatap.

Kenangan tentang kegiatan ciblon (berenang) di muara-parit perkebunan sawit juga hadir tiap Ramadhan tiba. Aku selalu riang saat menunggangi punggung kerbau milik Kek Paidi atau lembu milik Tono saat mereka menggembalakan kaum ruminansia itu ke perkebunan sawit milik perusahaan pemegang HGU. Lahan Nenek-Moyang yang mereka garap sewenang tanpa pernah mengajak rakyat bersepakat.

Teknologi yang menunggangi derap-langkah zaman yang menjauhkan manusia dari sekitar dan sesama. Tak ada yang mampu menghentikan gelisahku, dan kupikir, tak banyak yang mau. Bukan sebab tak berdaya, melainkan telah nyaman menitipkan hak-asuh-anak kepada game-online, Playstation dan pesawat televisi. Zaman berubah, tapi semestinya ketrampilan untuk mengelola kebahagiaan yang sederhana harus tetap ada. Meski dengan sebuah ketapel untuk mencuri daya terbang seekor burung sekalipun; sebuah pencurian terkonyol, sebab ketrampilan terbang kaum aves tak berpindah pada sang penembak saat sasaran terkapar sekarat diterpa sebongkah batu.

Sort:  

Aku pernah "angek" Bg, karna penunjuk ngaji kawan aku dari bulu landak... Hihihi.. lama gak singgah di postingan ab, jadi kangen... Eaak..

Aku jadi terintimidasi sebab bukan kaum Hawa yang sedang kangen padaku...

patah ta kheim droneuh ter intimidasi😭😂

Hahahahahaha...
Meunyoe awak inong nyang peugah meusyen keu lon, that galak hate. Tapi nyoe awak agam... that yoe teuh...

Kaum hawa udah ada yang kangen setiap malam... Hihihi. Tapi yang kaum Adam ini lah, pengagum tulisan @sangdiyus..

Hahaha.. Cerita konyol tapi keren. Akupun dulu mirip-mirip soal ganggu anak cewek pas bulan Ramadan.. Khkhkhkh

Aisss...
Pengakuan yang luarbiasa. Memang susah membendung gejolak hormonal.

Pengakuan yang fatal, dilihat kaum itu nanti kena cambuk..

masa masa tidur di meunasah dan buat kerusuhan saat sahur. rebutan peh tambo
seru sepertinya hidup masa kecil itu yang pengem kita beli untuk anak anak sekarang pun jarang ada

Betul. Kupikir tak adil kalau anak-jameun-seulawet-now tak mengalami manisnya madu masa kecil kita...

Diyus, ente harus rasakan sensasinya merokxx di Brunei 🇧🇳 Oke? Indahnya hehe

Siap, Bang...
Biasanya kalau Abang bilang 'harus' tiket PP sudah tersedia.
Hahahahahahaha...

Postingan sama komennya bikin saya senyum-senyum sendiri😊...👍👍👍

Terimakasih sudah singgah. Kalau boleh, penulisnya mau minta jatah satu senyum. :D

Ah diriku sudah pensiun merokok hehe

Mantap, Bang... aku cuma bisa pensiun rokok 13 jam.

Rokok dapat membunuhmu! Seruan yang ditulis dibungkus rokok. Hehe
Tapi, perokok aktif semakin produktif

Hahahahahaha...
Segala hal yang ada di luar diri kita bisa membunuh. Misalnya Polisi dan Tentara. Mengapa tak ada tulisan "Polisi membunuhmu" atau "Tentara membunuhmu" di baju mereka?

Hhahaha
Yah, itu sudah pasti akan beda lagi pemahamannya bang wkwkw
Yang intinya Rokok tidak bagus untuk kesehatan. Hana pat bantah nyan bang @sangdiyus hehe

Nah... kenapa nggak ditulis saja, "Rokok nggak bagus untuk kesehatan"?
Hehehehehehe...

Itu kembali lagi sama penulisnya. Karena banyak kosa kata yang konkrit untuk sebuah seruan. Contoh dari saya bang @sangdiyus : Rokok dapat membunuhmu dan isi kantong mu! Hahaha

Aku terus terang nyari komentar yang bisa dikomentari.. Disini komen bijak tentang postingan gak mode, semua udh terkoment dengan sendiri ya.. Haha.. Btw perkenalkan saya "Master Patok Lele, Penjual layang-layang homemade, dan Prajurit Artileri Ramadhan". Hahaha

Salam hormat, Master...

Lebaran aja bg

Mantul, mantab betul!
Sepakat, ketrampilan mengelola kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sederhana itu harusnya dipertahankan terus. Biar jadi manusia yang selow seutuhnya.

Selow memang penting. Juara kehidupan adalah mereka yang selow menjalani

menjerat burung tumpit di sarangnya sendiri, memancing belut di depan pintu rumahnya sendiri, menggali isi perut bumi di depan mata masyarakatnya sendiri, setidaknya untuk belut dan burung kita beri umpan untuk bisa meraih hasil sedangkan PT Mopoli raya renggut semuanya tanpa umpan apapun.

masa kecil kita terlalu indah untuk dilupakan. sayang sekali anak anak sekarang tak lagi bisa menikmati keindahan serupa itu.

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 62405.22
ETH 2436.36
USDT 1.00
SBD 2.62