RA Kartini Bukan Pahlawan, Cut Nya’ Dhien Juga
Mari melihat Aceh hari ini ketika segerombolan orang yang menganggap diri sebagai pahlawan, ironisnya mereka merasa menjadi pahlawan semasih hidup. Lebih ironis lagi ketika mereka, dengan semangat kepahlawanan itu, mengklaim bahwa golongan atau gerombolannyalah yang memiliki hak untuk memimpin gerak langkah pembangunan Aceh. Dan… rantai ironi tersebut berakhir dengan kenyataan bahwa mereka telah memperpahlawankan diri dan kelompoknya sendiri.
Apa yang lantas kita terima sebagai Rakyat Aceh? Lihat saja di sekeliling, segala hal yang berkaitan dengan pembangunan tampak terbengkalai, menyebalkan dan cuma bisa dijadikan bahan tertawaan saat seorang komik membawakan materi stand-up komedi. Atau, menjadi bahan ‘garukan’ para seniman di panggung untuk menggaruk gatal yang ada di tubuh masyarakat.
Itulah kepahlawanan yang dilandasi pemahaman bahwa mereka yang berperang mengangkat senjatalah yang memiliki hak terhadap akses menjalankan pembangunan untuk meraup keuntungan dan menyingkirkan cita-cita hajat hidup orang banyak. Golongan yang menafikan peran diplomasi para advokat rakyat yang sibuk mendata korban konflik, golongan yang menafikan peran demonstrasi mahasiswa memprotes kebijakan pusat yang despotik dan golongan yang tak menganggap penting mereka yang berjuang merekam penindasan Jakarta terhadap Aceh.
Baiklah, kembali saja kita membahas mengenai kebukanpahlawanan Cut Nya’ Dhien dan RA Kartini. Sebab selama ini peran Kartini yang menulis setumpuk surat untuk kawan-kawannya di Eropa tentang pembelakangan kaum perempuan dalam masa kolonial Belanda tak dianggap sebagai perjuangan. Aktivitasnya mendidik kaum perempuan dalam keterkungkungan tembok tradisi Jawa yang patriarkis bukanlah perjuangan pembebasan.
Jadi, apakah kesinisan di atas sesungguhnya menjadi penjelas kepahlawanan Kartini dan kebukanpahlawanan Cut Nya’ Dhien? Ohohohohohoho… tentu tidak, Sodara-Sodari! Masih tidak! Dan tetap tidak! Perlu kutegaskan sekali lagi, kepahlawanan bukan milik kaum perempuan dan tak ‘kan pernah! Titik!
Bagiku, jasa Cut Nya’ Dhien adalah wujud nyata kebebasan perempuan Aceh dalam mengekspresikan diri dalam lingkup tradisi yang mempersilahkan manusia tanpa memandang jenis kelamin dalam berperan memperjuangkan pembebasan Aceh, bukan Indonesia. Sebab, saat itu Indonesia sedang entah dimana. Sementara aktivitas RA Kartini adalah upaya maksimal dalam mengekspresikan kaum perempuan dalam segala batasan kaum patriarkis yang mengungkung hak kaum Mamakku untuk berpartisipasi dalam mengelola kehidupan dan berjuang berdampingan bersama kaum Bapakku.
Lantas, jika kedua perempuan berjasa ini memiliki peran krusial dalam masyarakatnya masing-masing, mengapa aku menyatakan mereka bukan pahlawan?
Jika aku boleh berargumen, landasan pemikiranku yang mengklaim kebukanpahlawanan RA Kartini dan Cut Nya’ Dhien kulandasi dengan Kaedah Bahasa Indonesia yang Konsisten dan Ideal (KBIKI). Saat lelaki menjadi jurnalis, ia disebut wartawan; Sementara, jika perempuan menjadi jurnalis, ia disebut wartawati; Saat lelaki menjadi pekerja di sebuah jawatan disebut karyawan, maka perempuan yang bekerja di sebuah jawatan disebut karyawati.
Nah… jika RA Kartini dan Cut Nya’ Dhien yang notabene perempuan memiliki jasa dalam perjuangan, mereka tetap tak layak disebut pahlawan; Sebab, menurut KBIKI, mereka semestinya disebut Pahlawati!
PS: Selamat memperingati hari kelahiran untuk Muhazir (yang bukan Ma'op) dan Pak Ryamizard Ryacudu!
Siapa pun itu, yang terpenting wanita adalah ibu kehidupan. Patut kita hargai semuanya.
Sepertinya Anggrek belum baca sampai tuntas. Atau, cuma baca judulnya? Hahahahahaha...
Saya kan memberi pernyataan.
Siap. Kuterima pernyataannya. Nyatakanlah sekarang juga...
Hehehe. Lucu dan sangat menarik, kata kuncinya di "Kata Dasar" dan "Akhiran wan/wati". Kajiannya jadi bingung kita ya, saya rasa "PAHLAWAN" itu adalah kata dasar jadi tidak memerlukan akhiran lagi.hehe. Maaf untuk semarakkan aja kelucuannya.
Kemungkinannnya masih 50:50. Bisa saja kata dasarnya pahla->pahala->fahala. Konsepsi kata pahlawan dalam terminologi Inggris yang disebut 'Hero' juga pernah mendapat kritik dari kaum feminis yang mengganggap kata tersebut berasal dari kata 'He' dan 'ro'. Kata 'hero' dianggap berkonotasi maskulin karena 'he' berarti dia (lelaki). Kaum feminis mengajukan untuk menyebut 'Shero' bagi pejuang perempuan. Kata 'history' juga mendapat kritik karena dianggap sarat makna maskulin; 'His' yang berarti miliknya (lelaki) dan 'story' yang berarti cerita atau kisah. Kaum feminis juga mengusulkan istilah 'herstory' untuk menyeimbangkan maskulinitas istilah 'history'. Kekuasaan kaum lelaki memang cenderung menciptakan atau mengkonstruksi bahasa yang mengesankan maskulinitas. Meski sering luput, istilah bahasa tetap berkembang seiring gerak masyarakat dan perkembangan teknologi.
Terimakasih sudah singgah dan berkomentar, Pong...
Sama Bg, aku setuju juga.. makanya sebenarnya kitab KBIKI itu sebenarnya kurang lengkap.. masa pemuda-pemudi ada, tapi remaja-remaji koq gak ada.. Tengku dan tengki pun gak ada juga.. hehehe.. 🙋🙋🙋
Tengku dan Tengki nggak bisa masuk ke KBIKI karena berasal dari Bahasa Aceh. Mesti ada KBAKI (Kaedah Bahasa Aceh yang Konsisten dan Ideal), Bons...
Hehehehehehehe...
Sosok dua wanita yang hebat dan jasanya akan selalu dikenang sepanjang hayat. Selamat hari kartini, Salam bg @sangdiyus
Terimakasih. Masih banyak perempuan hebat Nusantara lain yang kerap luput dari sensor kamera, karena dominasi 2 perempuan hebat ini. Salam kenal, Bung Riezaldi. Terimakasih sudah singgah.
sama" @sangdiyus salam kenal kembali :)
Aku suka difinisi KBIKI nya bg... :)
Kalau memang udah suka, lamarlah terus, jangan sampai diambil orang...
Ibu kita kartini putri sejati, putri Indonesia tercipta siapa yang tek kenal nama dan jasanya, pahlawan Nasional dengan Ilmu pengetahuan yang ia miliki mencoba membangkitkan semangat kau peremluan untuk bangkit bersama di Negeri Indonesia tercinta.
Begitu pun cut nyak dien adalah seorang pahlawan wanita kita yang gigih memperjuangkan kedaulatan bangsa terhadap penjajah.
Great tulisannya.! Fool me back and upvote and resteem ya kak. Thanks!
Terimakasih sudah singgah. Perempuan hebat mewarnai zaman dan peradaban.
Beda lubuk beda ikan, lain ladang lain belalang, begitu juga medan perjuangan, masing masing berjuang sesuai tantangan di daerahnya. Semua adalah pahlawan...
Pahlawati...
Meunan lon baca bagian akhe, that geupap.! Tulisan nyoe lagee meusudok lam punggong..hhhhh
Haha, sama! Phon lon meujak protes, tapi lon baca sampe abeh. Haha.
Hana jadeh le lon protes, tapi meujak kituk si go teuman nye mereumpek!
Haha.
Translation:
Samaa. Awalnya saya mau protes, tapi saya coba baca sampai tuntas. Haha.
Ga jadi deh protesnya, tapi mau jitak sekali nanti kalo ketemu. Haha.
Boleh, Kakak... boleh jitak. Semoga jitaknya jitak-jitak gemmmesss...
Hahahahahahaha...
Lon harap tulisan nyoe sep syarat untok tamong lam khazanah jagad lempap...
Haha..sep bereh ulasan bung @sangdiyus. Rencana aku mau tulis juga tentang Kartini dan Islam, tapi bukan dari sudut kontranya, melainkan dari sudut pandang seorang ulama moderat tiga zaman yang mengagumi sosok Kartini.
Hajar teros! Makin banyak sudut pandang, makin banyak santapan pikiran. Selamat menulis.
Hahahha....
Apam...
Stand Up juga rupanya, Joke akhir nya itu bikir Brrrrrrrr... Hahhahhaa
Hahahahahahaha...
Missiku memang menghancurkan asumsi pembaca di bagian penutup, Jack...