Hadiah untuk Diri

in #indonesia6 years ago

Mungkin engkau kerap menjadi orang yang baik. Mengunjungi orang sakit, memberi hadiah di hari kelahiran kawan atau orang-orang tercinta (meski kadang bentuknya cuma ucapan selamat), mengunjungi kawan yang sedang berduka atau berpartisipasi pada perhelatan kehidupan, akil-baligh dan kematian. Begitulah. Kebaikan pada orang lain yang kerap membuat kau lupa untuk berbuat baik pada diri sendiri.

Mungkin tiap kau sudah terlalu bahagia menghibur yang berduka, mungkin pula merasakan ekstase bahagia melampau batas setelah berpartisipasi pada momen perayaan hidup orang lain. Sebegitu inklusifnya cara kau mencerap bahagia orang lain menjadi bahagia sendiri. Semudah men-download aplikasi di Google Playstore untuk melengkapi peralatan di smartphone.

Sebut saja sikap yang membuat candu itu naluri bahagia. Senyum membuncah, binar mata, jabat erat, pelukan hangat, dekapan gemas, tepukan di bahu, tatapan yang berbalas hingga sebuah toyoran mesra ke kepala. “Woy setan, masih hidup kau rupanya?!” mungkin begitu gejolak rindu mewujud dalam sebaris kalimat yang cuma boleh diucapkan oleh atau pada orang tertentu saja.

Sementara, untuk diri sendiri kau kerap lupa merapikan penampilan, mengganti alas kaki yang sudah buluk atau sekedar pangkas tepat waktu sekalipun. Mungkin inilah yang bukti nyata bahwa mata tak tercipta untuk menatap diri sendiri. Bahkan, meski cermin telah tercipta 8 milenium silam, khitah itu tak dapat lekang. Lebih nikmat memperhatikan dan membahagiakan orang lain ketimbang merapikan kumis dan memotong kuku sendiri.

Terkadang tubuh menegur diri. Meski tubuh dan diri selalu berada di koordinat yang sama, diri kerap melupakan keberadaan tubuh. Ketidaksejalanan tubuh dengan diri menimbulkan pertentangan. Kau bisa saja sekonyong demam setelah terlalu gembira mendampingi kawan begadang. Bahkan dalam demammu masih sempat engkau menjemput seorang kawan yang baru tiba dari kota lain.

Hal yang membuktikan bahwa energi-kinetis-rindu lebih tinggi ketimbang energi potensialnya. Demammu seolah lenyap oleh permintaan menjemput kawan. Sirna begitu saja. Di sebuah terminal asing bagi kawan yang berkunjung ke kotamu, demam yang tengah bertahta engkau semayamkan begitu saja dengan seulas senyum bermakna: “Apa kabar?”, “Selamat datang”, “Kau tampak sehat”, “Senang rasanya bisa melihat kau lagi.”

Bahagia begitu mudah bagimu tanpa perlu mengumbar slogan, “Jangan lupa bahagia!” Bahagia menjadi napas tiap tindakmu. Mewujud dalam diri kawan, sanak-saudara, handai-taulan, karib-kerabat hingga 40 tetangga di sekitar rumahmu. Bahagia sebagai tindak, bukan lagi mengendap sebagai konsep yang kau rancang sedemikian rupa dengan segala bentuk ke-seolah-an. Seolah senyum tapi memendam dendam, seolah berduka padahal batin bersorak atas duka orang lain, menampakkan simpati untuk menopengi antipati.

Demikianlah engkau menjadi bagian dari lingkung pergaulan di sekitarmu. Menebar bahagia saja kerjamu. Bahagia atas bahagia orang lain, tapi menyimpan duka sendiri sebagai tabungan pengasah sabar. Sabar yang menjadi belati Damaskus di batin, senjata yang kau hunus saat dengki menyerbu. Bilahnya selalu kau tikamkan pada tiap tubuh balatentara prasangka yang hendak menyerbu kerajaan sucimu.

Kau teramat mencandui kebiasaan menebar bahagia dari ‘aku untuk orang’. Perspektif memberi yang sudah seperti napas. Sementara lupa mempraktikkan sikap dari ‘aku untuk aku’. Alpa memberi hadiah bagi diri sendiri.

Mungkin sekedar menyantap makanan favorit, membeli gitar yang sudah lama engkau idamkan, menonton, bermalas-malasan sehari penuh, memberi jeda begadang bagi tubuh setelah sekian lama meniti malam untuk menyemai benih khayal yang selalu sungguh berbahaya dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Atau, kembali mengamalkan 34 sujud dalam sehari.

Sort:  

Dear friend join this group and get 40 to 50 upvotes daily. Guaranteed.
https://t.me/joinchat/F5AzkgzQv5FIa3Loj_1hkw

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 63615.94
ETH 2475.04
USDT 1.00
SBD 2.54