Acehnologi bab 11 : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU
Salah satu isu dalam dunia pendidikan dikalangan ummat islam adalah merumuskan paradigma ilmu, yang akan dijadikan sebagai dasar filosofis perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu bentuk perkembangan dunia ilmu pengetahuan di Aceh adalah kemunculan kampus-kampus negeri di lingkungan Kementrian Agama, yaitu UIN Ar-Raniry (Banda Aceh), IAIN Zawiyah Cot Kala (Langsa) dan STAIN Malikussaleh (Lhokseumawe) dan STAIN Tgk. Chik di Rundeng (Meulaboh).
https://goo.gl/images/aXqLwe
Pada bab ini menelaah tentang penerapan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (IIP) dalam proses dunia pendidikan di Aceh. Adapun tujuannya adalah untuk mencari bagaimana titik temu perkembangan studi islam dengan keadaan dunia pendidikan pada era kontemporer ini. Dari persoalan dan tujuan tersebut diharapkan studi ini mampu untuk membentuk paradigma (pola piker) dalam membangun pendidikan yang bernuansa islami.
Adapn persoalan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lebih banyak diterapkan di Malaysia. Karenanya tidak mengherankan, wacana Islamisasi Ilmu Pengetahuan masih belum begitu menggema di Indonesia. Dalam konteks ini, studi Islam di Aceh pun tidak sedikit dinamikanya, tidak hanya pada lembaga tinggi seperti IAIN atai STAIN, tetapi juga lembaga dayah-tinggi yang berusaha ingin mengkaji islam.
Diskusi mengenai Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul di rantau Asia Tenggara pada era 1970-an. Saat itu, muncul keinginan dari beberapa sarjana muslim untuk menumbuhkan sebuah pemikiran bagaimana mengintegrasikan ilmu dalam kebutuhan era modern, yang mampu menarik umat islam pada aspek tauhid. Secara intenasional, ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul dari sarjana terkemuka yakni Ismail Al-Faruqi melalui IIIT (Internasional Institute of Islamic Thought) pada tahun 1981, saat itu secara berkala IIIT mencoba merancang bagaimana epestemologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan berikut dengan langkah-langkahnya. Bahkan disebutkan IIIT telah menerbitkan lebih dari 150 buku untuk mewujudkan ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Target dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah menguasai disiplin ilmu pada era modern. setelah itu, dilanjutkan dengan pengkajian secara serius terhadap disiplin-disiplin ilmu tersebut. Harus diakui bahwa ilmu pengetahuan, terutama sains dan teknologi, berkembang pesat pada era modern. Karena itu, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan dapat dikatakan sebagai upaya sarjana islam untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dalam konteks kekinian.
Adapun di Indonesia, pola Islamisasi Ilmu Pengetahuan agak “terlambat” masuk ke kampus IAIN, karena sejak tahun 1970-an, dominasi pemikiran Studi islam didominasi oleh Harun Nasution. Pemikiran Studi Islam yang dikembangkan oleh Harun ini lebih banyak bertumpu pada aspek rasionalitas dan membuka wacana terhadap posisi ilmu kalam dan perkembangan studi falsafah.
Jadi, jika dikembalikan pada agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan, maka substansinya adalah kembali pada hakikat keilmuan yaitu tauhid (keimanan). Dengan kata lain, apapun pola keilmuan yang dipelajari, harus membangkitkan semangat keimanan kepada Allah. Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami ilmu dalam Islam menjadi bagian terpenting dari kemajuan dan peradaban. Sebaliknya jika kita melihat peradaban Islam, maka sebagian besar kemajuan tersebut ditentukan oleh tingkat perkembangan dunia lmu pengetahuan. Agaknya, disini bukan tempatnya untuk melakukan penelaahan sejarah gemilang Islam melalui kesuksesan ilmu. Akan tetapi, yang penting dicatat keberadaan ilmu saat itu sebenarnya menjadi paying peradaban Islam.
Dalam konteks Aceh, kegemilangan negeri ini lebih banyak didapatkan dari khazanah intelektual. dimana perkembangan ilmu pengetahuan di Aceh cukup pesat. bahkan dasar-dasar pemikiran keilmuan yang menjadi agenda Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dikembangkan di Malaysia adalah berasal dari Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Nurdin Ar-Raniry. Karena itu, Islamisasi Ilmu Pengetahuan sebenarnya sudah dimulai di Aceh. Hanya saja, melihat situasi studi Islam di Aceh, baik yang formal maupun tidak, proses ini tidak mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Dengan begitu, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa ada dua tahap besar ketika dilakukan proses islamisasi yaitu mengluarkan manusia dari budaya-budaya yang sudah mengakar di dalam masyarakat. Serta pada aspek politik berupaya untuk tidak memberikan pikiran-pikiran sekulerisme dalam proses islamisasi. Dengan kata lain, Islamisasi dapat diperhadapkan dengan konsep modrenisasi atau bahkan nilai-nilai westernisasi yang muncul di barat.
Untuk membumikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Aceh, pada dasarnya ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, membuka kembali khazanah intelektual klasik. Di sini perlu didirikan sebuah lembaga khusus yang mampu mengkaji secara mendapak aspek-aspek pemikiran dan peradaban dalam sejarah intelektual Islam. Kedua, perlu dilakukan redefinisi “kebutuhan ilmu” bagi masyarakat Aceh. Asal mula isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah untuk menarik lagi ilmu-ilmu pengetahuan pada konteks keislaman. Ketiga, perlu satu upaya membangkitkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan melalui rekonstruksi berpikir dan metodologi dalam studi islam.
Tiga hal di atas tidak akan berhasil, jika tidak ditopang oleh adanya political will dari pemerintah. sejauh ini isu Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau pengembangan ilmu memang belum menjadi agenda utama. Sebab, sejauh ini dana pendidikan lebih banyak diarahkan pada beasiswa bagi rakyat Aceh untuk melakukan studi baik dalam maupun luar negeri. Hal ini dipicu oleh belum adanya struktur berpikir pemerintah Aceh pada pola perkembangan keilmuan seperti awal sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Jadi, dalam membumikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Aceh bukanlah perkara yang mudah. Selain SDM belum maksimal, hal ini juga dipicu oleh tidak adanya format aktivitas keilmuan di Aceh yang bisa menopang ide ini.
Sebagai salah satu paradigma ilmu yang berkembang di Asia Tenggara, proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan telah mendapat momentumnya, melalui para ilmuwan yang menpelajari Islam. Namun, wacana ini belum mendapatkan perhatian khusus di kalangan para peneliti di Aceh. Walaupun, akar-akar keilmuan paradigma Islamisasi Ilmu Pengetahuan, yang dikembangkan di Asia Tenggara, ternyata tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu pengetahuan yang ada di Aceh, khususnya dari sosok Hamzah Fansuri.