Bandung Lautan Seni

in #indonesia6 years ago (edited)

Suatu sore aku di Kota Bandung. Jalanan riuh, tapi trotoarnya tidak. Gedungnya sebagian berdiri angkuh, tapi masyarakatnya tidak. Aku hanya berjalan kaki saja, menyusuri trotoar Jalan Asia Afrika. Ada banyak kekaguman yang aku simpan dalam otak, sebagai ide atau malah sebagai tamparan. Juga banyak keanehan yang aku tinggalkan saja di sepanjang jalan. Sore itu, aku ambil apa yang kurasa perlu saja.

Mentari di sebelah barat Kota Bandung sudah tampak jingga. Deretan gedung lama masa penjajahan tidak pula terkesan kusam, semua ditata dengan penuh rasa bangga untuk menjaga peninggalan sejarah. Detail kunikmati setiap lekuk sudut gedung. Terkadang aku harus sering-sering memalingkan wajah ke kiri dan ke kanan agar pesona Bandung dapat kuserap tuntas.

Kulihat ada gerbang tua yang dibangun ditengah-tengah kota, beberapa meter di atas jalan raya. Dari arsitekturnya tampak itu bangunan juga peninggalan masa penjajahan. Hanya sedikit banyak sudah direnovasi agar tampak lebih menarik. Letaknya pun hanya puluhan meter saja dari mesjid agung Kota Bandung. Tidak jauh dari sana, banyak seniman jalanan menjajakan dirinya dalam beragam rupa.

Sebentar kutumpukan pantatku di atas kursi besi yang sengaja dibangun oleh pemerintah di sepanjang jalan, jumlah kursi yang menghadap ke jalan raya itu kurasa mencapai ratusan. Di sanalah sekira dua puluh menit kuhabiskan dua batang rokok sembari kuamati sosial budaya masyarakat Bandung dari dekat. Ada banyak kesibukan yang kulihat, termasuk penjaja kopi asongan. Segelas kupesan, kunikmati persis di pinggir jalan dan ditemani pengamen.

Semakin matahari akan tenggelam, suasana jalan kota semakin riuh, para pejalan kaki pun semakin ramai. Semuanya bebas menikmati Bandung sore hari dengan cara mereka yang berbeda-beda.

Di tengah riuh kota, di ujung menara mesjid, kumandang adzan magrib memenuhi penjuru kota. Kurumunan masyarakat di alun-alun mulai terberai, sebagian mendekat memenuhi panggilan shalat, sebagian lagi tetap saja sibuk dengan kegiatan duniawi. Aku hanya diam dan tetap mengamati. Bererak menit, aroma malam kota besar mulai tercium tepat di depan hidungku.

Magrib usai, satu persatu jamaah meninggalkan shaf dan kembali berbaur dengan riuhnya dunia malam Kota Bandung. Aku bergerak pulang lewati temaram lampu sepanjang Braga. Trotoar dan cafe kelas menengah atas mulai penuh, dari balik kaca tampak olehku wanita dan pria duduk semeja. Tertawanya kurasa sudah kelewatan, tapi aku maklum, ini kota besar. Pastinya hura-hura adalah primadona.

Agar lebih jelas, sejenak ku pilih untuk duduk di kursi trotoar. Sebatang Dunhill kusulut. Hingga jelang puntung, sedikit dapat kukatakan bahwa Bandung memang ‘Kota Kembang’ yang setiap malam mekar. Aromanya merayap ditindih malam, dan siap dihantarkan kepada sesiapa yang nafsunya sudah memuncak. “Ini kota besar kawan!,”

Sudah, sedikit sudah aku serap atmosfir Bandung. Pantas saja di gerbang kota ada kutipan dari MA.W Brouwer “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”.[]

@pieasant

Coin Marketplace

STEEM 0.18
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 63033.54
ETH 2434.49
USDT 1.00
SBD 2.54