Mengenang masa lalusteemCreated with Sketch.

in #indonesia6 years ago

Macgyver adalah salah satu serial favorit saya, walau zaman sekarang kasus yang diselesaikan oleh Macgyver sudah terasa klise. Hitung-hitung mengenang masa lalu, namun di masa lalu saya tidak menontonnya, karena saat itu saya tidak memiliki parabola. Hal-hal sesungguhnya yang sangat memorabel adalah serial Combat dan Chips serta Friday Night(saya kurang ingat judul film horor ini), dulu tayang di TVRI. Saat itu listrik belum masuk kampung, tetapi ABRI sudah masuk desa untuk mengejar anggota AM(Aceh Merdeka).

Sehingga untuk menonton TV diperlukan aki. Televisinya seperti rumah panggung, macam lemari antik, warna monokrom, intesitas warnanya seperti tepung yang diharburkan di TKP oleh polisi untuk mengenali sidik jari pelaku kriminal. Dan para orangtua mulai merasakan kejahatan moral pada lubuk hati mereka, karena anak-anak membolos mengaji demi menonton televisi monokrom itu. "Tong haramzadah setan," ketus kakek saya. Sebulan kemudian kakek membawa pulang tong setan itu dengan sepedanya, sehingga kami memiliki televisi. Ada berita di dalam program Dunia Dalam Berita yang mengabarkan keberhasilan Mujahidin menyerang konvoi truk tentara Merah Sovyet. Dan saya hampir diberinama Habibullah(artinya: Kekasih Allah) oleh ayah, ia terinspirasi nama seorang Mujahidin yang gugur dalam penyerangan konvoi truk Tentara Merah itu.

Kala seperti ini, saat sedang berbaring atau merokok, saya sering kali memikirkan beberapa hal, yakni: kematian, akhirat, surga, neraka, kiamat, malaikat peniup terompet. Saya rasa apa yang saya pikirkan adalah hal-hal yang amat sederhana saja, misalnya kematian; mati itu amat sederhana, justru bertahan hidup yang rumit. Hal yang agak sedikit rumit adalah tentang qada dan qadar, bagian dari rukun iman. Sejatinya manusia diberi hak otonom oleh Allah untuk menentukan kebebasannya dalam memilih, terutama dalam hal berpikir. Tuhan Tahu Tapi Menunggu, adalah sebuah cerpen karya orang Rusia yang saleh yang teguh dengan ideologi politik anarkisnya. Saya rasa judul cerpen ini adalah kelembutan dari salah satu butir pemikiran para filsuf Barat tentang kenihilan pada pencarian Tuhan; Tuhan tidak tahu hal-hal yang kecil.

Qada dan Qadar nampaknya agak menjurus kepada dunia paralel. Jika seorang hamba mensyukuri nikmat-Nya, niscaya Allah akan menambah nikmatnya. Terkadang saya terjebak lama-lama dalam pemikiran ini, semakin lama semakin mengasyikkan hingga membuat saya takut untuk membicarakannya kepada siapa pun. Sebelumnya saya terpaku pada buraq, jembatan siratal mustaqim, suara dari langit dan malaikat yang bersayap 2, 3, hingga 4(seperti angka quantum dalam fisika). Saya membayangkan jika tiba-tiba terlempar jauh 13 abad ke belakang, bagaimana cara menjelaskan kepada orang yang saya temui di abad itu, tentang telepon, televisi, pesawat terbang. Kata 'langit' selalu menggemparkan dan frasa 'suara langit' selalu menakutkan. Kiamat tidak akan terjadi sebelum kita mendengarkan suara dari langit, demikian sebuah ciri-ciri kiamat dalam sebuah hadist. Mungkin orang di 13 abad yang lalu, berpikir bahwa itu suara petir.

Di abad sekarang semua orang tahu bahwa itu dunia broadcasting kepenyiaran berita melalui satelit kepada televisi, tv prabayar. Namun hingga sekarang ketika kita mendengarkan suara dari langit, kita juga akan ketakutan, misalnya berita mengenai kenaikan BBM, sembako, listrik. Jika kau tidak takut, cobalah memaki begitu mendengar suara petir, pasti tidak berani, kita akan bilang "astaugfirullahallazhim(ampunilah aku ya Allah)" Lain halnya jika ada seseorang kentut, kita akan memakinya "dasar babi kau."

Coin Marketplace

STEEM 0.28
TRX 0.12
JST 0.033
BTC 71443.06
ETH 3660.17
USDT 1.00
SBD 3.73