"Antropologi Aceh" Review Acehnologi (II : 18)
Seperti yang telah saya singgung sebelumnya, perbedaan antara sosiologi dan antropologi lebih kepada kawasan atau wilayah. Jika antropologi mengkaji fenomena budaya dalam lingkup masyarakat tradisional (pedesaan), maka sosiologi lebih kepada bagaimana perilaku sosial masyarakat di kawasan urban (perkotaan) terkait interaksi yang dilakukan setelah mengalami proses modernisasi atau dalam arti lain cara berpikir kekinian yang terus berkembang.
Sejauh ini, berbicara tentang antropologi, hal yang pertama sekali muncul dalam benak kita ialah terkait budaya, simbol, agama/kepercayaan, bahasa dan beberapa aspek lainnya yang hidup dalam suatu masyarakat atau yang dihasilkan oleh suatu masyarakat tertentu.
Kajian ilmu antropologi juga terbagi ke dalam beberapa corak pemikiran seperti Inggris, Jerman, Perancis, dan Amerika. Sedangkan ranah sub-kajian antropologi, para sarjana membaginya ke dalan empat bidang, yaitu: antropologi-kultural yang membahas tentang asal-usul, sejarah, dan perkembangan kebudayaan masyarakat, kemudian arkeologi yang berupaya memahami benda-benda yang merupakan hasil dari kebudayaan terdahulu. Selain itu antropologi-biologi yang berupaya untuk melihat aspek-aspek biologis dalam diri manusia. Adapun antropologi- linguistik berupaya menelaah bahasa-bahasa yang ada di dalam suatu masyarakat, terutama yang terkait dengan struktur dan aturan-aturan di dalam berbahasa.
Jika kajian ini kemudian dikaitkan dengan konteks Aceh, maka akan muncul studi tentang Antropologi Kebudayaan Aceh (AKA), Arkeologi Aceh (AA), Antropologi Biologi Aceh (ABA), dan Antropologi Linguistik Aceh (ALA). Dengan demikian, Antropologi Aceh pada intinya juga berupaya untuk memahami fenomena kebudayaan dalam masyarakat, namun lebih pada spesifikasi area yaitu Aceh. Baik dari segi tradisi, adat-istiadat, bahasa, bahkan hukum yang timbul dalam masyarakat Aceh.
Kajian antropologi terhadap aceh sebenarnya telah pernah dilakukan oleh Christian Snouck Hurgronje, namun i'tikad tidak baik menghantarkannya untuk merusak sistem aturan yang ada di Aceh, yaitu AMA (Adat Meukuta Alam) yang telah dihilangkan, dan kemudian menempatkan reusam sebagai puncak tertinggi. Disinilah tugas Antropologi untuk membangun kembali pemahaman tentang hakikat kebudayaan Aceh dan pada akhirnya mampu mencetak generasi muda Aceh yang dapat menghasilkan budaya Aceh di era modern ini, atau paling tidak mereka mampu mempertahankan budaya warisan endatu yang pernah mengantarkan Aceh pada peradaban yang gemilang.