Penyakit Akut Bernama Korupsi

in #indonesia7 years ago

proyek.jpg

Membahas Korupsi, tak afdhal rasanya jika tak mengikutsertakan nama Setya Novanto di dalamnya. Mari kembali mengenangnya sejenak, untuk beberapa saat! Setya Novanto alias Setnov adalah sebuah fenomena, setidaknya dalam beberapa bulan belakangan. Ulasan tentang dirinya seolah tak akan ada habisnya. Sepak terjang “akrobatik” seorang Setya Novanto dalam melawan jerat hukum telah mendatangkan aneka diskursus publik dan perbincangan hangat yang seolah bergulir tanpa henti. Tak mengherankan bila masyarakat bereaksi lewat beragam ekpresi, mulai dari beropini, diskusi, orasi, hingga munculnya meme-meme menggelitik sarat satire. Rasuah yang dilakukan oleh pejabat tinggi parlemen itu memang menyuguhkan drama menggelikan. Masyarakat pun disadarkan kembali akan satu hal; betapa licinnya kroruptor di negeri ini, se licin lantai yang baru saja dipel pakai Super Pell.

Sejak Setnov dinyatakan terlibat dalam kasus korupsi penganggaran dan pengadaan KTP Elektronik, drama panjang bertabur “dagelan politik” tentangnya terus menyita perhatian dan energi publik. Tak tanggung-tanggung, perbuatan menyimpang itu merugikan negara hingga 2.3 triliun rupiah (Kompas/20/7/17). Sebuah megakorupsi dengan angka cukup fantastis. Barangkali kasus ini pun, menjadi salah satu kasus korupsi tersulit untuk diungkap. Terlebih semakin sulit karena yang ditersangakakan memanfaatkan kekuasannya untuk "menyetel" hukum sesuka udelnya, seleluasa ia menekan tombol remote control televisi di rumahnya.

Seorang Setya Novanto leluasa melakukan manuver-manuver politik penuh intrik agar terlepas dari sangkaan korupsi tentu karena jabatan penting ada di tangannya. Ia lah pemegang remote controlnya. Setnov memang bukan politisi sembarangan, begitu pula dengan caranya “membentengi” diri melawan jeratan hukum yang tak bisa dianggap sembarangan. Sebagaimana kita ketahaui, selain menjabat sebagai Ketua Umum sebuah partai besar (juga dengan kekuatan besar) yaitu Partai Golkar, Setya Novanto juga ketua dari sebuah lembaga tinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Tak mengherankan jika langkah KPK dalam menjerat Setya Novanto, mengalami jalan terjal berliku. Bahkan pada prapradilan yang pertama, KPK berhasil dikalahkan yang akhirnya membuat Setnov batal menjadi tersangka. Pada saat dirinya masih berstatus saksi pun, Setnov juga berulangkali menghindari panggilan KPK. Setelah ditetapkan kembali sebagai tersangka untuk kedua kalinya, lalu dijemput paksa ke rumahnya, Setnov pun berusaha melarikan diri sampai harus dijadikan DPO.

“Petak umpet” ala Setnov sayangnya tak berlangsung lama, skenarionya berakhir setelah dirinya mengalami kecelakaan mobil di salah satu kawasan di Jakarta Selatan. Fortuner yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Meski menuai kecurigaan karena bertabur aroma kekonyolan seperti aroma "bakpao" yang menggoda, tapi kecelakaan itu telah menjadi jalan terang yang membawa Setya Novanto resmi memakai rompi oranye dan mendekam di rutan KPK.
Ditangkapnya Setya Novanto, menjadi angin segar di tengah gersangnya pengharapan publik terhadap pemberantasan korupsi. Walau pelik dan menegangkan ibarat aksi kejar-kejaran mobil dalam film Fast and Furios, namun memburu Setnov akhirnya menemui jalan terang benderang. Publik akan terus menanti, berhasil tidaknya penegakan hukum terhadap kasus yang terlanjur mirip drama korea ini.

Korupsi Menggurita, Rakyat Merana
Korupsi memang bukan barang baru di negeri ini. Beras, daging sapi, jembatan, gedung olahraga, alat-alat kesehatan, beasiswa hingga dana haji pun menjadi sasaran empuk korupsi. Praktik korupsi nyatanya memang ada di sekitar kita, baik itu yang dilakukan secara terangan-terangan maupun yang tersembunyi dan rapi. Pengeruk uang rakyat tidak melulu berasal di level tertinggi setingkat pejabat parlemen, namun juga berasal dari level paling rendah setingkat kelurahan. Korupsi bisa terjadi dimana saja, bukan karena ada niat semata namun juga karena adanya kesempatan.

Indonesia memang masih menjadi “ladang subur” praktik korupsi. Bahkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lainnya, yaitu di angka 37 (dari rentang 0-100). Fakta ini bahkan mengalahkan negara tetangga Malaysia yang Indeks Persepsi Korupsi nya sudah berada pada angka 50 (Tempo/25/10/17).

Perbuatan korup ini nyatanya kerap mendatangkan mudharat. Dampak dari korupsi tak bisa dianggap sepele. Korupsi E-KTP ini misalnya, efek langsung yang kini dirasa masyarakat adalah terhambatnya pembuatan kartu kependudukan mereka. Di berbagai daerah, E-KTP mengalami masalah lantaran tak bisa diprosesnya kartu tersebut akibat berbagai faktor seperti rusaknya server maupun terjadinya kekosongan stok blangko(tribunnews.com/14/11/17). Proses pembuatan yang mangkrak di kantor Dukcapil setempat membuat tampilan kartu tanda kependudukan berwujud sangat darurat, yakni hanya berupa selembar kertas, berisi keterangan bukti perekaman. Kondisi ini jelas sangat merugikan masyarakat, mengingat urgentnya fungsi kartu identitas kependudukan yang menjadi syarat adminitrasi di banyak hal.
stop-korupsi-598x424.jpg

Dampak lain korupsi yang sudah tak diragukan lagi adalah kemiskinan. Merujuk pada publikasi BPS, data yang dipublikasi Indonesia Development and Islamic Studies (IDeAS) baru-baru ini menempatkan Aceh di posisi ke 6 termiskin se Indonesia dengan jumlah presentase kemiskinan mencapai 16,89 persen atau setara dengan 872.061 ribu orang(PublikasiBPS RI/17/7/17). Jumlah pengangguran di Aceh juga tak sedikit, yakni mencapai 7,39 persen, sehingga posisi ini mengantarkan Aceh sebagai propinsi dengan pengangguran terbanyak di Sumatera (IDeAS,2017). Kenyataan ini sangat berbanding terbalik dengan realita bahwa Aceh merupakan penerima APBD tertinggi di Indonesia dengan jumlah mencapai 14,76 triliun rupiah (IDeAS,2017).

Dengan melimpahnya sumber anggaran maka sudah sewajarnya taraf ekonomi masyarakat ikut meningkat, lapangan pekerjaan bergeliat sehingga tak ada lagi rakyat yang hidup melarat. Akan tetapi kemiskinan belum juga menurun signifikan meskipun anggaran melimpah ruah dikucurkan. Kemana saja aliran anggaran itu bermuara? Tak bisa tidak, korupsi turut andil menjadi dalang dibalik terjadinya kondisi “anomali anggaran” ini.
Jika kita mengingat-ingat kembali di tahun 2014 silam, sebuah lembaga bernama Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA) pernah mempublikasikan penemuan mencengangkan. Aceh disebut menempati urutan pertama sebagai propinsi terkorup se Indonesia dengan penyimpangan anggaran mencapai 10.3 triliun rupiah (acehtribunnews.com/1/3/14). Angka ini bahkan mengalahkan DKI Jakarta yang hanya 1.2 triliun rupiah. Itu artinya, mental korup dan praktik korupsi di Aceh tak main-main, jauh lebih besar dan bahkan jauh mengkhawatirkan. Lantas kini seiring berjalannya waktu, apakah praktik korupsi itu telah berkurang atau sirna atau malah semakin mewabah di bumi Serambi Mekkah ?

Kita, adalah KPK
Bicara korupsi, adalah bicara soal kualitas moral. Barangsiapa yang korup, maka tak berlebihan jika menyebutnya amoral. Kita semua tentu bersepakat bahwa korupsi adalah perbuatan nista, dan mereka yang melakukan perbuatan ini tak lebih dari orang-orang berintegritas rendah. Seorang pejabat yang terbukti melakukan korupsi seharusnya tidak hanya dihukum secara hukum negara namun juga mendapat sanksi moral dari publik semisal berupa pengucilan. Selain dicopot posisi dan jabatannya, mereka juga tak berhak mendapat perlakuan istimewa. Karena hukum haruslah ditegakkan sama, berkeadilan tanpa pandang bulu.
KPK.gif

Tak ada salahnya berkaca pada apa yang dilakukan negara Cina yang dengan tegas mengesekusi mati para pejabatnya yang terbukti melakukan korupsi. Bahkan Arab Saudi, tak segan-segan memenggal kepala para koruptor di negaranya. Hukum sesuai syariat islam, yakni Qisas (hukum pancung) diberlakukan disana untuk memberi efek jera bagi para koruptor. Syok terapi bagi koruptor adalah keharusan, agar bibit-bibit koruptor lainnya “mati bergelimpangan” dan kehilangan ruang untuk berkembang biak.

Tak bisa dipungkiri, budaya korupsi memang tak bisa dibilang tidak mengakar dan mendarah daging dalam pola hidup masyarakat. Praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sudah seperti hal lumrah yang seolah dipelihara dan membudaya. Memberikan sejumlah uang untuk memuluskan suatu urusan alias menyogok, memanipulasi sejumlah angka dan data (mengurangkan/melebihkan), serta membuat laporan-laporan fiktif konon menjadi semacam kelaziman. Budaya dan mental korup inilah yang sebenarnya menjadi akar persoalan.

Memerangi korupsi sebaiknya dimulai dari menyembuhkan mental korup yang tertanam pada diri masyarakat. Slogan KPK yang berbunyi “Berani jujur hebat” pada dasarnya adalah kalimat sakti yang harusnya mampu dijiwai oleh semua orang. Sehingga memberi penyadaran tentang arti penting mempertahankan integritas diri dengan tetap menjaga kejujuran. Kejujuran adalah cerminan berkualitas tidaknya intelektualitas yang dimiliki seseorang.
Korupsi memang sudah lama menjadi penyakit akut yang sangat sulit diberantas di bumi pertiwi ini. Bahkan institusi besar sekelas KPK, terkadang dibuat ngos-ngosan untuk menjerat satu orang pejabat publik yang memiliki kesaktian dan kelicinan tingkat tinggi. Sikap “licin” yang ditunjukkan Setya Novanto tentu bukanlah teladan yang layak dicontoh. Hal ini bahkan menjadi preseden buruk. Rakyat semakin mengalami krisis kepercayaan terhadap pemimpinnya dan citra lembaga dewan terhormat ikut tercoreng.

Setya Novanto bisa jadi hanyalah puncak gunung es, dan masih banyak “Papa-Papa” lain yang tak terungkap ke permukaan. Memberantas korupsi dan para koruptor memang tidaklah mudah, tapi semua orang bisa melakukannya jika prinsip menjaga integritas masih bisa dipertahankan. Ikhtiar membasmi penyakit akut bernama korupsi mungkin akan melelahkan. Tapi i’tikad mulia itu akan membawa perubahan dasyat untuk kemaslahatan umat.
Sekali lagi kita patut mengapresiasi kinerja KPK dalam menindak para koruptor. Namun tugas menyapu bersih praktik korup bukanlah tugas KPK semata melainkan tanggungjawab kita, seluruh warga negara Indonesia. Sudah saatnya menghentikan perdebatan soal bagi-bagi kekuasaan, bagi jatah dan sebagainya. Kita merindukan pemimpin yang tak memperkaya perut sendiri. Tapi, pemimpin yang tahu bahwa sesungguhnya“Memimpin itu adalah menderita, bukan menumpuk harta”(H.AgusSalim).

***Sebuah tulisan lama yang "digantung" oleh Serambi (karena tak dimuat-muat), terabaikan di dokumen pribadi, dan akhirnya disumbangkan di ruang Steemit ini. Semoga memberi pencerahan.

Sort:  

Mantap jiwa kak!
Memang pasnya koruptor ini diapakan ya biar jera.
Hukum mati nanti dibilang melanggar HAM
Begini juga tak kunjung sadar😡

Hahaha. Bener dek. Kayaknya lebih layak koruptor deh yg dihukum mati ketimbang kurir -kurir narkoba. Bukan berarti membela para kurir ini sih, tp serasa ga adil aja gitu. Pencuri uang negara itu bakalan ga ada jeranya dengan hukuman yang ecek-ecek bgtu...

Mantap info KPK nya.
Semangat terus Brother :)

Sister bang... :)

Koruptor oh koruptor, tiada tempat terbaik di dunia untuk para koruptor kecuali rasa tak bersalah. Sukses terus kak.

Tempat terbaiknya adalah pengucilan dan pengasingan. Atau dikirim ke alam barzah. *Alias Hukuman mati. Hahaha. Sukses jg ya dek.

KPK masih memakai hukum Belanda.seharusnya KPK melirik konsep 'restorative justice' dalam upaya mengembalikan kerugian negara....

Iya jg ya pak, harusnya KPK mewajibkan setiap koruptor mengembalikan uang negara yang sudah ditilep kalao bisa persis sama dngan jumlah yang telah ditilep, plus disertai dengan hukuman juga yaah...

keren nda
serasa baca opini di SI

bravo

Hahaha. Itulah kak, dianggurin opini nda ama Serambi. Untung aja ga berubah jd Anggur. Sedih-sedih... :(
dan untungnya lagi, ada Steemit ini yang begitu baik hati, menerima tulisan tanpa banyak prasyarat. Nnti kalo dipehape lg ama media mainstream, payah kita buat hastag ini kayaknya kak, #DisteemitkanAja Haha

ho..oh...
steemitin aja
:D

Koruptor harusnya dibikin ala jemuran. Digantung biar cepat kering

Plus diasinin kayak ikan asin, teros dibuang ke laot lagi...
Tapi kalo dibuang ke laot bakal ngotorin laut yaah, ikan-ikan aja kayaknya gamau makan kalo yang dibuang kesitu koruptor. Hahaha

Ahahaha nyaaan yang ka bala

Memang luar biasa, langsung dalam politik,, semangat ya,, karna politik akan lama berkembang di steemit,, semoga nanda menjadi salah satu dari sekian banyak yg membangkit politik di steemit,, 😊

Hehehe. Tapi masih metajoe-tajoe bang...
dan idenya jg masih Gulee Rampoe...
Moga aja ga gersang ide untuk nulis lebih banyak lg tulisan bertema politik

Yessss... @nandaferiana sudah mulai "panas" di Steemit. Ini adalah positif untuk penikmat tulisan-tulisan bernas.. Teruskan😎

And don't leave me alone Semy! IEverytime when i wrote in Steemit, I remember you, i will trought lot of question. Stay tune Semy, I will disturb you and haunt you with too much question. Hahaha. *Peace Sem. Semoga masa "Meutajoe-Tajoe" ini tak berlangsung lama...

Hahaha... My pleasure Ndaa. Gak lama masa2 ini Ndaa asal Ndaa ingat rumus awal: konsisten. Ndaa pasti bisaa.. 😀

Postingan yang menarik tentang "Penyakit Akut Bernama Korupsi"

Terimakasih Bg Juh :)

Bereh (y) Serambi menolak, steemit bertindak

Yg penteng tulisan bek sampe basi di laptop :)

Coin Marketplace

STEEM 0.19
TRX 0.15
JST 0.029
BTC 63126.26
ETH 2596.37
USDT 1.00
SBD 2.76