Puisi Trienggadeng, Fikar W Eda, hingga Aktivisme Sastra
Ini masih puisi tentang Trienggadeng. Siang tadi, Rabu, 25 Juli 2018, beberapa kawan mengirimkan foto puisi saya berjudul Trienggadeng yang dimuat di koran terbesar di Aceh, Serambi Indonesia. Sebelumnya, tadi pagi, saya memposting puisi itu di blog saya musismail.com yang dihubungkan ke steemit.com/@musismail. Puisi itu, berikut kisah tentang
Trienggadeng, bisa dibaca di sini.
Mengapa tiba-tiba saya posting puisi tentang Trienggadeng? Alkisah, kemarin seorang kawan penyair @fikarweda mengirim pesan WA menanyakan seperti ini: "Kalau gak salah kau punya puisi berjudul Trienggadeng ya? Coba kirim ke aku." Saya pun membalasnya bahwa memang saya punya puisi tersebut dan masuk dalam antologi puisi "6,5 SR Luka Pidie Jaya". Saya pun mencari-cari puisi tersebut di email lalu mengirimkannya kepada wartawan Serambi Indonesia biro Jakarta itu.
Saya tak bertanya untuk apa. Seseorang kawan meminta puisi kita hal biasa saja. Adakalanya mungkin untuk bahan tulisan. Berkemungkinan juga untuk dibacakan. Bisa juga untuk bahan kajian. Atau untuk bahan lomba. Yang pasti tidak mungkin puisi itu untuk "dijual" di mall atau dipajang di etalase toko. Puisi mana laku. Bahkan, membuat buku puisi adalah proyek rugi.
Jadi jika ada yang meminta puisimu, kasihkan saja -- apalagi jika pernah dimuat di media atau di buku antologi puisi. Nah, tadi siang, beberapa kawan, seperti @fikarweda, @willyana, dan @hamdanimulya mengirim pesan singkat berisi kepcer puisi itu di Serambi Indonesia. Saya pun kaget.
Masa ada puisi muncul di koran hari Rabu. Biasanya rubrik puisi adanya di koran akhir pekan, yakni hari Sabtu atau Minggu. Ternyata, menurut @fikarweda, puisi saya dimuat menjadi bagian dari tulisan tentang Pekan Kebudayaan Aceh yang akan berlangsung di Banda Aceh pada 5–15 Agustus 2018. "Aku menulis halaman PKA Pijay. Makanya cocok dengan Trienggadeng," tutur Ketua Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) ini.
MI, Sadri Ondang Jaya dan Fikar W Eda di Singkil.
Penyair Fikar W Eda, sejatinya, adalah senior saya dalam dunia kesenian dan kepenyairan. Ia lahir di Takengon, Aceh Tengah, 52 tahun lalu, tepatnya pada 1966. Ketika awal-awal saya intens menulis puisi pada awal 1990-an, FIkar sudah menjadi redaktur budaya di Serambi Indonesia, yang menyeleksi puisi-puisi, cerpen dan esai yang masuk di halaman budaya koran itu. Tapi yang lebih lama menggawangi halaman budaya di koran itu adalah sastrawan Hasyim KS.
Tak hanya di dunia kepenyairan kami bertemu, juga di dunia teater. Ia pernah menyutradarai sebuah pertunjukan teater yang berangkat dari puisi "Homo Homini Lupus" karya Hamid Jabbar, yang dimainkan oleh Teater Bola, Banda Aceh. Nah, saya adalah anggota teater itu. Saya ikut main dalam pertunjukan yang dipentaskan di Takengon pada 1992.
Sebagai redaktur budaya, ia bersikap sangat tegas dan tidak mengenal pertemanan. Suatu kali, pada 1992 di Banda Aceh, saya bertanya apakah puisi saya yang saya kirim ke Serambi Indonesia sudah diterima. Ia dengan galak menjawab: "Puisimu nggak kumuat, nggak bagus." Namun, karena saya mengenal baik sosok ini, saya pun mencandainya sambil mengatakan nanti saya kirim lagi yang lain.
Kami bersama sejumlah sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia dalam sebuah acara di Jakarta
Kami hampir bersamaan hijrah ke Jakarta. Saya hijrah pada 1996, dan Fikar hijrah ke Jakarta pada 1997. Kami sering bertemu dan mengadakan sejumlah kegiatan, baik di Jakarta maupun di Aceh. Salah satu acara penting yang kami gagas adalah Aceh International Literary Festival (AILFest) pada 2009 di Banda Aceh, yang dihadiri oleh para penyair dari sejumlah negara.
Kegiatan itu kami sisipkan menjadi bagian dari Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V. Kebetulan kami (saya, FIkar W Eda dan Arie Batubara) dipercayakan menjadi tim kreatif dalam kegiatan tersebut, yang merumuskan konsep kegiatan hingga memastikan konsep itu berjalan dengan baik. Nah, kami berpikir, apa bedanya PKA sebelumnya dengan kala itu. Maka, kami munculkan sesuatu yang berbeda, yang tak pernah ada dalam PKA sebelumnya, yakni pertemuan sastrawan internasional.
Sekaligus saya dan Fikar W Eda menjadi kurator dalam pertemuan sastrawan itu. Wakil Gubenur Aceh pada saat itu, Muhammad Nazar, sangat mendukung kegiatan festival sastra internasional tersebut. Rencananya, kami ingin mengadakan AILFest selanjutnya di Banda Aceh, tapi hingga kini belum kesampaian.
Salah satu sesi acara Aceh International Literary Festival 2009 adalah baca puisi di atas perahu mengelilingi Krueng Aceh di Banda Aceh.
Kegiatan sastra lain yang kami wujudkan adalah Pesta Puisi Kopi di Takengon, Aceh Tengah, pada November 2016. Kuratornya adalah kami (saya, Fikar W Eda dan Salman Yoga). Awalnya, gagasan ini muncul di Ruang Sastra, sebuah grup WA yang beranggotakan sekitar 250 sastrawan Indonesia dan negara tetangga. Kami dipercayakan mengembangkan gagasan itu dan mewujudkannya.
Banyak kegiatan lain, yang kami terlibat bersama-sama menggerakkannya. Salah satu yang lain adalah Kongres Peradaban Aceh (KPA) pada 2015, yang panitianya diketuai oleh Ahmad Farhan Hamid, salah satu tokoh Aceh, yang pernah menjadi Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014. Adapun saya dipercayakan sebagai Sekretaris Panitia. Penyair Fikar W Eda bersama sejumlah tokoh muda Aceh lainnya di Jakarta dan Aceh ikut menjadi penggerak utama kegiatan itu.
Saat kuliah di Pascasarjana IKJ
Satu lagi, hampir lupa, kami sama-sama mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 bidang seni dari pemerintah provinsi Aceh pada 2010 bersama dua seniman lain yakni Deddy Kalee dan perupa Mahdi Abdullah. Saya dan Fikar mengambil kuliah S2 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), sementara Dedy dan Mahdi mengambil kuliah S2 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Ketika kuliah di IKJ, kami pun membuat pentas puisi di ruang publik di Jakarta yakni di Stasion Senen. Kami menamai acara itu "Aceh Membaca Jakarta". Kami membaca puisi bersama sejumlah seniman lainnya, di sebuah pentas terbuka di tugu Senen yang menghubungkan terminal Senen dengan Stasion Kereta Senen. Konsep kami pada saat itu: pentas tak selebar daun kelor. Pentas sangat luas dan bisa di mana saja.
Tentu saja, itu hanya beberapa kegiatan bersama di antara begitu banyak kegiatan yang kami adakan atau kami terlibat sebagai penggerak di dalamnya. Lewat lembaga Aceh Culture Center (ACC) yang didirikan pada tahun 2010, sejatinya kami punya cita-cita besar untuk terus menghidupkan seni dan budaya Aceh di luar wilayah Serambi Mekkah, terutama di Jakarta.
Saya selalu bilang kepada kawan-kawan, termasuk penyair Fikar: "Kita adalah juru bicara kebudayaan Aceh di Jakarta." Kami memang tidak digaji untuk itu, juga tidak ada yang memberi mandat kepada kami. Tapi ini pilihan kami sebagai bentuk tanggungjawab moral, sosial dan budaya kami pada tanah kelahiran kami: Aceh!
JAKARTA, 25 Juli 2018
MUSTAFA ISMAIL
musismail.com
@musismail
Perjalanan kreativitas dan persaudaraan yang luar biasa. Senang membaca agenda-agenda yang telah terlaksana itu.
Waktu acara di Stasiun Senen itu, saya teemasuk salah seoarang yang ikut kenyelenggarakan event itu dari Komunitas Planet Senen. Saya menyaksikan keduanya tampil menghadirkan Aceh di Planet Senen.
Salam Kreatif @musismail
Semoga baik dan sehat dan dilancarkan segala urusan
@mpugondrong
hello my dear
https://steemit.com/byteball/@darksideofmoon/4edtdf-why-use-byteball