Bakeutok, Didong dan Perawat Bahasa Lokal
>Esai ini saya tulis beberapa tahun lalu untuk mengapresiasi orang-orang yang dengan setia terus merawat bahasa daerah, dalam konteks tulisan ini adalah bahasa Aceh. Bahasa lokal atau bahasa daerah akan punah jika tak ada orang dengan konsisten memperdulikannya.
Menggunakan tongkat, dibantu seorang temannya, Tgk Abdullah, melangkah ke pangung. Lelaki berusia 70-tahunan itu salah seorang pengisi acara Malam Peradaban Aceh sebagai bagian dari Kongres Peradaban Aceh (KPA) 2015 yang digelar di Banda Aceh, 9-10 Desember 2015. Duduk pada sebuah kursi, kemudian ia pun mulai komat-kamit bercerita dalam bahasa Aceh. Ia berkisah tentang Saidini Hamzah, yang dikutip dari sejarah Islam. Namun, yang dikisahkan itu hanya cuplikan. Sebab, cerita itu baru bisa tamat dalam beberapa malam pertunjukan.
Beukeutok, begitu jenis seni tutur ini ditabalkan. Seni berkisah ini berkembang di daerah Kabupaten Pidie dan Aceh Utara, pesisir Aceh. Sebab, itu bahasa pengantarnya adalah bahasa Aceh. Tgk Abdullah sendiri, keesokannya pada -- 10 Desember – penutupan KPA 2015 mendapat Anugerah Peradaban sebagai salah satu perawat bahasa lewat seni tradisi. Ia dipilih oleh tim juri yang terdiri dari akademisi bahasa, budayawan, sejarawan dan seniman. Ia mendapat penghargaan itu bersama seniman tradisi didong Gayo, Kalampan, dan akademisi bahasa Aceh, DR Abdul Gani Asyik, MA.
Pemberian penghargaan sebagai perawat bahasa kepada seniman baru pertama kali dilakukan di Aceh. Boleh jadi baru pertama kali pula terjadi di Indonesia. Selama ini, penghargaan kebahasaan lebih banyak diberikan kepada penutur bahasa, misalnya penutur bahasa terbaik – terutama penutur Bahasa Indonesia – yang datang dari kalangan non seni. Penghargaan itu lebih banyak menyasar tokoh dan lembaga, semisal lembaga media massa. Sangat jarang penutur bahasa berprofesi seniman mendapat penghargan kebahasaan.
Padahal, jika dirunut lebih jauh, peran seniman dalam memajukan bahasa tidak kalah penting. Baik itu seniman modern maupun seniman tradisi. Lewat karyanya, mereka menjadikan bahasa sebagai medium untuk menyatakan sikap, ekspresi dan estikanya. Para penyair, prosais, penulis naskah drama, dramawan, musisi, misalnya, sering menggali kosa kata lokal untuk ditampilkan dalam karyanya. Sehingga kosa kata itu menjadi populer dan memperkaya bahasa Indonesia. Demikian pula para seniman trandisi, yang terus-menerus, berakrab-akrab dengan bahasa lokal.
Dalam penampilan seni tutur bakeutok dan didong, misalnya, penonton akan dengan mudah menemukan kata-kata yang sudah jarang terdengar diucapkan, terutama oleh penutur urban. Dalam banyak kasus di daerah, kebanyak kalangan menengah urban, terutama anak muda, lebih sering bertutur dalam bahasa Indonesia, dibandingkan dengan bahasa ibunya. Itu tak salah memang. Persoalanya kemudian, pertama, ketika ia tidak menggunakan bahasa Indonesia yang benar, tapi justru bahasa anak-anak muda – bahasa gaul – bahkan bahasa alay, yang makin merusak bahasa.
Kedua, makin jarangnya mereka bertutur dalam bahasa lokal membuat satu persatu kosa katanya menjadi terlupakan. Pada gilirannya, orang tidak lagi tahu tentang kosa kata itu. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, bahasa lokal akan berada di ambang kegelapan. Maka itu, dalam konteks ini, peran seniman – baik seniman moderen maupun tradisi – menjadi penting untuk terus-menerus mengucapkan kosa kata bahasa lokal maupun bahasa Indonesia. Secara tidak langsung, ia telah menjadi perawat sekaligus promotor bahasa.
Sehingga, tradisi memberi penghargaan kepada seniman – modern maupun tradisional –menjadi urgen dilakukan. Ini bisa menjadi vitamin agar mereka terus tertorong untuk menggali kekayaan bahasa yang dipungut dari daerah dan kebudayaannya. Sehingga itu tidak hanya membuat bahasa lokal itu sendiri terus hidup, juga makin memperkaya bahasa Indonesia. Salah satu contoh adalah ketika sekelompok seniman dari Aceh mempromosikan kata smong untuk menyebut tsunami lewat pertunjukan musik-puisi. Kata Smong yang berasal dari bahasa simeulu itu kini makin populer dan mulai mewarnai penulisan di media cetak maupun online.
Ini sejalan pula dengan harapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan ketika membuka Kongres Peradaban Aceh itu, yang mendorong agar makin banyak bahasa lokal masuk dan mewarnai bahasa Indonesia. Menteri Anies juga menyebut kata smong sebagai salah satu contohnya. ****
Mustafa Ismail, penulis dan pegiat kebudayaan.
FOTO UTAMA:
Dari kiri DR Bukhari Daud (akademisi/mantan Bupati Aceh Besar/Ketua Juri Anugerah Peradaban Aceh), Ahmad Farhan Hamid (mantan wakil Ketua MPR RI dan Ketua Kongres Peradaban Aceh 2015, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar, DR Abdul Gani Asyik (akademisi/penerima penghargaan), Kalampan (seniman tradisi didong/penerima penghargaan, Tgk Abdullah Bakeutok (seniman tradisi Aceh/Penerima penghargaan) dan Wali Kota Banda Aceh kala itu, Illiza Sa’aduddin Djamal. {Sumber foto: serambimekkah.ac.id)
Posted from my blog with SteemPress : http://musismail.com/bakeutok-didong-dan-perawat-bahasa-lokal/