WIRO SABLENG - EMPAT BREWOK DARI GOA SANGGRENG - (FOUR BREWOK FROM GOA SANGGRENG) [Bilingual]

in #indonesia6 years ago

wiro.png

Indonesia

"Ini...!" kata laki-laki berkumis melintang itu dengan suara kasar.

"Berikan sama dia! Aku harus terima jawaban hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?"

Orang yang bernama Kalingundil mengangguk. Di ambil surat yang disodorkan.

"Kalau dia banyak bacot.....," kata laki-laki berkumis melintang itu pula, "bikin beres saja. Berangkat sekarang, jika perlu bawa Saksoko!"

Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil baru saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, laki-laki yang berkumis tebal itu.

"Betul-betul perempuan laknat! Perempuan haram jadah!" Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.

"Brakk...!"

Papan meja pecah. Keempat kaki meja amblas sampai tiga senti ke dalam lantai ubin dan ubin sendiri retak-retak! Kemudian dia berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri.

"Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!" Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela lalu dia melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi baru dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis.

"Keparat!" maki Suranyali lagi. Di bantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang perempuan paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat diam menghilang kembali.

Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah seperti itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya.

"Ludjeng!" teriak Suranyali.

Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas. "Ya, Denmas Sura...."

"Kau juga keparat!" damprat Suranyali pada perempuan itu. Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.

"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu! Apa kau sudah gila hingga lupa terus-terusan?!? Kau gila ya, hah?!!"

Wilujeng terdiam dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi dia lupa. Lagi-lagi dia memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan agar dia memanggil dengan nama Mahesa Birawa.

"Perempuan monyong! Aku tanya kau sudah gila? Jawab!"

"Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa....."

"Kalau tidak gila kau musti sinting! Ambilkan aku air, lekas!"

Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian dia sudah kembali membawa segelas air putih. Air yang dingin itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian dia duduk tenang-tenang di kursi itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang saat setahun yang lewat.

Waktu itu dia sudah lama berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali tempat mencuci, dia berharap lama-lama akan dapat juga melunakkan hati gadis itu. Memang akhirnya Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah karena dia suka terhadap Suranyali melainkan karena kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir. Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya.

Satu ketika Suranyali dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Suranyali menemui Suci dan berkata,

"Suci, aku akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi aku baru kembali. Kuharap kau mau menunggu dengan sabar. Jika aku kembali aku akan mengawini kau....."

"Tapi Kangmas Sura....."

Suci menghentikan kata-katanya karena saat itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya. Suci mundur.

"Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang....."

Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk menerangkan bahwa dia tidak suka laki-laki itu, bahwa dia menolak lamaran tadi!

Dan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang pemuda yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali karena memang dia tidak mencintai Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya.

Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah mempunyai seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi bahagia dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu.

Jika Suranyali seorang manusia punya muka dan punya harga diri, sebenarnya mengetahui perkawinan Suci itu dia musti bersikap mundur karena adalah memalukan sekali bila dia terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula. Tapi dasar Suranyali bukan manusia berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat ancaman kepada Ranaweleng.

Suranyali yang kini memakai nama Mahesa Birawa bangkit dari kursinya ketika didengar suara gemuruh kaki-kaki kuda di halaman. Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.

"Suci musti dapat..... musti dapat!" katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu.

"Kalau tidak.....," Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya. Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
(Kutipan bersumber : http://www.sonnyogawa.com)

English

"This is ...!" the man with the mustache said in a harsh voice.

"Give it to him! I have to accept today's answer too, Kalingundil !! Did you hear me?"

The man named Kalingundil nodded. Picked up a letter proffered.

"If he has a lot of bacot ....." said the man with the mustache, "make it all right Now, if you need to bring Saksoko!"

Kalingundil stood up and let go outside it. And if Kalingundil had just disappeared behind the door then sung Suranyali, the man with the mustache.

"Really a wretched woman! He rounded up his right box and banged the teak table in front of him.

"Brakk ...!"

Broken desk board. The four legs of the table collapsed to within three inches of tiled floor and tiles themselves, cracks! Then he stood up. Her body was trembling with the anger she could barely control. And his mouth opened again. He cursed himself.

"A woman who is a girl, left behind for a year to marry! Bunting is a child! Suranyali performs with a breath blowing-where other people are then outside of it. From inside a pitcher he gulped the cold white air. But only two gulps of air passed through his throat, it was gone.

"Fuckers!" maki Suranyali again. He threw the jug on the ground until it broke apart. A middle-aged woman sprang a door over there who was watching Suranyali again furiously fade away again.

Finally, Surilyali Letih himself cursed and angrily like that. He threw his body into a chair substitute. And now he feels a lot of his body fatigue.

"Ludjeng!" Suranyali shouted.

The middle-aged woman who had appeared at the entrance of the rush. "Yes, Denmas Sura ...."

"You're a bastard too!" Suranyali damprat the woman. His spittle sprayed and Wilujeng did not dare to wipe the spit that wet his face.

"How many times have I said, do not call me by that name! Are you crazy to forget all the time ?!" You're crazy, huh? !! "

Wilujeng fell silent with a shiver of fear. Again he forgot. Again he called with Sura when Suranyali had often ordered him to call by the name of Mahesa Birawa.

"Woman monyong! I asked you crazy?

"No, Denmas Su ....., eh Mahesa Birawa ....."

"If you're not crazy you're crazy, get me some water, hurry up!"

Wilujeng turns the body. A moment later he was back with a glass of water. The cold water cooled Suranyali's heart a little. Then he sat quietly in the chair and if his eyes narrowed, then again imagine the year passed.

At that time he had long been acquainted with Saints. He knew that the girl did not like him, but by continuously meeting the Saints at the edge of the washing-room, he hoped for a long time to soften the girl's heart. Sure ultimately Saints also want to talk-talk to serve Suranyali, but this is not because he likes to Suranyali but merely pity. But unfortunately Suranyali misinterpreted. He guessed that Saints were now captivated by him.

One when Suranyali was summoned by a magician in Lawu mountain. Before leaving, Suranyali went to Suci and said,

"Holy, I'm going to Mount Lawu, maybe one more year I'll be back.I hope you'll wait patiently.If I'm back I'll marry you ....."

"But Kangmas Sura ....."

Saints stopped his words because then dilihanya Suranyali stepped before him and reached out to embrace him. Sacred retreat.

"Do not, Kangmas, Later look people ....."

Then Suranyali left without any chance for Saints to explain that he did not like the man, that he refused the proposal!

And in Suranyali's departure then Suci then mates with Ranaweleng a young man whom he loves and also loves him. For Suci his marriage to Ranaweleng was by no means a betrayal of Suranyali because he did not love Suranyali and never declared his love.

Thus, if that day Suranyali returns from his journey then the first news that he hears, which so tantalizes his anger is that Saints have married Ranaweleng. Both husband and wife had even had a son. Their life though simple but happy and now Ranaweleng has become Head of Djatiwalu Village.

If Suranyali a human being has a face and a self-esteem, in fact knowing the sacred marriage he must be retreating because it is embarrassing if he kept wanting Saints being Saints do not love him especially now have married and beget also. But Suranyali's base was not a clear-minded human, fast-paced and blindly rising, so that day also sent his men to Djatiwalu to bring a threatening letter to Ranaweleng.

Suranyali, now wearing Mahesa Birawa's name, rose from his chair when a hoarse sound of hooves in the yard was heard. He stepped to the window and noticed the departure of the two men. Her fingers gripped the window sanding.

"Holy must be able to .....!" she said to herself angrily.

"If not ...," Mahesa Birawa did not continue her words. Instead his left hand moved hitting the window wall. And the sanding wood broke apart !!

(Quote sourced: http://www.sonnyogawa.com)

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.030
BTC 58560.83
ETH 2491.85
USDT 1.00
SBD 2.40