[Jalanan Bekasi #1] Kehidupan Anak-anak Pengamen Lampu Merah dan Sekolah Pinggir Kali

Kota Bekasi di Jawa Barat

Perkembangan kota Bekasi secara fisik dan bangunan menterengnya sangatlah marak. Gedung-gedung dan pemukiman elite bermunculan laksana cendawan di musim hujan.

Benar rupanya. Kalau dilihat secara sejarahnya. Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi yang termasuk luas itu dulunya adalah sentral pergerakan perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Banyak tokoh pejuang yang sampai hari ini namanya menjadi legendaris. Salah satunya Kiay Haji Noer Ali.

Secara peradaban, atau dilihat melalui karya sastra, daerah ini memang sering termaktub dalam karya-karya pujangga dan sastrawan. Diantaranya Chairil Anwar dengan 'Antara Kerawang dan Bekasi'-nya, atau Pramoedya Ananta Toer dengan karya 'Di Tepi Kali Bekasi'-nya.

Kedua sastrawan ini telah mencatat keberadaan Bekasi sebagai daerah perjuangan yang memang masyhur dengan pergolakannya. Sekaligus, daerah ini adalah lumbung pertanian yang menghasilkan beras yang digunakan untuk perjuangan.

Demikianlah selintas pintas tentang bagaimana Bekasi sebagai kota atau kabupaten yang dekat dengan Ibukota Negara Republik Indinesia. Wilayahnya sendiri masih termasuk ke dalam provinsi Jawa Barat. Dan Bekasi juga disebut sebagai kota perjuangan serta kota Penyangga Ibukota.

Kehidupan Sosial Masyarakat Urban

Perkembangan kota Bekasi yang begitu cepat tentu saja berdampak secara langsung pada lingkungan dan penduduknya. Dengan banyaknya pabrik yang berada di sini maka kian terbukalah lapangan pekerjaan. Sebagian masyarakatnya akhirnya hidup menjadi buruh.

Sebagai daerah Urban, orang-orang pun berdatangan ke daerah ini untuk memperbaiki nasib dan dengan harapan mendapatkan pekerjaan. Tentu pula tidak semuanya bernasib baik. Bagi yang bernasib malang, akhirnya tak bisa kembali pulang bisa jadi pula karena malu dan akhirnya hidup di kota ini sebagai KMK (Kaum Miskin Kota). Perkembangan masyarakat KMK ini terus naik grafiknya.

Kota ini kian jadi sumpek dan gerah. Ditambah lagi, ketika ada razia di Jakarta, baik Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) atau pun kejahatan lainnya, pada umumnya mereka akan menyelamatkan diri dan lari ke kota Bekasi. Jadilah kota ini daerah urban yang rawan akan tindak kriminal dalam lingkup kehidpan sosialnya.

Untuk hal tersebut, akhirnya jalanan bekasi macet, pengamen dan anak-anak lampu merah merebak. Mereka itu sesungguhnya adalah anak-anak yang memang tidak mendapatkan kasih sayang. Mereka dipaksa mencari duit oleh orang tuanya, sementara kondisi orang tuanya juga berada pada tingkat ekonomi yang buruk seeta jauh dari kematangan hidup, apalagi intelektual.

Anak-anak Pengamen Lampu Merah dan Sokolah Pinggir Kali

Kasihannya, para anak-anak pengamen jalanan Lampu merah itu telah seakan dijadikan lumbung duit bagi orang tuanya yang tidak bekerja serta hobi berjudi dan minum anggur kolesom. Tentu saja, secara psikologis, anak-anak lampu merah ini kondisinya sangatlah miris. Terkadang mereka takut untuk pulang ke kontrakan orangtuanya apabila dia pulang dengan tidak membawa uang.

Perjalanan hidup seperti ini telah menelantarkan mereka untuk memilih jalanan sebagai rumah-kehidupan. Resikonya tentu saja berat. Dia kenal dengan beragam gaya hidup masyarakat yang sakit. Minuman keras, seks dan kekerasan hidup di jalanan. Tak jarang anak-anak lampu merah itu kenal seks di umur mentah. Bagi yang anak-anak yang perempuannya tentu ini saja sangat memprihatinkan.

Menyikapi hal tersebut di atas, para seniman, budayawan, civitas akademika kampus, dan para Jurnalis mulai melirik kegiatan yang dilakukan anak-anak muda di pinggir Kalimalang. Mereka adalah generasi muda yang enerjik dan berbuat untuk mencari secercah jalan keluar. Respon para anak muda ini akhirnya memiliki inisiatif bersama dalam mendirikan Sekolah Pinggir Kali

Sekolah Pinggir Kali ini adalah semacam edukasi kreatif yang dapat membuat anak-anak pengamen lampu merah untuk bisa memamdang masadepan. Sebuah Saung Sastra yang didirikan oleh Komunitas Sastra Kalimalang digunakan untuk itu. Calistung (Baca, Tulis, Hitung) plus bahasa Inggris dijadikan materi pelajaran sembari dijeda dengan latian musik dengan alat sederhana.

Sekolah Pinggir Kali, atau disingkat dengan SPK ini, melaksanakan kegiatannya pada hari: Sabtu, Minggu dan Senin di tiapnsorenya. Sementara para pengajarnya yaitu beberapa orang Seniman, Guru sekolahan dan juga ada para mahasiswa dari berbagai kampus di Bekasi. Semoga niat tulus ini beejalan lancar dan selalu dimudahkan.

Bekasi, 24 Juli 2018

Salam KSI
Irman Syah | @mpugondrong