Pengemis dan Negara yang Keparat serta Agama yang Hilang

in #indonesia6 years ago (edited)

image Sumber

Ke kedai kami, tiap dua atau tiga hari sekali, seorang wanita bertubuh pendek, sangat pendek, sekitar 80 cm datang menenteng sebuah tas kresek kuning yang di kedua gagangnya telah dicucuk seutas tali plastik. Tas itu melingkar di bahu kirinya yg tidak seberapa bidang.

Tubuh kerdil dengan wajah memelas itu, terseret-seret dari gang ke gang, dari toko ke toko, dari gedung ke gedung. Seperti itu setiap hari, dari dan ke tempat yg sama. Sebenarnya tak ada suatu apapun yg tidak sempurna dari anggota tubuhnya, hanya saja tubuhnya memendek.

Cacat, tentu ia merasa demikian. Sebab itu pula yang membawanya menjadi pengemis. Merasa berhak menjadi peminta-minta. Meski sebenarnya, ia sanggup pula melakukan pekerjaan lain yang lebih mulia.

Tak lama, beberapa menit setelahnya, seperti mobil Bus L300 yang sedang rebutan penumpang, muncul pula seorang laki-laki tegap nan bugar dengan aksesoris keteungkuannya; peci, sarung, lingkaran serban di bahu. Laki-laki ini nyaris saban hari menenteng-nenteng celengan, memohon minta sumbangan untuk pembangunan mesjid, tapi tak ada keterangan untuk mesjid apa dan dimana. Bagaimanapun dia memang fasih melafalkan sebuah ayat dan hadits. Dan di hari yang lain ia datang lagi, kali ini dengan menjadi pemandu seorang buta. Di hari yang berbeda, laki-laki ini sendiri yang menjadi penyandang cacat. Laki-laki tegap ini seperti aktor berpengalaman, mampu memainkan berbagai peran yang dilakoninya, mungkin aktor sekelas Reza Rahardian pun lewat. Tak diragukan lagi, ia memang professional, lihatlah dengan peran yang berbeda-beda, ia datang dalam jarak waktu yang agak lama, sebulan sekali agar orang-orang agak lupa dengan wajahnya, tampilannya yang berubah-ubah wujud. Ia begitu terlatih, begitu ahli, propagandanya kadang mampu menyentuh relung paling dalam titik kemanusiaan dan keimanan kita.

Di kota ini, penyandang cacat dan oknum yang pura mencacat-cacatkan diri demi meraup pemasukan dari pengibaan orang-orang, sama banyaknya.

Dengan realitas seperti ini, Negara dalam hal ini pemerintah telah abai dengan hak dan kewajibannya terhadap fakir dan kaum terlantar sebagaimana amanat Undang-undang. Sehingga mungkin akibat pembiaran itu, beberapa keparat melihat ini sebagai lahan baru untuk meraup keuntungan. Tak apa, meskipun itu menghilangkan harga pada diri. Sebab pun, harga diri di negeri ini kerap bergantung pada pundi-pundi rupiah.

Atau jangan-jangan para alim telah meninggalkan panggung dakwahnya, memilih bertapa dalam gua, menyendiri di rimba, menikmati jalan kesufiannya, sehingga lupa dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah. Atau barangkali mereka telah nyaman berasyik masyuk dalam lautan dzikirNya, sendirian atau dalam majelisnya. Sehingga jiwa-jiwa kering kerontang itu terbiarkan sendirian, tersesat tak tau arah.

Cara beragama seperti ini pernah dialami dan kemudian ditinggal juga oleh Muhammad Abduh, seorang pemikir dan penggagas modernisme Islam. Sufi dalam realitas umat Islam saat ini adalah jalan kepasrahan pada keadaan. Sebagai tempat pelarian. Padahal kita tidak boleh lari dari masalah. Ada banyak PR besar yang perlu dituntaskan.

image Sumber

Jadi, Ketika Muhammad Abduh belajar di Al-azhar, ia pernah merasa begitu bosan, resah dan tak puas. Sebab katanya, sehari-hari ia hanya belajar dan menghafal kitab kuning, itu baginya hanya menghabiskan waktu untuk menghafal pikiran orang. Ia lalu galau dengan pertanyaan yang selalu muncul dari dalam dirinya; Kalau sehari-hari hanya sibuk menghafal pikiran orang, lantas kapan kita bisa berkontribusi. Kapan kita bisa mengubah wajah umat Islam, yang dalam satu ungkapan terkenalnya, ia katakan dengan; Kulihat di Barat, ada banyak Islam tetapi sedikit muslim. Kulihat di Arab, ada banyak muslim tetapi sedikit Islam.

Dengan membawa pertanyaan yang sama, akhirnya ia meniru Al-Ghazali yang meninggalkan Universitas Nizamiyah untuk mendalami sufi. Muhammad Abduh kemudian belajar asketik, zuhud, tasawwuf dan sufi. Hingga akhirnya ia sampai pada kebimbangan yang sama bahwa jalan sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya. Ia malah merasa sufi hanyalah jalan kepasrahan. Jalan yang membuatnya seperti mengabaikan peran khalifah yang diharus diemban manusia. Lalu datanglah Ahmad Darwis, pamannya, mengingatkan bahwa Abduh tidak cocok, tidak jodoh dengan sufi, itu bukan dunianya.

Dan bertemulah Abduh dengan Jamaluddin Afghani, tentu saja cerita selanjutnya seperti yang sudah kita baca di buku-buku sejarah dan pemikiran.

Coin Marketplace

STEEM 0.16
TRX 0.16
JST 0.032
BTC 59304.77
ETH 2534.68
USDT 1.00
SBD 2.41