Memungut Puing Jalanan | 4

---

Ketiga putranya memburu kardus itu. Membuka dan mengambil satu-satu buku. Ada yang ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman, Rusia dan Italia. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Indonesia.

Sejurus suasana hening. Abdurrahman memperhatikan ketiga putranya. Mereka sibuk dengan buku di tangan masing-masing.

---

Rumah persegi empat dengan panjang dari waktu ke waktu kian ramai. Saudara Abdurrahman dari Bireuen mulai berdatangan. Mereka mengelola bisnis perusahaan di bidang pengadaan barang dan jasa. Abdurrahman mempercayakan pengadaan alat tulis dan pengadaan mesin tik pada mereka.

Laba dari bisnis itu digunakan untuk membiayai saudara-saudara dari kampung untuk kuliah. Meski bisnis mulai menggeliat, namun dengan gaji seadanya, tetap tidak membuat mereka berkecukupan.

Bahkan, nyaris tidak cukup. Saban awal bulan merupakan petaka baru bagi Dawiyah.

Sepintar apa pun dia mencukupkan pendapatan dari suami, rasanya sebelum tanggal 10 saban bulan, uang itu sudah habis. Gajian di tanggal 1 setiap awal bulan, sepekan kemudian, Dawiyah harus memikirkan cara untuk mendapatkan uang tambahan.

“Nikmati saja apa yang kita peroleh hari ini, esok, lusa dan seterusnya. Kalian jangan mengeluh. Jajan sedikit saja tak apa. Kan Mak terus menyiapkan kue buat kalian,” kata Dawiyah pada ketiga putranya.

Sesekali Caca cemberut tidak diberi uang jajan buat beli es lilin. Dia menangis sejadi-jadinya. Suaranya menggema sepanjang lorong Haminte.

Melihat itu, Dawiyah tersenyum. Apridar dan Irwandar membujuknya. Mengajaknya bermain engkrang. Dari situ, wajah kusut Caca perlahan menghilang.

---