Hutan Sayang, Hutanku Malang

in #indonesia7 years ago (edited)

image

SETELAH suara damai berkumandang dari sudut kota Helsinki medio 2005 lalu. Dibeberapa sisi Aceh kini sedikit lebih baik. Jika dibandingkan saat konflik masih membara, tentunya banyak sekali perubahan yang terasa. Masyarakat telah berani turun ke ladang dan persawahan, ke gunung mencari rempah dan rotan dan melakukan aktivitas pada malam tiba.

Semua aktivitas itu tak mungkin bisa dilakukan saat konflik terjadi. Tak ada masyarakat yang berani seperti super man. Semuanya diam dalam dekapan ketakutan.

Aceh memang penuh rahmah dan dilema. Rahmah, karena negeri ini sangat subur dan memiliki hutan yang menawan. Dilema, karena negeri syariah ini baru saja usai menghadapi cobaan Allah SWT yang meluluhlantakkan sebagian bumi Iskandar Muda. Ya, aloen buluek atau ie beuna (Tsunami) membuat wajah negeri ini sedikit muram.

Namun, perlahan itupun bisa teratasi. Meskipun tak seindah wajah aslinya. Kini, Aceh sedikit bisa bernafas lega. Karena barak pengungsian hanya tinggal beberapa saja. Muncul kembali dilema. Dilema ini, soal perambahan hutan yang meningkat paskatsunami terjadi.

Aneh, paska perang dan musibah, hutan Aceh hancur secara drastis. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menyebutkan, 20.796 hektare kawasan hutan berkurang setiap tahun. Sampai akhir tahun lalu, total kerusakan hutan Aceh mencapai 374.327 hektare. Bukankah ini angka yang menggodam dada? Bahkan mata dunia tersontak melihat realitas ini.

Saya pikir, kerusakan ini selain akibat ulah manusia biasa, juga akibat ulah manusia raksasa. Manusia raksasa, yang saya maksud adalah orang-orang yang menyandang gelar, makelar kayu. Mereka menebang dan menjual kayu sesukanya. Soal izin HPH (Hak Pengelolaan Hutan) juga menjadi boomerang. Motif penebangan kayu di Aceh saat ini adalah para pemegang HPH tidak menebang kayu pada lokasi yang telah diizinkan. Namun, merambah keluar lokasi itu. Tujuannya tak lain adalah keuntungan yang berlipat.

Pikiran saya melayang pada dekade konflik Aceh. Saat itu, Hutan Aceh sedikit aman dari suara mesin pemotong kayu. Karena, umumnya tak ada yang berani pergi ke hutan. Dihutan sering kali terjadi kontak tembak antara TNI dan GAM, kala itu. Hutan Acehpun terjaga secara alamiah. Namun, paska damai, ketakutan akan peluru nyasar telah sirna, dan merekapun berbuat semena-mena terhadap tumbuhan yang ada. Saya menyebutkan, jenis manusia ini adalah jenis yang tak mengerti syukur akan damai yang diberikan oleh Allah untuk Aceh.

Hutan satu sisi diantara sisi lainnya yang direnggut kesuciannya di Aceh. Hutan Aceh kini telah ternoda. Lihat saja, Hutan tak lagi bersahabat. Banjir dimana-mana. Tahun lalu, sedikitnya terjadi 39 kali banjir. Ditahun ini baru tiga kali banjir besar yang menyisakan duka dan air mata masyarakat tak berdosa. Sedangkan si pendosa-para pelaku illegal logging-bahkan belum tentu terkena musibah itu. Bisa jadi, disaat banjir datang, mereka sedang minum segelas kopi di restaurant megah dan menonton televise. Miris. Namun inilah yang terjadi. Bahkan daerah aliran sungai (DAS) di Aceh telah rusak sebanyak 714. 724, 38 hektare dari total DAS di Aceh 1.524.624, 12 hektare. Kembali angka ini mengejutkan kita semua.

Begitulah lukisan-lukisan hutan Aceh sekarang ini. Lalu, lihatlah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Tak jauh beda dengan potret umum hutan Aceh. KEL juga mengalami kerusakan yang drastis. Masih segar di ingatan kita, bagaimana masyarakat Simpang Seumadan Aceh Tenggara terkejut saat banjir bandang menimpa mereka dari atas bukit di daerah itu.

Umumnya, banjir terjadi akibat luapan sungai. Namun, di Aceh Tenggara, banjir datang dari puncak bukit itu sendiri. Sebelum ramadhan lalu, saya bersama beberapa teman sempat mengunjungi daerah itu. Masyarakat disana mengaku bahwa hutan di atas Simpang Seumadam sudah lama dijarah oleh masyarakat yang didanai oleh tauke kayu. Bukankah ini bukti nyata soal kerusakan kawasan Leuser yang tersohor sebagai paru-paru dunia itu. Perlu diketahui, Aceh Tenggara salah satu kawasan ekosistem Leuser di Aceh selain Aceh Tamiang, sebagian Aceh Tengah, Bener Meriah dan Aceh Utara.

Keperawanan Hutan Aceh

DENTUMAN kata stop penebangan hutan datang dari Irwandi Yusuf. Sang Gubernur Aceh ini menyatakan dengan tegas untuk memberhentikan seluruh aksi penebangan hutan di Aceh. Tidak tanggung-tanggung. Irwandi sendiri yang terjun mencari dan melihat penebangan liar di kawasan Bireuen-tanah kelahirannya, pertengahan tahun lalu.

Saat itu, Irwandi mencanangkan 15 tahun untuk stop penebangan hutan di Aceh. Dilema kembali muncul, yaitu kurangnya kayu untuk membangun rumah korban tsunami. Solusi terakhir, kontruksi rumahpun diganti dengan kontruksi beton, bukan kayu.

Kini, muncul pertanyaan didalam batok kepala kita? Mampukah kita mengembalikan keprawanan hutan Aceh yang telanjur direnggut si perompak kayu? Ah, tak ada yang tak mungkin selagi nafas berhembus. Tinggal lagi, bagaimana menyiasati dan mencari solusinya.

Kita tahu, saat ini, untuk membantu mengamankan hutan Aceh, Dinas Kehutanan telah melatih ribuan polisi kehutanan (polhut) dengan system kontrak. Ini mungkin menjadi pasokan tenaga baru untuk polisi hutan Aceh yang miskin peralatan. Sayangnya, polhut baru ini tidak dibekali dengan peralatan yang memadai. Rata-rata setiap kabupaten, mereka hanya memiliki satu mobil operasi dan beberapa unit sepeda motor. Bayangkan, mampukah mereka mengelilingi hutan di kabupaten tersebut yang sangat luas sekali? Ini pula yang harus dilengkapi.

Disisi lain, saya melihat banyak sekali lembaga yang menjaga kawasan ekosistem Leuser (KEL). Maklum, hutan ini paru-paru dunia. Wajar saja, jika harus banyak tenaga yang mengawasi dan mengelolanya. Tapi, banyaknya lembaga itu juga tidak menjamin keamanan kayu di daerah tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, di dalam kawasan Leuser banyak menyimpan kayu dengan kwalitas ekspor seperti Merbau, Meranti dan Damar.

Artinya, saya ingin menyebutkan, perlu ada pembagian kerja yang jelas antara lembaga-lembaga yang bekerja untuk menjaga KEL ini. Misalnya, paskapengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dibentuk Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), sebelumnya sudah ada lembaga seperti UPT Taman Nasional Gunung Leuser, belum lagi ditambah dengan lembaga internasional yang bekerja dengan tujuan yang sama. Nah, ini akan kacau bila tidak ada job description yang jelas antara lembaga itu. Aturan dan pembagian job ini mungkin dapat dilakukan secepatnya oleh Pemerintahan Aceh. Toh, semua lembaga itu juga bertujuan sama, menjaga kawasan Leuser yang tak perawan.

Selain itu, akhir bulan lalu, Kepala Bidang Kehutanan Aceh Utara, M. Ichkwan menyebutkan, bahwa masyarakat didanai oleh cukong kayu untuk melakukan penebangan hutan baik itu di dalam kawasan KEL maupun dalam kawasan hutan lindung. Ichwan juga mengakui, ada oknum dinas kehutanan, TNI dan Polri serta oknum mantan GAM yang melakukan penebangan hutan secara illegal. Kalimat itu mengejutkan saya. Saat itu, Ichwan berbicara dalam forum yang membahas tentang kelestarian KEL di Aula Academic Center Cunda Universitas Malikussaleh. Bagaimana ingin membersihkan lantai yang kotor, sedangkan sapu yang dipakai membersihkan lantai itu, juga kotor. Itulah tafsiran saya tentang realitas oknum-oknum aparatur Negara itu.

Saya ingin menyebutkan, Irwandi bersama Kapolda dan Kodam Iskandar Muda tampaknya harus membentuk tim khusus untuk memantau para aparatur ini. Ya, jika tim ini menemukan ada oknum dinas, TNI dan Polri yang bermain dan memakan hasil kayu illegal, harus ditindak tegas. Tak apalah memecat aparatur yang merugikan Negara. Dengan pemecatan, saya pikir akan muncul efek jera pada aparatur lainnya.

Sejauh ini, masyarakat sering mengatakan hukum hanya berlaku bagi kaum miskin, papa dan awam. Namun, mari buktikan, hukum ternyata juga berlaku buat aparat hukum yang melanggar hukum itu sendiri. Begitupula dengan masyarakat biasa yang terlibat dalam bisnis haram itu. Tak ada yang kebal hukum di negeri ini.

Sehingga, dengan demikian, kawasan hutan Aceh umumnya dan Kawasan Ekosistem Leuser khususnya bisa kembali perawan. Kebijakan moratorium logging juga harus di evaluasi. Masih adakah penebangan liar terjadi di pedalaman Aceh paska moratorium logging itu? Ini harus segera dilakukan. Saya pikir, sampai hari ini para penebang liar masih intens melakukan pembalakan liar. Buktinya, dalam empat bulan terakhir, Polresta Lhokseumawe mengamankan 100 ton lebih kayu illegal. 40 ton diantaranya siap untuk dipasarkan. Belum lagi, akhir minggu lalu, ditemukan tujuh ton kayu illegal dalam kawasan ekosistem Leuser di Kecamatan Langkahan Aceh Utara.

Mari bekerja keras untuk mengembalikan keperawanan hutan Aceh. Toh, hijaunya hutan Aceh akan menguntungkan masyarakat secara global. Tak akan ada isak tangis ditengah deras air. Tak akan ada pula tetesan kesedihan saat sawah gagal panen karena banjir melanda. Semuanya tergantung niat dan iktikad. Bukankah melestarikan hutan juga ibadah? Semoga, hutan Aceh kembali perawan. Ya, semuanya kita harus menjaga. Semoga.

Catatan, ini tulisan saya beberapa waktu lalu. Selamat membaca.

FOLLOW @MASRIADI | VOTE | RESTEM

Sort:  

Aneh, paska perang dan musibah, hutan Aceh hancur secara drastis. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menyebutkan, 20.796 hektare kawasan hutan berkurang setiap tahun. Sampai akhir tahun lalu, total kerusakan hutan Aceh mencapai 374.327 hektare. Bukankah ini angka yang menggodam dada? Bahkan mata dunia tersontak melihat realitas ini.

Begitu pilu ketika mengingat pasca perdamaian itu. Terutama membandingkan masyarakat di zaman sekarang, di aceh.
Tidak ada ada yang peduli soal pembalakan hutan liar, seolah itu hanya menjadi tanggung jawab perorangan atau suatu kelompok atau golongan tertentu. Sayang begitu sayang melihat fenomena itu sekarang

Aneh, paska perang dan musibah, hutan Aceh hancur secara drastis. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menyebutkan, 20.796 hektare kawasan hutan berkurang setiap tahun. @masriadi

bak budik, na lom

"Saya pikir, kerusakan ini selain akibat ulah manusia biasa, juga akibat ulah manusia raksasa. Manusia raksasa, yang saya maksud adalah orang-orang yang menyandang gelar, makelar kayu. Mereka menebang dan menjual kayu sesukanya. Soal izin HPH (Hak Pengelolaan Hutan) juga menjadi boomerang. Motif penebangan kayu di Aceh saat ini adalah para pemegang HPH tidak menebang kayu pada lokasi yang telah diizinkan. Namun, merambah keluar lokasi itu. Tujuannya tak lain adalah keuntungan yang berlipat."

kalimat terakhir dalam postingan bg @masriadi ialah fakta para pemilik/penggarap/penerima izin, yang melakukan perluasan lahan dari batas yang sudah ditentukan.

Saya agak risih membaca artikel ini karena menyinggung keperawanan hutan Aceh. Siapa yang sudah memerawani hutan?

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.15
JST 0.028
BTC 60309.00
ETH 2342.16
USDT 1.00
SBD 2.55