Gerakan Membaca Buku Sastra

in #indonesia7 years ago (edited)

image

MEMBACA, seakan satu hal yang sulit dan penuh beban bagi pelajar kita saat ini. Sebenarnya, ada dua hal yang dianggap beban oleh para pelajar, bahkan juga mahasiswa, yaitu membaca dan menulis. Realitas miris ini bahkan tak bisa ditepis oleh kurikulum berbasis kompetensi (KBK) sekalipun.

Kita tahu, KBK sudah diberlakukan sejak tahun 2002 di negeri ini. Namun, kurikulum yang didisain begitu apik itu tidak didukung oleh sarana dan prasana yang memadai. Lihatlah, berapa judul buku yang ada di ruang-ruang perpustakaan di sekolah-sekolah. Belum lagi berbicara tentang berapa banyak judul buku pada pustaka sekolah dipedesaan.

Lalu, bagaimana kita ingin menularkan budaya membaca buku, terlebih lagi mengkhususkannya pada buku-buku sastra? Jumlah buku sastra disetiap sekolah tidak lebih dari sepuluh judul buku. Untuk sekolah dipedalaman, pinggiran bukit bahkan kurang dari itu. Miris.

Namun, perjuangan untuk melakukan gerakan membaca buku sastra tidak harus berhenti. Jika berhenti, maka musnahlah kesusasteraan itu sendiri. Baik itu sastra lokal, maupun rangkuman sastra dari seluruh suku bangsa di negeri ini dan sastra dunia. Apakah ini yang kita harapkan? Tidak.

Membaca seperti saya sebutkan pada awal tulisan ini seakan berat bagi para pelajar. Nah, untuk itu, image membaca itu berat harus dihilangkan. Seringkali saya mendengar membaca buku sejarah, budaya dan sastra membosankan. Ucapan itu keluar dari mulut belia para pelajar di Lhokseumawe, ketika beberapa waktu lalu saya bertemu dengan mereka. Sebagiannya lagi menggap sastra melalui puisi hanya dikhususkan buat orang yang dicintainya, khususnya pacar.

Pandangan miring seperti itu harus diubah oleh guru bahasa dan sastra di sekolah-sekolah. Namun, sayangnya, sebagian besar guru hanya bertindak sebagai pengajar bukan sebagai pendidik. Sebagai pengajar, ketika jam pelajaran usai, maka selesai sudah tanggungjawab yang dipikul. Bukan ini yang diharapkan. Kita berharap, guru selain sebagai pengajar, juga sebagai pendidik. Yang mampu mentrasfer seluruh ilmu yang dimilikinya lalu mengontrol proses belajar siswa tersebut sebaik mungkin. Komunikatif, obyektif dan inovatif. Cara mengajar harus berubah. Sesekali ajaklah para pelajar itu mengenal buku-buku sastra. Jika sekolah belum memiliki buku tersebut, mungkin sang guru ini bisa meminjamnya di perpustakaan kabupaten/kota yang memiliki buku-buku sastra. Lalu bagaimana dengan guru disekolah terpencil. Selama ada keinginan, tentu ada jalan keluarnya. Maka, tidak salah saya pikir si guru ini membeli satu atau dua buku sastra setiap bulan untuk bahan ajar pada siswanya.

Lalu, sekarang ini ada dana bos untuk sekolah. Rasanya guru bahasa Indonesia patut mengingatkan komite sekolah dan kepala sekolah untuk membeli buku-buku sastra di sekolah-sekolah. Tujuannya tidak lain, agar proses belajar bahasa dan sastra itu berjalan lancar, serius namun rileks. Setelah menunjukkan buku-buku sastra pada para pelajar, maka mintalah mereka untuk meresensi buku-buku itu.

Beri sedikit penghargaan buat resensi terbaik. Ini untuk memotivator jiwa muda mereka. Lalu, kenalkan mereka pada novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Setelah mengenal buku-buku seperti ini, sepertinya mereka akan lebih tertarik. Daripada membaca secuil teks sastra yang dimuat dalam buku-buku ajar bahasa Indonesia.

Ingat, guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Guru juga sebagai corong kedua setelah orang tua untuk membentuk kepribadian siswanya. Jika, gerakan membaca buku sastra dilakukan secara dialogis pada para pelajar, yakinlah pelajar kita akan tertarik terhadap buku-buku sastra.


Membudayakan membaca bukan hanya beban dan tanggungjawab guru semata. Jelas, untuk buku sastra, KBK tahun 2004 telah mewajibkan bahwa pelajar diberi ruang untuk membaca buku sastra minimal dua atau tiga judul. Amanah kurikulum ini harus disikapi secara bijak oleh pemerintah.

Pemerintah juga harus bertindak tegas dengan menyediakan buku-buku sastra disekolah. Bagaimana memberlakukan kurikulum, jika guru bahasa Indonesia terpaksa kelimpungan mencari buku sastra. Mengeluarkan gaji yang tidak seberapa itu untuk membeli buku, demi anak didik. Ini yang harus menjadi perhatian pemerintah.

Setahu saya, untuk sekolah-sekolah di Jawa gerakan membaca buku sastra ini mulai diberdayakan. Lalu, bagaimana di Aceh dan Sumatera? Gerakan ini yang belum tampak. Proses membaca buku sastra hanya wacana dimedia masa. Belum sampai pada taraf implementasi nyata.

Kita tahu, minat membaca di Indonesia memang terbilang rendah. Jika di Amerika, siswa sekolah menengah atas diwajibkan membaca sepuluh judul buku sastra dalam satu semester. Maka di Indonesia, apalagi di Aceh dan Sumatera untuk tiga judul buku sastra saja belum terlihat.

Pemerintah tidak harus mengadakan buku-buku yang terbit tahun 1960-an. Mungkin, buku ini sudah tidak digemari oleh pelajar zaman ini. Maka, berilah pelajar itu buku-buku sastra yang terbaru. Saat ini, begitu banyak novel tenlit, chiklit dan sejenisnya. Seleksilah yang layak untuk dikonsumsi pelajar. Begitu juga buku kumpulan essei, cerpen dan puisi.


image

Sekarang ini, disain cover sampai isi banyak yang menarik perhatian pelajar. Maka, sediakanlah buku itu. Jika ini terjadi, maka KBK semakin punya gigi dan nyali di negeri ini. Akan terbukti, pelajar kita bukan tidak mencintai sastra. Namun, mereka gelap bahkan tak tahu sama sekali apa itu karya sastra.

Mungkin, tulisan singkat ini dapat membangkitkan semangat kita kembali untuk melakukan gerakan wajib membaca buku sastra. Mewajibkan membaca karya sastra selama ini telah dilakukan oleh sekolah menulis Dokarim, Banda Aceh bagi seluruh siswanya. Sekolah itu swasta.

Lalu apa kabar sekolah negeri? Mari bersama mewajibkan pelajar kita membaca buku sastra. Agar pelajar tak buta sastra. Agar pelajar mengerti budaya serta agar budaya dan karya sastra negeri ini selalu terjaga dari rampasan bangsa asing. Semoga.

FOLLOW @MASRIADI - REESTEM - VOTE

Sort:  

Membaca seakan berat bagi para pelajar. Nah, kesan membaca itu berat harus dihilangkan. Seringkali kita mendengarkan membaca buku sejarah, budaya dan sastra membosankan. Sebagiannya lagi menggap sastra melalui puisi hanya dikhususkan buat orang yang dicintainya, khususnya pacar.

Saya sepakat dengan anda bang. Saya sendiri sebagai mahasiswa di fakultas sosial melihat hal itu sendiri di lapangan. Banyak mahasiswa di Aceh yang tidak menyukai membaca bahkan membuka buku saja enggan apalagi membeli buku bacaan.
Mahasiswa seolah terdoktrin seperti "ngapain baca, toh lulus juga mata kuliah ini/pelajaran ini"
Karena faktor-faktor dari pendidikan dan lingkungan sejak kecil membuat anak dan remaja di Aceh malas untuk membudayakan membaca.

Kita tahu, KBK sudah diberlakukan sejak tahun 2002 di negeri ini. Namun, kurikulum yang didisain begitu apik itu tidak didukung oleh sarana dan prasana yang memadai. Lihatlah, berapa judul buku yang ada di ruang-ruang perpustakaan di sekolah-sekolah. Belum lagi berbicara tentang berapa banyak judul buku pada pustaka sekolah dipedesaan.

Membaca sastra seumpama menyelam samudera kata mutiara. Izin resteem postingan istimewa ini abangda @masriadi
Saleum takzim

Saya sudah baca karya sastra sejak SMP. Jadi sebenarnya ini peran guru yang kurang dalam memajukan minat baca siswa. Gurunya juha malas baca, apalagi siswanya. Lebih suka baca wa, termasuk yang radikal.

udh baca radikal, langsung dipraktikkan pula, minimal praktiknya dengan cara ceumarot

Membaca adalah cara lain melawan kepikunan...

Semoga, tulisan singkat ini dapat membangkitkan semangat kita kembali untuk melakukan gerakan wajib membaca buku sastra. Mewajibkan membaca karya sastra selama ini telah dilakukan oleh sekolah menulis Dokarim, Banda Aceh bagi seluruh siswanya. Sekolah itu swasta.

Coin Marketplace

STEEM 0.17
TRX 0.13
JST 0.027
BTC 59727.23
ETH 2674.33
USDT 1.00
SBD 2.44